Langsung ke konten utama

Kebebasan Memilih Sekolah

Oleh Agus Wibowo
Harian Pikiran Rakyat Edisi Senin, 23 Juni 2008
TAHUN ajaran baru 2008/2009 segera dimulai. Seperti biasanya, anak kembali dipusingkan dengan perburuan sekolah tempat mereka belajar kelak. Selain itu, sering keinginan anak tidak sehaluan dengan cita-cita atau keinginan para orang tua. Hal ini lantaran sebagian orang tua memiliki rencana ideal, yang mesti diterapkan pada anak-anaknya.
Anak dengan demikian tidak memiliki kebebasan untuk memilih atau menentukan masa depannya sendiri. Misalnya dalam memilih sekolah, ada anak yang sebenarnya berbakat di bidang musik, tetapi karena orang tuanya berkeinginan anaknya menjadi dokter, sang anak dipaksa masuk di jurusan IPA.
Para orang tua, tulis Elkind (1989), selalu berharap agar anaknya menjadi "be special" atau orang Jawa bilang linuwih ketimbang orang kebanyakan (be average). Harapan itu tidak salah. Hanya, orang tua harus menyadari bahwa buah hati mereka terlahir dengan sifat, ciri khas, kelemahan, dan kelebihan yang membedakan satu dengan yang lain. Sayangnya, sedikit orang tua yang memahami hal itu. Mereka lebih sering menjadi penindas atau monster mengerikan, yang merebut, mencabik-cabik imajinasi, ruang batin, dan cita-cita anak. Eksesnya, anak mengalami trauma psikologis yang akan terus membayangi hingga dewasa kelak.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika menemukan adanya kejanggalan pada beberapa responden orang dewasa. Beberapa responden memiliki kemampuan kognitif, kelebihan, dan keterampilan (skill and competent) di atas rata-rata. Akan tetapi, mereka memiliki kepribadian labil, dan sering berperilaku kekanak-kanakan. Begitu ditelisik secara saksama, ternyata mereka dulunya adalah anak-anak yang digagas menuruti ego orang tua dan dipaksa mengikuti beragam kegiatan, seperti kegiatan mental aritmatik, sempoa, renang, basket, balet, dan sebagainya (Neil Postman, 1980).
Tidak optimal
Karena dipaksa menuruti ego orang tua, anak akan mempelajari sesuatu yang tidak menjadi minat, bakat, dan kemampuannya. Kondisi ini tentu saja sangat tidak menyenangkan, dan menjadi problem serius dalam belajarnya. Anak yang belajar karena terpaksa, tulis Puji Susilowati (2008), akan kesulitan mencerna pelajaran. Hal ini karena dalam memori otaknya sudah ada blocking emosi. Perasaan kesal, marah, sebal, sedih, itu semua sudah memblokir efektivitas kerja otak dan menghambat motivasi. Anak kemungkinan akan berusaha setengah mati supaya hasilnya baik, but at the cost of his/her being. Dia mengabaikan panggilan hidupnya, perasaannya, demi orang tua. Kepahitan dan kegetiran, marah, penyesalan, dan penasaran bisa jadi membayangi setiap langkah hidup anak.
Akan tambah sedih lagi ketika dia melihat teman-temannya bisa berbahagia di atas kehidupan yang mereka pilih sendiri. Kalau anak yang dari keluarga kaya (the have), bisa saja dengan mudahnya mengulang atau pindah sekolah yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Akan tetapi, bagi mereka yang kebetulan ekonominya pas-pasan, ini bisa menjadi dilema berat. Dampak psikologis yang lain, yakni menurunnya daya tahan terhadap tekanan, konsentrasi, dan menurunnya daya juang. Apalagi kalau pelajaran kian sulit, masalah semakin bertambah, bisa menyebabkan sekolah terancam terhenti di tengah jalan.
Selain problem psikologis, anak yang terpaksa mengikuti keinginan orang tua akan mengalami problem akademis seperti prestasi yang tidak optimal, banyak mengulang pelajaran yang berdampak bertambahnya waktu dan biaya, kesulitan memahami materi, kesulitan memecahkan persoalan, ketidakmampuan untuk mandiri dalam belajar, dan buntutnya adalah rendahnya nilai rapor atau indeks prestasi.
Problem psikologis dan akademis yang dialami anak, ternyata berimbas pada hubungan sosialnya. Anak akan merasa tidak nyaman dan tidak percaya diri. Ia merasa tidak mampu menguasai pelajaran sehingga ketika hasilnya tidak memuaskan ia pun merasa minder karena merasa dirinya bodoh. Parahnya, anak akan menjaga jarak dengan teman lain, makin pendiam, menarik diri dari pergaulan, lebih senang mengurung diri di kamar, takut bergaul karena takut kekurangannya diketahui, dsb. Atau, anak bisa jadi agresif karena kompensasi dari inferioritas di pelajaran. Karena merasa kurang di pelajaran, dia berusaha tampil hebat di lingkungan sosial dengan cara mendominasi, mengintimidasi anak yang dianggap lebih pandai, dsb.
Biarkan memilih
Pertanyaannya kemudian, mengapa orang tua tetap memaksakan egonya terhadap anak-anaknya? Apakah mereka tidak menyadari dampak mengerikan yang akan dialami anak kelak? Para orang tua, tulis Dewi Utama Faizah (2007), sadar jika pemaksaan keinginan adalah keliru. Akan tetapi, mereka yakin bahwa keberhasilan mereka selama ini, lebih cocok bila diterapkan kepada anaknya. Pendek kata, orang tua lebih yakin pada pengalaman hidupnya, ketimbang menuruti potensi anak yang sifatnya masih labil.
Hal sama juga ditemukan Elkind (1989) dalam penelitiannya terhadap tipe-tipe orang tua mendidik. Elkind sampai pada kesimpulan bahwa bagaimana orang tua mendidik dan memperlakukan anak akan sangat mirip dengan perlakuan yang dialaminya ketika kecil dahulu. Misalnya pada tipe milk and cookies parents atau orang tua dengan latar belakang masa kanak-kanak yang bahagia, masa kecil yang sehat dan manis. Mereka cenderung menjadi orang tua yang hangat dan menyayangi anak-anaknya dengan tulus. Mereka juga sangat peduli dan mengiringi tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh dukungan.
Sudah saatnya orang tua memberikan kebebasan anak, baik dalam memilih sekolah maupun menentukan masa depannya. Biarlah anak-anak memilih sekolah atau pendidikan sesuai dengan bakat dan potensi yang dimilikinya. Kewajiban orang tua adalah membimbing tumbuh kembang bakat dan potensi anak tersebut, agar tidak pudar atau melenceng dari alurnya. Semoga.[]
Penulis, Peneliti Utama FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten