Dimuat Harian Bali Pos
Edisi Sabtu, 8 Nopember 2008
Sayangnya, pelaksanaan pilkada di negeri ini lebih sering diwarnai konflik berkepanjangan, yang menjurus pada disintegrasi bangsa. Sebagai contoh kekerasan dan anarkisme yang mewarnai Pilkada Buleleng, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Banten, Depok, dan sebagainya. Fenomena itu masih diperparah dengan rendahnya apresiasi demokrasi masyarakat, yang ditandai dengan tingginya angka golongan putih (golput). Misalnya dalam Pilkada Jawa Timur (49,45 persen), dan Jawa Tengah (45 persen).
Pertanyaannya kemudian, bagaimana upaya meminimalisasi konflik dan golput dalam pilkada? Bagaimana menciptakan pilkada yang bersih dan memiliki kredibilitas politik yang tinggi? Pertanyaan ini menjadi penting diajukan, pasalnya jika pilkada terus diwarnai anarkisme, konflik dan golput, maka mekanisme demokrasi yang baru tersemai, akan layu dan mati. Otonomi daerah sebagai pelaksanaan demokrasi di tingkat lokal akan gulung tikar alias tamat.
Tidak Sebanding
Tidak dimungkiri, pilkada yang dimulai sejak tahun 2005, menjadi proyek demokrasi yang menyedot financial and social cost amat besar. Sayangnya, besarnya biaya yang dikeluarkan tidak berbanding lurus dengan dampak positif yang dirasakan masyarakat akar rumput. Penyebabnya, karena pilkada masih dimaknai sebagai instrumen/alat demokrasi lokal atau proses sosial tanpa makna. Artinya, pilkada hanya menjadi sebuah seremonial yang rutin dilakukan dalam periodisasi waktu tertentu, tanpa diikuti perubahan sekaligus pembaruan dari segi kultur, struktur dan proses birokrasi di level daerah.
Lebih dari itu, pilkada sering menjadi ajang perebutan kekuasaan yang sarat pragmatisme, sangat kompetitif, dan amat menegangkan. Alih-alih bukannya menciptakan tatanan baru yang lebih mapan, demokratis, dan akuntabel, pilkada justru semakin memperkeruh kondisi bangsa ini. Situasi seperti disebutkan, tentu saja menguras energi sosial dan politik yang tinggi, serta berpotensi mengganggu ketertiban dan kedamaian publik.
Memang, kekerasan dan anarkisme bukan hal baru dalam pilkada, atau sistem pemerintahan di negeri ini. Sepanjang sejarah perjalanan bangsa, kekerasan dan anarkisme itu acap kali menyembul ke permukaan. Bukan hanya terjadi dalam kegiatan politik praktis, tetapi juga terkait kegiatan pemerintahan. Bukan hanya kekerasan yang berlangsung antarkelompok masyarakat, tetapi juga kekerasan aparatur pemerintah terhadap warga masyarakat.
Kekerasan dan anarkisme yang mengawali pergantian pemerintahan sebagaimana disebutkan, sangat dimungkinkan lantaran kondisi kultural dan sistem struktur sosial belum tertata secara demokratis. Maka kesan yang muncul, entah pilkada, pemilihan presiden (pilpres), sekadar formalitas atau pemanis bibir saja.
Pembenahan Kultural
Tampaknya, semua pihak harus berbenah demi terciptanya pilkada yang sesuai dengan cita-cita dan amanat reformasi. Semua pihak harus bersama-sama memperbaiki sistemnya, agar tercipta tatanan kehidupan yang lebih modern, lebih sehat, dan lebih demokratis. Salah satu jalan adalah dengan dilakukannya reformasi kultural. Tujuan reformasi kultural ini, selain untuk mengikis budaya kekerasan dan anarkisme, juga sebagai proses transformasi visi, misi dan spirit pemerintahan yang baik.
Reformasi kultural juga bertujuan memperbaiki mentalitas pangrehpraja sebagai birokrat daerah, yang belum memahami hakikat tugasnya sebagai public service, atau abdi dan pelayan masyarakat. Jabatan publik (terutama kepala daerah), masih sering dilihat dan dimaknai sebagai sarana kapitalisme dan kejayaan pribadi. Mestinya jabatan publik itu harus dilihat sebagai tempat mengabdikan diri kepada masyarakat, sebagaimana diamanatkan melalui UU Kepegawaian.
Melalui reformasi kultural, diharapkan tercipta sebuah kultur birokrasi lokal yang dinamis dan tertata dengan baik. Kultur demikian sangat terkait dengan unsur ranah, praktik dan habitus atau kebiasaan yang makin membudaya. Praktik dan habitus yang berbasis kualitas, profesional dan budaya, cenderung mengantarkan ke gerbang harmoni dan kedamaian. Sebaliknya, basis arogansi materialisasi dan hegemoni sangat potensial menjerumuskan ke kancah konflik dan kekerasan.
Keberhasilan reformasi kultural, kata D. Julianto (2006:46), bisa dilihat dari terciptanya susunan kelembagaan birokrasi daerah, yang memperhatikan kebutuhan efektivitas dan efisisensi penyelenggaraan prinsip-prinsip lokal, prinsip-prinsip mewirausahakan pemerintah, dan prinsip keanekaragaman potensi lokal yang menjadi milik masyarakat.
Menurut Wayan Geriya (2008), dalam struktur masyarakat yang kuat berorientasi vertikal, contoh talenta dan habitus damai seharusnya sudah mengalir secara top down dari elite dan politisi ke ranah publik. Kasus perkelahian elite politik dan sumber provokasi dari atas, sebenarnya sangat memalukan dan harus ditinggalkan, karena tidak merepresentasikan warga bangsa yang beradab dan bermartabat.
Pada akhirnya, semua pihak harus menyadari bahwa pilkada merupakan pilar demokrasi lokal terbaik, serta mekanisme menjaring birokrasi lokal yang sesuai dengan keinginan dan aspirasi masyarakat.
Wajar jika terjadi perbedaan persepsi, pendapat, golput, pro-kontra, pertentangan dan lain-lain, yang justru menunjukkan keberhasilan proses demokrasi itu. Benar di beberapa tempat pilkada berujung kerusuhan dan anarkisme, tetapi di daerah lain justru mampu dimanfaatkan sebagai mekanisme pemilihan pemimpin yang sesuai dengan aspirasi rakyat. Oleh karena itu, upaya-upaya yang bertujuan untuk membekukan mekanisme pilkada harus dilawan, karena sama halnya ingin mematikan proses demokrasi di tingkat lokal.[] Penulis, peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar