Langsung ke konten utama

Menanti Sumbangsih Kaum Akademik

Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Suara Merdeka, Edisi 20 Oktober 2008

SEJARAWAN Sartono Kartodirdjo pernah mengkritisi para doktor, dosen, dan kaum intelektual di Indonesia. Mereka, kata Sartono, ibarat pohon pisang yang hanya berbuah sekali, selanjutnya vakum. Atau, sekali berkarya yakni ketika menyusun disertasi, setelah itu tamat dan tutup buku.

Tidak dimungkiri, para doktor dan kaum akademisi pada umumnya miskin dengan karya; entah karya tulis ilmiah (hasil penelitian), buku, apalagi artikel di media massa. Sebagai gambaran, di Universitas Gadjah Mada (UGM), lebih dari 300 guru besar yang dimiliki, hanya 30 persen saja yang melakukan penelitian (Kompas Jogja, 2/2/2007).

Pertanyaannya, jika UGM saja seperti itu, bagaimana dengan perguruan tinggi negeri (PTN) yang lain? Bagaimana dengan perguruan tinggi swasta (PTS)? Maka wajar, jika hadiah Nobel —penghargaan tertinggi terhadap karya seseorang di berbagai bidang— terutama masalah sains, ekonomi, sastra, dan perdamaian tidak pernah mampir di negeri ini.

Selain miskin karya, kaum intelektual itu, tidak pernah memiliki ide-ide ”gila”, atau melakukan penelitian yang luar biasa dan sangat urgen bagi kemanusiaan. Kaum intelektual, kata Fauzil Adhim (2006), dalam keseharian lebih dekat dengan dunia kata-kata.

Artinya, mereka lebih banyak terjun dalam kegiatan ceramah-ceramah, rutinitas akademik di kampus, entah mengajar, membimbing skripsi / tesis / desertasi, atau kegiatan akademik lainnya. Kegiatan ini memang tidak salah, hanya kurang tepat bagi kaum intelektual yang merupakan penyuluh masyarakat bawah (grass roots).

Bukan Ahlinya
Para dosen dan akademisi kampus pada umumnya memiliki tugas ganda. Artinya, selain membimbing mahasiswa, juga dituntut menjadi penyuluh dan pencerah bagi masyarakat di sekitarnya. Itu merupakan praksis nyata Tridarma dunia kampus, agar tidak sekadar di menara gading.

Misalnya, kaum akademisi mempublikasikan hasil penelitian atau rajin menulis artikel di media massa. Sayangnya, sedikit sekali akademisi yang mau menulis di media massa. Jika ada, kebanyakan sekadar mencari pencitraan, ketimbang memberikan pencerahan.

Akibatnya, media massa justru dibanjiri para penulis yang bukan ahlinya. Mereka kebetulan memiliki keterampilan menulis, atau mempu menyuguhkan tulisan yang sesuai dengan selera media massa. Wajar jika hasil analisis tentang sebuah hal menjadi kurang mendalam, parsial dan tidak jarang ”ngawur”. Berbeda tentunya dengan analisis dari pakarnya. Sebagai contoh, persoalan pendidikan akan lebih tajam jika ditulis oleh ahli pendidikan, atau persoalan hukum yang ditulis oleh ahli hukum, dan lain-lain.

Dunia akademik, kata Mahfud MD (2007), makin sering dinodai banyak kecurangan. Misalnya klaim secara sepihak karya tulis orang lain (shadow writer), dosen yang sampai hati menjiplak skripsi, tesis atau desertasi mahasiswa yang dibimbingnya dan sebagainya. Bahkan, banyak dosen yang melakukan penelitian atas pesanan pihak-pihak tertentu. Misalnya penelitian yang dilakukan Jurusan Komunikasi UGM serta Pusat Pengkajian dan Pelatihan Ilmu Sosial-Ilmu Politik (P3-ISIP) Universitas Indonesia. Kedua lembaga itu telah meneliti pemberitaan majalah Tempo dan Koran Tempo mengenai dugaan korupsi penggelapan pajak Asian Agri.

Tidak Terbiasa
Tampaknya, kengganan akademisi menulis di media massa disebabkan beberapa hal. Pertama, mereka tidak memiliki keterampilan menulis. Ketika masih menjadi mahasiswa, mereka terlalu konsen pada studi dan kegiatan akademik lainnya. Mereka tidak mau menyempatkan sedikit waktunya untuk bergabung dengan unit kegiatan mahasiswa (UKM) kepenulisan, atau komunitas-komunitas kepenulisan lainnya. Bagi mereka, menulis bukan sesuatu yang penting, ketimbang dunia akademiknya. Akibatnya, mereka tidak memiliki skill menulis, hingga diangkat menjadi dosen.

Kedua, rutinitas akademik. Banyak dosen mengkambinghitamkan rutinitas akademik, sebagai alasan mereka tidak menulis. Waktu mereka konon habis untuk kegiatan tersebut. Hemat penulis, rutinitas akademik bukan kendala, masih banyak waktu tersisa hanya untuk menulis artikel pendek media massa (hanya sekitar 5.500-6.500 kata). Mestinya, rutinitas itu justru mengilhami banyak tulisan, bukan menjadi kambing hitam.

Ketiga, model atau ragam bahasanya. Kaum dosen terbiasa menulis dengan bahasa ilmiah, sementara media massa menggunakan ragam bahasa ilmiah popular. Kedua ragam bahasa ini memang memiliki perbedaan. Ragam bahasa ilmiah misalnya, cenderung mengikuti tata aturan formal Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), kering, dan kaku. Sementara ragam ilmiah populer lebih komunikatif dan dapat diterima seluruh lapisan masyarakat. Tentu saja, dosen sangat kesulitan menyesuaikan dengan bahasa model tersebut. Memang, ada beberapa dosen ahli yang mampu mengatasinya, karena kebetulan ketika masih menjadi mahasiswa terbiasa menulis di media massa. Kenyataan ini menjadi dilema. Di satu sisi kerja dosen adalah mencerahkan masyarakat, sementara di sisi lain media atau saluran pencerahan tidak bisa menjembatani.

Hemat penulis, sudah saatnya model ragam bahasa ilmiah akademik diselaraskan dengan ragam bahasa ilmiah popular (bahasa media massa). Tujuannya, agar ide-ide cerdas dan pemikiran positif kaum dosen bisa lebih dekat dan bermanfaat bagi masyarakat. Bukankah dengan mentradisikan penggunaan ragam bahasa ilmiah popular di kalangan dosen, tidak bertentangan dengan metode ilmiah yang menjadi ”jargon” dunia akademik?
Meski demikian, independensi, keberpihakan kepada masyarakat, dan kejujuran harus diletakkan sebagai kerangka acuannya. Sebab menulis adalah bekerja untuk keabadian. Artinya, kejujuran dan kebenaran pembacaan akan realitas kehidupan yang terpancar dalam tulisan yang kita suguhkan, bakal terus memengaruhi pembacanya.

Kita pun sudah ikut menyumbangkan nilai positif bagi peradaban masyarakat. Sebaliknya, karya tulis yang dimulai dengan pembacaan keliru dan dibalut dengan kebohongan —meski hanya secuil— bakal merugikan masyarakat pembaca. Sudah saatnya hasil penelitian yang menghabiskan banyak waktu, harta, dan tenaga, tidak hanya menumpuk di ruang sempit dan pengap. Karya-karya tersebut mesti bersilaturahmi, membimbing, dan menjawab persoalan krusial dalam masyarakat.[]
—Agus Wibowo, peneliti utama pada FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten