Langsung ke konten utama

Pendidikan dan Problem Pengangguran

Oleh Agus Wibowo *

Dimuat Harian Pikiran Rakyat, Edisi Kamis 9 Oktober 2008
"Problem pelik yang dihadapi Indonesia—dan negara-negara berkembang pada umumnya—adalah masalah pengangguran, khususnya pengangguran terdidik. Menurut data BPS (2007), jumlah sarjana yang menjadi pengangguran terus mengalami kenaikan. Tahun 2004 baru 348.000, tahun 2005: 385.418, tahun 2006: 673. 628, dan tahun 2007 menjadi 740.206 orang. Jumlah itu, kata Fasli Jalal (2008), akan terus mengalami kenaikan karena setiap tahunnya, akan ditambah 323.902 sarjana lulus dari berbagai perguruan tinggi (PT)."Sarjana yang menganggur itu, kebanyakan lulusan program studi noneksakta (ilmu sosial, hukum, pendidikan, dan politik). Proporsinya, dari 2,2 juta mahasiswa Indonesia, 78% di antaranya menempuh kuliah di bidang studi pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, sedangkan 12 persen di bidang teknologi, dan hanya 10 persen yang menempuh kuliah di bidang sains.

Fenomena kelebihan tenaga kerja terdidik sebagaimana diuraikan, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Itu artinya, ada ketimpangan dan ketidakterkaitan (mismatch) antara pendidikan di PT dengan dunia kerja. Ketimpangan artinya jenis-jenis kompetensi atau keterampilan yang disediakan PT tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Sementara itu, ketidakterkaitan menunjukkan adanya orientasi kurikulum pembelajaran yang tidak memiliki relevansi dengan dunia kerja. Pertanyaannya kemudian, bagaimana PT menyiasati problem pengangguran lulusannya? Upaya-upaya apa yang seharusnya dilakukan mahasiswa agar ketika lulus tidak jadi pengangguran terdidik?

Politik dan budaya
Persoalan pengangguran, kata Paulo Freire (2004:35), selain disebabkan persoalan budaya dan sistem pendidikan, juga kental dengan nuansa politis. Sebagaiman persoalan buta huruf dan kemiskinan, pengangguran adalah isu sensitif. Isu itu akan terus digulirkan para caleg, politisi parpol, capres dan cawapres, guna meningkatkan popularitas mereka.

Semakin sering dan semakin rajin para kandidat itu memasang iklan kemiskinan, pengangguran, dan buta aksara, popularitas mereka semakin tinggi dalam berbagai polling dan survei. Sayangnya, popularitas yang diraih sang kandidat, tidak mendorongnya untuk melakukan kerja nyata menurunkan angka pengangguran. Problem pengangguran hanya selalu dijadikan "kuda troya" elite dalam meraih kedudukan dan kekuasaan.

Bagi pemerintah, isu pengangguran adalah ancaman. Sebab, isu itu secara langsung menjadi indikator berhasil-tidaknya pembangunan. Semakin tinggi angka pengangguran, semakin mudah bagi oposisi menjatuhkan kredibilitas pemerintah. Karena terlampau sibuk mengurusi oposisi, pemerintah sering lupa pada tugasnya menekan laju pengangguran.

Aspek politik dan pemerintahan yang selalu kontras dengan pengangguran, masih diperparah dengan budaya gengsi, dan rendahnya etos kerja kaum muda terdidik. Para sarjana itu, merasa gengsi bila tidak bekerja di perkantoran, atau menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Akibatnya, mereka tidak mampu melihat potensi diri dan kompetensi yang dimiliki.

Pada aspek pendidikan, pengangguran disebabkan tidak adanya relevansi dan kesejajaran (link and match) kurikulum pendidikan dengan dunia kerja. Kurikulum yang dibuat, belum mampu menciptakan dan mengembangkan kemandirian SDM, yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Begitu lulus, mereka kebingungan karena ilmu yang dimilikinya tidak dapat digunakan untuk mendapatkan pekerjaan.

Karena tuntutan kompetensi pula, PT sering salah langkah. Kita sering mendengar kabar beberapa PT yang hanya membuka program atau jurusan yang sesuai dunia kerja. Itu artinya, PT bukan lagi mencetak generasi ideal yang unggul dalam ilmu dan kepribadian, tetapi menjadi pemasok tenaga kerja bagi industri atau korporasi. Pada sistem pendidikan seperti itu, dasar-dasar intelektualitas mahasiswa menjadi sangat lemah, yang ditandai dengan tidak mampu menalar secara kritis, mengungkap gagasan, kurang mandiri, dan sebagainya. Mereka hanya menjadi robot-robot yang terampil secara psikomotorik saja.

Kreatif dan mandiri
Peringatan hari sarjana baru-baru ini, harus dijadikan momentum untuk mengubah orientasi mahasiswa, dan kaum muda pada umumnya. Mereka harus bangkit dari kekhawatiran, dan menjadikan fenomena pengangguran sebagai "palu godam" untuk memperbaiki diri. Ketika duduk di bangku kuliah, kata Suharsimi Arikunto (2008), mereka harus membekali diri dengan berbagai keterampilan; misalnya keterampilan bahasa asing (Inggris, Prancis, Jerman, dsb.), komputer, ketrampilan finansial, keahlian komunikasi, jaringan kerja (networks), dan sebagainya.

Ketika menjadi sarjana, mereka harus memanfaatkan ilmu dan kreativitas yang dimiliki, untuk menciptakan lapangan kerja. Langkah kreatif dan mandiri itu, akan meningkatkan kredibilitas seorang sarjana, dibandingkan dengan mereka yang tidak mengenyam pendidikan.

Tidak kalah pentingnya, dunia pendidikan harus memperbaiki sistem dan orientasi kurikulumnya. Selain membekali anak didik dengan ilmu pengetahuan, juga harus memperbesar peluang berkembangnya kapasitas kepribadian, seperti tumbuhnya sikap inovatif, kreatif, inisiatif, dan kewiraswastaan. Melalui model pendidikan seperti itu, diharapkan muncul wiraswasta-wiraswasta modern, yang merupakan merupakan bagian integral dari transformasi ekonomi, sebagai akibat dari perkembangan industrialisasi. Pada akhirnya, problem pengangguran merupakan musuh bersama segenap elemen bangsa. Maka, segenap pihak harus bahu-membahu mencari jalan keluar agar problem pelik itu bisa diselesaikan. Semoga.[]

* Penulis, peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten