Langsung ke konten utama

Meminimalisasi Konflik dan Golput di Pilkada

Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Bali Pos
Edisi Sabtu, 8 Nopember 2008

Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004, pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan salah satu pilar utama demokrasi guna membangun check and balances kekuasaan negara pada level lokal, dan menempatkan rakyat sebagak The king of maker. Melalui pilkada diharapkan muncul pemimpin eksekutif yang mewakili preferensi mayoritas masyarakat lokal, serta menghasilkan outcome berupa reformasi kultur yang akan mengimbangi proses transisi kepemimpinan. Singkatnya, pilkada merupakan entry point untuk melakukan 'bedah rumah' birokrasi lokal.


Sayangnya, pelaksanaan pilkada di negeri ini lebih sering diwarnai konflik berkepanjangan, yang menjurus pada disintegrasi bangsa. Sebagai contoh kekerasan dan anarkisme yang mewarnai Pilkada Buleleng, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Banten, Depok, dan sebagainya. Fenomena itu masih diperparah dengan rendahnya apresiasi demokrasi masyarakat, yang ditandai dengan tingginya angka golongan putih (golput). Misalnya dalam Pilkada Jawa Timur (49,45 persen), dan Jawa Tengah (45 persen).

Pertanyaannya kemudian, bagaimana upaya meminimalisasi konflik dan golput dalam pilkada? Bagaimana menciptakan pilkada yang bersih dan memiliki kredibilitas politik yang tinggi? Pertanyaan ini menjadi penting diajukan, pasalnya jika pilkada terus diwarnai anarkisme, konflik dan golput, maka mekanisme demokrasi yang baru tersemai, akan layu dan mati. Otonomi daerah sebagai pelaksanaan demokrasi di tingkat lokal akan gulung tikar alias tamat.

Tidak Sebanding
Tidak dimungkiri, pilkada yang dimulai sejak tahun 2005, menjadi proyek demokrasi yang menyedot financial and social cost amat besar. Sayangnya, besarnya biaya yang dikeluarkan tidak berbanding lurus dengan dampak positif yang dirasakan masyarakat akar rumput. Penyebabnya, karena pilkada masih dimaknai sebagai instrumen/alat demokrasi lokal atau proses sosial tanpa makna. Artinya, pilkada hanya menjadi sebuah seremonial yang rutin dilakukan dalam periodisasi waktu tertentu, tanpa diikuti perubahan sekaligus pembaruan dari segi kultur, struktur dan proses birokrasi di level daerah.

Lebih dari itu, pilkada sering menjadi ajang perebutan kekuasaan yang sarat pragmatisme, sangat kompetitif, dan amat menegangkan. Alih-alih bukannya menciptakan tatanan baru yang lebih mapan, demokratis, dan akuntabel, pilkada justru semakin memperkeruh kondisi bangsa ini. Situasi seperti disebutkan, tentu saja menguras energi sosial dan politik yang tinggi, serta berpotensi mengganggu ketertiban dan kedamaian publik.

Memang, kekerasan dan anarkisme bukan hal baru dalam pilkada, atau sistem pemerintahan di negeri ini. Sepanjang sejarah perjalanan bangsa, kekerasan dan anarkisme itu acap kali menyembul ke permukaan. Bukan hanya terjadi dalam kegiatan politik praktis, tetapi juga terkait kegiatan pemerintahan. Bukan hanya kekerasan yang berlangsung antarkelompok masyarakat, tetapi juga kekerasan aparatur pemerintah terhadap warga masyarakat.

Kekerasan dan anarkisme yang mengawali pergantian pemerintahan sebagaimana disebutkan, sangat dimungkinkan lantaran kondisi kultural dan sistem struktur sosial belum tertata secara demokratis. Maka kesan yang muncul, entah pilkada, pemilihan presiden (pilpres), sekadar formalitas atau pemanis bibir saja.

Pembenahan Kultural
Tampaknya, semua pihak harus berbenah demi terciptanya pilkada yang sesuai dengan cita-cita dan amanat reformasi. Semua pihak harus bersama-sama memperbaiki sistemnya, agar tercipta tatanan kehidupan yang lebih modern, lebih sehat, dan lebih demokratis. Salah satu jalan adalah dengan dilakukannya reformasi kultural. Tujuan reformasi kultural ini, selain untuk mengikis budaya kekerasan dan anarkisme, juga sebagai proses transformasi visi, misi dan spirit pemerintahan yang baik.


Reformasi kultural juga bertujuan memperbaiki mentalitas pangrehpraja sebagai birokrat daerah, yang belum memahami hakikat tugasnya sebagai public service, atau abdi dan pelayan masyarakat. Jabatan publik (terutama kepala daerah), masih sering dilihat dan dimaknai sebagai sarana kapitalisme dan kejayaan pribadi. Mestinya jabatan publik itu harus dilihat sebagai tempat mengabdikan diri kepada masyarakat, sebagaimana diamanatkan melalui UU Kepegawaian.


Melalui reformasi kultural, diharapkan tercipta sebuah kultur birokrasi lokal yang dinamis dan tertata dengan baik. Kultur demikian sangat terkait dengan unsur ranah, praktik dan habitus atau kebiasaan yang makin membudaya. Praktik dan habitus yang berbasis kualitas, profesional dan budaya, cenderung mengantarkan ke gerbang harmoni dan kedamaian. Sebaliknya, basis arogansi materialisasi dan hegemoni sangat potensial menjerumuskan ke kancah konflik dan kekerasan.


Keberhasilan reformasi kultural, kata D. Julianto (2006:46), bisa dilihat dari terciptanya susunan kelembagaan birokrasi daerah, yang memperhatikan kebutuhan efektivitas dan efisisensi penyelenggaraan prinsip-prinsip lokal, prinsip-prinsip mewirausahakan pemerintah, dan prinsip keanekaragaman potensi lokal yang menjadi milik masyarakat.
Menurut Wayan Geriya (2008), dalam struktur masyarakat yang kuat berorientasi vertikal, contoh talenta dan habitus damai seharusnya sudah mengalir secara top down dari elite dan politisi ke ranah publik. Kasus perkelahian elite politik dan sumber provokasi dari atas, sebenarnya sangat memalukan dan harus ditinggalkan, karena tidak merepresentasikan warga bangsa yang beradab dan bermartabat.


Pada akhirnya, semua pihak harus menyadari bahwa pilkada merupakan pilar demokrasi lokal terbaik, serta mekanisme menjaring birokrasi lokal yang sesuai dengan keinginan dan aspirasi masyarakat.


Wajar jika terjadi perbedaan persepsi, pendapat, golput, pro-kontra, pertentangan dan lain-lain, yang justru menunjukkan keberhasilan proses demokrasi itu. Benar di beberapa tempat pilkada berujung kerusuhan dan anarkisme, tetapi di daerah lain justru mampu dimanfaatkan sebagai mekanisme pemilihan pemimpin yang sesuai dengan aspirasi rakyat. Oleh karena itu, upaya-upaya yang bertujuan untuk membekukan mekanisme pilkada harus dilawan, karena sama halnya ingin mematikan proses demokrasi di tingkat lokal.[] Penulis, peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#01 Strategi Memilih Jurnal Terindeks SCOPUS

 Memilih jurnal terindeks scopus yang sesuai dengan artikel kita, bukan perkara mudah. Jika kita tidak jeli, bisa jadi artikel kita akan ditolak oleh jurnal yang kita tuju. Lalu, bagaimana strategi agar kita bisa memilih jurnal terindeks scopus yang tepat? Video berikut memberikan pemahaman terkait bagaimana strategi memilih jurnal terindeks SCOPUS yang tepat. Berikut link videonya: https://youtu.be/krewz_cmY5A 

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Sabtu 19 September 2009 Halaman Kampus ’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT). Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah. Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen). Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta,...

Buruk Rupa Birokrasi Daerah

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Kamis,3 September 2009 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%). Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyar...