Langsung ke konten utama

Guru dan Pendidikan Bangsa

Oleh Agus Wibowo *
Dimuat Harian Pikiran Rakyat
Edisi Rabu, 26 November 2008

Pemerintah tampaknya tengah melakukan peremajaan tenaga pendidik (guru), di samping tenaga teknis dan kesehatan. Itu dapat dilihat dari banyaknya formasi yang disediakan pada penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) tahun ini, misalnya formasi guru di Jawa Tengah 6.394 orang dan DIY 614 orang. Fenomena itu tentu saja positif, sepanjang bertujuan meningkatkan mutu pendidikan bangsa, melalui penjaringan tenaga muda yang kompeten dan profesional. Peremajaan tenaga guru menjadi keniscayaan, ketika software dan hardware pendidikan menuntut adanya inovasi dan kreativitas selaras dengan perkembangan teknologi informasi.

Pertanyaanya kemudian, apakah perekrutan guru sudah melalui mekanisme seleksi yang ketat dan terbebas dari KKN? Apakah perekrutan guru itu juga dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan mereka? Pertanyaan ini menjadi penting, pasalnya, jika seleksi guru dilakukan dengan asal-asalan, konsekuensi yang harus dibayar amat mahal, karena berkaitan dengan masa depan pendidikan bangsa.

Transparan & akuntabel
Harus diakui, guru merupakan pilar utama pendidikan bangsa. Jika guru kuat, pendidikan bangsa akan kokoh dan mampu bersaing dengan bangsa lain, demikian sebaliknya. Makna kuat itu, kata Tilaar (1998), jika dijabarkan menjadi sangat luas; pertama, memiliki kepribadian yang matang, semangat juang yang tinggi, disertai kualitas keimanan dan ketakwaan yang mantap. Kedua, memahami sekaligus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), lebih-lebih pada bidang yang digeluti atau spesifikasi jurusan yang diambil. Ketiga, memiliki keterampilan dalam membangkitkan minat anak didik, memanajemen pembelajaran secara efektif dan efisien, serta memiliki pemahaman organisasi yang baik. Keempat, memiliki kejelasan dan kepastian pengembangan jenjang karier, berjiwa profesional, dan memiliki kesejahteraan lahir, batin material, dan nonmaterial.

Aspek-aspek sebagaimana disebutkan harus menjadi acuan utama proses seleksi guru. Artinya, seleksi tidak hanya menitikberatkan pada aspek kognitif melalui tes konvensional semata, tetapi perlu disertai unjuk kinerja dan mekanisme yang ketat. Ini dilakukan mengingat tenaga guru berbeda dengan tenaga teknis atau tenaga kesehatan. Jika seleksi guru disamakan dengan seleksi CPNS pada umumnya, hasil yang akan diperoleh tidak memiliki spesifikasi atau sesuai dengan rata-rata. Pasti akan terjadi mismatch atau penempatan sumber daya yang tidak sesuai dengan tempatnya.

Proses seleksi tenaga pendidik juga harus dilaksanakan secara jujur, bebas KKN, transparan, dan akuntabel. Model seleksi demikian, kata Castetter (1999), melalui langkah-langkah; pertama, harus merujuk pada teori-teori seleksi yang telah teruji kevalidan, reliabilitas, dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Kedua, materi ujian harus merepresentasikan, atau sesuaikan dengan spesifikasi pekerjaan yang hendak ditempati. Ketiga, seleksi tidak hanya tes tertulis, tetapi juga menggunakan, unjuk kemampuan dan proses wawancara.Model wawancara bisa disesuaikan dengan konteks, misalnya disepakati memakai wawancara tipe keperilakuan, kelompok, dan sebagainya.

Peningkatan kesejahteraan
Pascaproses seleksi, pemerintah harus menyusun mekanisme atau UU yang bisa meningkatkan kesejahteraan guru. Artinya, peningkatan gaji atau tunjangan menjadi keniscayaan mengingat tugas yang harus dipikul semakin berat dan kompleks. Tidak berubahnya perilaku guru, atau bahkan tidak berkembangnya mutu pendidikan, meskipun guru sudah berkali-kali mengikuti pelatihan, bukan karena yang bersangkutan bodoh, tetapi karena mereka punya persoalan pelik berkaitan dengan kesejahteraannya.

Harus diakui, tingkat kesejahteraan guru di negeri ini amat memprihatinkan. Sesama pegawai dengan golongan IV, kata Suyanto (2001), yang satu guru dan yang lain pegawai administrasi, memiliki perbedaan yang amat mencolok. Padahal, di negara-negara maju gaji guru lebih tinggi (antara 111%-235%) daripada pegawai administrasi, apalagi pegawai di sektor industri, misalnya di Selandia Baru, gaji guru lebih tinggi sekitar 185% daripada gaji pegawai administrasi, di Finlandia 234% dan di Swedia 235%.

Jika dicermati dengan saksama, tinggi-rendahnya tingkat kesejahteraan guru, lebih banyak ditentukan aspek politis pemerintah yang berkuasa. Artinya, tekad dan kemauan politik pemerintah suatu negara lebih menentukan tinggi-rendahnya gaji guru, bukan ditentukan pendapatan asli daerah (PAD), PDB, dan lokasi geografis. Maka, sudah semestinya jika profesi dan kesejahteraan guru tidak dipolitisasi demi memperpanjang kekuasaan atau kemenangan golongan.

Lebih dari itu, kenaikan kesejahteraan guru harus dipandang sebagai konsekuensi logis atas "jasa sejarah" mereka, yang turut andil membidani kelahiran bangsa ini. Kita tentu ingat, para guru bangsa seperti R.A. Kartini, R. Dewi Sartika, K.H. Ahmad Dahlan, Ki Hadjar Dewantara, dan Teuku Moh. Syafei, telah mendidik generasi era kemerdekaan dengan semangat nasionalisme dan kebangsaan.

Dari jasa para guru bangsa itu, lahirlah berbagai pergerakan kebangsaan yang membidani kemerdekaan, seperti organisasi Budi Utomo (1908), Perhimpunan Indonesia (1926), dan dicetuskannya Sumpah Pemuda (1928). Pada masa perang kemerdekaan dan revolusi untuk mempertahankannya, kader terbaik bangsa itu tidak sekadar mampu merancang organisasi atau menjadi aktivis, tetapi mereka juga memiliki keberanian dan strategi untuk membangun kekuatan bersenjata yang dikenal dengan sebutan Tentara Pelajar (TP).

Sudah saatnya pemimpin negeri ini memiliki empati pada nasib guru bangsa, dengan jalan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran mereka. Kita akan terus menjadi "bangsa durhaka" jika terus berbuat sewenang-wenang terhadap guru. Cukup sudah derita mereka! Saatnya menempatkan guru pada posisi mulia, bukan sekadar gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Selamat hari guru, bakti kami persembahkan untukmu.[]

* Penulis, Peneliti Utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera