Langsung ke konten utama

Sastra(wan) dan Kritik Sosial

Oleh Agus Wibowo*
Harian Jurnas, Minggu 24 Februari 2008
Kenneth Burke dalam A Grammer of Motives' and A Rhetoric of Motives (1927:33) menyatakan bahwa sastra idealnya berperan secara estetika dan praktis. Artinya, meski sastra merupakan dunia dengan tebaran keindahan, tetapi harus memiliki relevansi dan kontribusi bagi kehidupan. Sastra harus memiliki kandungan atau isi bermanfaat, mengangkat derajat perikemanusiaan dan mengajarkan nilai-nilai moral yang luhur. Dengan kata lain, sastra harus menjadi medium penyadaran dan pendidikan masyarakat pembacanya. Memang pada mulanya, sastra dicipta semata-mata sebagai dunia estetika yang hendak dicumbui keindahannya. Akan tetapi, karena sastra juga merupakan sebuah produk budaya, maka akhirnya berkembang sesuai dengan proses zaman yang memolanya.Karya sastra yang kritis dan imajinatif, menjadi semacam rujukan atau jawaban atas persoalan dalam kehidupan, di samping kitab suci agama. Jawaban yang disuguhkan sastra memiliki dua sisi yang saling melengkapi, yaitu kebenaran yang merupakan kata kunci dalam pengetahuan (sains) dan keindahan yang merupakan unsur sastra sendiri. Pendek kata, sastra memberi jawaban atas problem kehidupan dengan kebenaran yang dibalut keindahan. Jika merujuk pendapat Burke tersebut, terjawab sudah kontrovesi antara kubu estetika dengan kubu praktis mengenai peran sastra.Hanya saja, kadar kebenaran dan keindahan sastra tergantung pada pengarangnya. Jika kebetulan pengarangnya adalah orang yang arif, bijaksana dan mengkhususkan dirinya untuk kemanusaiaan, tentu saja karya-karyanya membawa kebenaran murni yang membidani kedamaian, menata peradaban dan mengantarkan manusia pada tujuan hidupnya. Sebaliknya, jika pengarangnya kebetulan haus kekuasaaan, bermental bejat, gila hormat dan bertabiat kurang baik, tentu saja karyanya tidak layak dinikmati.
Mediasi Kritik dan Pemberontakan
Pada konteks bangsa ini (Indonesia), tatkala krisis multidimensi dan carut-marut belum beranjak, idealnya sastra menyembulkan peran estetika dan praktisnya. Sastrawan kita mesti terjaga dari peraduannya. Sudah saatnya sastrawan kita memoles luka bopeng kehidupan bangsa ini, dengan berbagai karya kritis sekaligus mencerahkan.Sastrawan kita harus berperan layaknya Paulo Freire, yang meminjam derita masyarakat sebagai penyuplai ide-idenya. Seluruh karya Freire merupakan kritik sosial atas penderitaan yang menimpa rakyatnya. Menurut Freire, sastrawan mestinya tidak hanya menjadikan rakyat sebagai objek karya sastra, lebih dari itu sebagai subjeknya. Dengan kata lain, sastra tidak hanya berbicara tentang rakyat, melainkan juga berbicara dan bersilaturrahmi dengan mereka. Selain itu, sastrawan-melalui karya-karyanya-harus membongkar oknum-oknum haus kekuasaan, munafik, gila harta atau oknum ulama yang tidak peduli dengan umatnya. Sudah saatnya sastrawan "memberontak" pada ketidakadilan, penguasa yang menindas, menghisap dan menyengsarakan rakyatnya. Tidak ada pilihan lain, selain sastra kita-meminjam istilah Satyagraha Hoerip-harus "terlibat" dalam menyelamatkan moralitas bangsa. Tujuannya, agar korupsi, manipulasi, menipu, memeras, dan moralitas bejat lainnya, menular atau mewaris pada generasi muda (Sawali Tuhusetya, 2007). Pertanyaannya kemudian adalah, tatkala sastra(wan) telah lantang menyuarakan "pemberontakan" tersebut, apakah lantas kondisi bangsa ini terentaskan? Secara langsung memang tidak terasa. Paling tidak, masyarakat (pembaca) kemungkinan besar terangsang untuk melakukan penyadaran tentang pelbagai problem tersebut pasca membaca karya sastra, atau kemungkinan problem tersebut tidak dirasakan lagi kehadirannya dalam kehidupan-karena masyarakat terhibur dengan sastra (Chairul Harun, 1997).Selain itu, sastra juga bisa berperan sebagai human control persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Sebagus dan sehebat apapun karya sastra dengan tebaran estetika yang menghujam perasaan-meminjam istilah Sawali Tuhusetya-tanpa menyentuh kawasan humanitas masyarakat tidak ada artinya. Karya sastra yang demikian, ibarat "paes-paes" yang berada di menara gading lantaran tidak ada kontribusinya bagi kehidupan. Padahal menurut A. Teeuw, karya sastra idealnya merupakan a unified whole, yakni dunia bulat yang menunjukkan koherensi makna dengan dunia otonom yang minta untuk dinikmati demi sirinya sendiri sebagai aspek terpenting.Kita bisa belajar dari negara-negara barat. Di sana, sastra bisa berperan sebagai kritik sosial yang mumpuni, membentuk public opinion, sekaligus mampu memengaruhi zamannya (Kuntowijoyo, 1999). Misalnya dalam novel Max Havelaar (1860) karya Multatuli, atau Uncle Tom's Cabin (1852) karya Harriet Beecher Stowe. Di Indonesia memang ada beberapa karya sastra yang berusaha menjadi sarana kritik sosial, akan tetapi menurut Kuntowijoyo karya-karya sastra tersebut belum mampu membentuk public opinion masyarakatnya. Serat Kalatida karya Ronggowarsito (1802-1874) misalnya, sebuah puisi yang mengandung protes sosial, tetapi menurut Kuntowijoyo masih terlalu bersifat moral sehingga keterjepitan masyarakat Jawa dalam dunia tidak dapat diubah dan tidak dapat dihindarkan. Serat Kalatida juga tidak memberi inspirasi sekaligus membuahkan gerakan masyarakat Jawa atau revolusi sosial masyarakat jawa. Serat Kalatida juga hanya mengingatkan para pejabat dan rakyat Kerajaan Jawa untuk selalu eling dan waspada menghadapi "zaman edan"Menurut Kuntowijoyo, justru Boeka (1867-1930) seorang sastrawan dari Belanda yang mampu membuat karya sastra sekaligus membentuk public opinion mengenai masyarakat Jawa. Lewat karyanya yang berjudul Pah Troena (1901), Boeka mengecam menurunnya kemakmuran orang jawa lantaran kolonialisme Belanda. Boeka juga menuntut pemerintah Belanda menciptakan kemakmuran pada daerah jajahannya, khususnya tanah Jawa. Kritik sastrawan Boeka ini, pada akhirnya membuahkan politik etis yang sudah lama dinanti-nantikan semenjak Max Havelaar. Karya sastra dengan kritik sosial serupa, juga dapat diketemukan dalam karya Arti Purbani Widiyawati (1949). Novel ini semula ditulis dalam bahasa Belanda, namun kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Karya sastra yang berbentuk novel ini melukiskan tokoh-tokoh yang terlibat dalam lingkungan kelas sosial kaum bangsawan Kejawen serta seluk-beluk hubungan mereka dengan kelas-kelas sosial lainnya. Novel tersebut juga menguraikan secara mendetail adanya proses pemiskinan rakyat yang dilakukan para bangsawan kerajaan, serta munculnya kelas-kelas sosial baru pada awal abad ke-20.Novel bergaya prosa liris Pengakuan Pariyem (1981) karya Linus Suryadi AG, juga mengungkap kritik sosial (social critical) dengan melukiskan nasib penduduk desa yang melakukan urbanisasi ke kota-kota besar. Novel tersebut berhasil mengungkap dunia batin yang serba pasrah terhadap nasib yang disandang. Melalui simbol tokoh Pariyem, Linus berusaha memancing munculnya gerakan protes kaum wanita (gender) akan penindasan kaum bangsawan serta penempatan posisi wanita sebagai the second sex. Selain itu, Pengakuan Pariyem juga menjadi saksi sejarah mengenai proses urbanisasi besar-besaran, potret kemiskinan, serta culture of poverty daerah tandus yang bernama Gunung Kidul.Sudah saatnya perdebatan (kubu estetika dan praktis) seputar peran sastra diakhiri. Kedua kubu mesti bergandengan tangan, bersilaturrahmi dan bahu-membahu demi mengentaskan bangsa ini dari krisis. Kolaborasi antara kubu estetis dengan kubu praktis, akan menghasilkan kritik sosial yang berimbang.
Kritik sosial sastra tidak melulu mengobarkan yel-yel dan protes yang gegap-gempita terhadap realitas sosial. Tetapi, perlu dibarengi dengan unsur estetis sehingga sanggup menumbuhkan kesadaran dalam lubuk hati pembacanya tanpa bermaksud menggurui. Pembaca yang hanya melulu disodori berbagai fatwa, nasehat, pepatah dan petitih sosial yang nggegirisi, tak ubahnya membaca sebuah liputan mengenai kejadian demonstrasi atau unjuk rasa yang vulgar. Bisa terjadi miscommunication dan misperseption antara persepsi dan visi penulisnya dengan masyarakat pembacanya.
Pada akhirnya, harus ada keseimbangan antara sastra sebagai kritik sosial, serta sastra sebagai pemenuhan dahaga batiniah masyarakat pembacanya. Semoga * Esais Sastra, Penggiat Komunitas Aksara Yogyakarta (KAY).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#01 Strategi Memilih Jurnal Terindeks SCOPUS

 Memilih jurnal terindeks scopus yang sesuai dengan artikel kita, bukan perkara mudah. Jika kita tidak jeli, bisa jadi artikel kita akan ditolak oleh jurnal yang kita tuju. Lalu, bagaimana strategi agar kita bisa memilih jurnal terindeks scopus yang tepat? Video berikut memberikan pemahaman terkait bagaimana strategi memilih jurnal terindeks SCOPUS yang tepat. Berikut link videonya: https://youtu.be/krewz_cmY5A 

Buruk Rupa Birokrasi Daerah

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Kamis,3 September 2009 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%). Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyar...

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Sabtu 19 September 2009 Halaman Kampus ’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT). Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah. Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen). Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta,...