Langsung ke konten utama

Makna Kemerdekaan di Era Global

Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Bali Pos, Edisi 4 Agustus 2008

SEBENTAR lagi, kita akan memperingati genap 63 tahun Kemerdekaan Indonesia. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, negara ini mestinya sudah mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan bagi seluruh rakyatnya, sebagaimana diamanatkan para founding father. Harapan itulah yang disandarkan pada peringatan ulang tahun kali ini.

Pertanyaannya kemudian, apakah negara kita benar-benar merdeka dan lepas sama sekali dari penjajahan bangsa lain? Secara fisik, memang kita sudah berdaulat dengan memiliki pemerintahan yang tertata dengan solid. Tetapi secara ideologi, teknologi dan ekonomi, kita justru lebih menderita ketimbang penjajahan sebelumnya.

Keadaan ini tidak lepas dari kebijakan ekonomi liberal dan perdagangan pasar bebas, yang diamini pemegang kekuasaan. Melalui kebijakan itu, tanpa kita sadari, Amerika Serikat (AS) dengan beberapa perusahaan raksasanya berhasil menguras habis kekayaan alam negeri ini. Tiap hari ribuan bahkan jutaan barel minyak bumi dihasilkan kilang minyak kita di kawasan (Blog) Cepu, tetapi hanya sedikit yang kita nikmati. Selebihnya mengaliri pundi-pundi Amerika lewat Exon Mobile-nya.

Demikian halnya perusahahan Freeport milik Amerika. Perusahaan ini tiap menitnya mengeruk habis tambang emas di kawasan pegunungan Irian Barat. Puluhan gunung emas di kawasan tersebut, disulap menjadi danau-danau yang tidak bisa dimanfaatkan lagi. Bisa dibayangkan, Amerika menjadi kaya-raya lantaran menguras kekayaan alam Indonesia. Sementara bangsa kita hanya memperoleh getah ekologis pascapenambangan berupa rusaknya kawasan hutan, dan hilangnya kesuburan tanah. Belum lagi, ancaman bencana tanah longsor, banjir, kekeringan, pencemaran dan timbulnya berbagai penyakit yang harus dirasakan penduduk di sekitar kawasan penambangan.

Ancaman Globalisme

Ancaman penjajahan dari segi fisik sebagaimana disebutkan, memang mengerikan tetapi tidak seberapa signifikan. Ancaman terberat justru dari segi nonfisik berupa idealisme dan konsep globalisasi. Tanpa kita sadari, konsep globalisasi yang dicetuskan Amerika, lambat-laun akan mencabik-cabik keutuhan kebhinekaan kita.

Menurut Alvin Toffler dalam bukunya ''The Third Wave'' (1980), problem peradaban yang disebabkan konsep globalisasi bakal mendera negara-negara bangsa (nation states) termasuk Indonesia. Lantaran canggihnya teknologi informasi dan komunikasi, kata Toffler, lahirlah apa yang disebut the global village, yakni sebuah kawasan dunia ''menggelobal'' yang tidak bisa dilihat sekat-sekat teritorialnya. Keadaan ini sangat menguntungkan monopoli Amerika atas negara berkembang, dan menempatkannya pada posisi raja-diraja.

Monopoli Amerika itu, tulis Samir Amin (1997), terasa pada beberapa bidang di antaranya monopoli bidang teknologi berupa kontrol finansial terhadap pasar-pasar keuangan seluruh dunia, monopoli akses terhadap sumber daya alam, monopoli media dan komunikasi dan monopoli senjata pemusnah massal.

Lantaran paradigma globalisasi pula, konsep nation-state dirasuki konflik internal. Penyebabnya berawal dari keinginan masing-masing elemen nation-state untuk menonjolkan identitas dan keunikannya, sementara mengabaikan prinsip kebersamaan. Singkatnya, paham primordial kesukuan, ras, dan agama menjelma mengatasi jalinan ''kerukunan'', dan melepaskan diri dari jeratan persatuan. Karena masing-masing elemen nation-state mudah terprovokasi, kata Samuel P. Hutington (1996), setiap waktu riskan terjadi gesekan dan lebih mudah tersulut konflik kepentingan bahkan benturan peradaban (clash of civilization).

Fenomena itu kerap melanda kesatuan bangsa ini. Misalnya konflik antaretnis (Tioghoa vs pribumi), antarsuku (Madura vs Dayak), antaragama (Islam vs Kristen) di Situbondo dan Poso, munculnya benih-benih disintegrasi; kasus GAM (Gerakan Aceh Merdeka), Republik Maluku Selatan (RMS) dan Gerakan Papua Merdeka (GPM). Fenomena konflik dan disintegrasi yang terus menyergap bangsa ini, menyiratkan betapa lebih mengerikannya penjajahan konsep globalisasi. Jika nation-state tidak berbenah dengan menyegarkan semangat nasionalismenya, lanjut Hutington, maka bisa dipastikan negara tersebut bakal mengalami keruntuhan. Kita tentu tidak ingin negara ini hancur lantaran globalisasi.

Penyegaran Nasionalisme
Tidak ada pilihan bagi bangsa ini, selain terus memperbarui semangat nasionalisme, sembari berusaha menghilangkan dominasi Amerika. Penyegaran nasionalisme dilakukan dengan terus mengenang dan melaksanakan semangat kemerdekan, memperteguh solidaritas dan semangat nasionalisme. Misalnya lewat penelisikan, pengkajian dan pemaknaan sejarah yang holistik. Dengan langkah seperti itu, bakal timbul kesadaran bahwa kemerdekaan yang kita nikmati merupakan hasil cucuran keringat, air mata, darah, harta dan nyawa para pendahulu kita. Oleh karena itu sudah sepatutnya bagi kita mempertahankan kemerdekaan dan mengisinya dengan kegiatan positif. Pada tataran ini, kesadaran intelektual dan wawasan pemikiran tidak bisa dinafikan dalam kepentingan terjaganya nasionalisme pada diri bangsa.

Usaha melepaskan diri dari dominasi Amerika, misalnya dengan menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing -- sebagaimana dicetuskan tokoh reformasi Amien Rais. Dengan nasionalisme tersebut, paling tidak, kita bisa lebih banyak menikmati hasil bumi pertiwi sembari mengentaskan diri dari jeratan krisis. Usaha nasionalisasi itu, bisa dimulai dengan meninjau kembali undang-undang (UU) yang mengatur kerja sama dan investasi dengan pihak asing (termasuk Amerika). Harus diakui, dalam UU tersebut posisi tawar kita sangat lemah sehingga pihak asing bisa leluasa menjajah. Usaha nasionalisasi, tentu saja membutuhkan ketegasan dari pemerintah. Pertanyaannya kemudian, beranikah pemerintah berperan layaknya Kemal Pasya pada revolusi Iran, atau pemerintah Jepang pada era-restorasi Meiji?

Tidak kalah pentingnya, pemerintah secara integratif berusaha mengentaskan problem kemiskinan, penegakan hukum, rendahnya kualitas mutu pendidikan, penuntasan kasus kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), perbaikan pasca bencana dan kerusakan lingkungan hidup. Jika agenda tersebut terus ditunda, rakyat bakal semakin menderita lantaran terus 'dijajah' oleh tata-sistem yang dibuat oleh pemerintah sendiri. Merdeka dan jayalah bangsaku.[] Penulis, peneliti utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera