Oleh Agus Wibowo
Harian Joglosemar, Edisi 15-05-2008
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) South East Greenpeace (2007), mencatat terjadinya kerusakan lebih dari 28 juta ha (hektare) hutan lindung dan hutan konservasi di Indonesia tahun 1990-2007. Sembilan juta ha di antaranya, disebabkan alih fungsi lahan untuk hutan tanaman industri. Sementara LSM Greenomics Indonesia (2008) juga menemukan adanya kerusakan lebih dari 10 juta ha hutan lindung dan hutan konservasi semenjak diterbitkan UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan.
Harian Joglosemar, Edisi 15-05-2008
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) South East Greenpeace (2007), mencatat terjadinya kerusakan lebih dari 28 juta ha (hektare) hutan lindung dan hutan konservasi di Indonesia tahun 1990-2007. Sembilan juta ha di antaranya, disebabkan alih fungsi lahan untuk hutan tanaman industri. Sementara LSM Greenomics Indonesia (2008) juga menemukan adanya kerusakan lebih dari 10 juta ha hutan lindung dan hutan konservasi semenjak diterbitkan UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan.
Akibat kebijakan alih fungsi hutan selama 40 tahun terakhir, tulis Greenomics Indonesia, kerugian yang diderita negara dan masyarakat Indonesia sedikitnya Rp 589,3 triliun per tahun. Kerugian tersebut terbagi menjadi tiga bagian, yakni Rp 170,2 triliun untuk kerugian kayu, Rp 320,6 triliun akibat hancurnya ekologi, serta kenaikan inflasi Rp 88,5 triliun per tahun. Ini artinya, jumlah kerugian akibat alih fungsi hutan, jauh lebih besar ketimbang devisa yang diperoleh negara—yang hanya Rp 80 triliun. Jika alih fungsi hutan terus berlanjut, diramalkan kerugian yang akan diterima Indonesia 3,5 kali lebih besar dibandingkan yang terjadi sekarang.
Nampaknya, pemerintah tidak bercermin dan mengambil pelajaran dari dampak menyedihkan kebijakan sebelumnya. Pemerintah justru menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 2/2008, tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan. PP ini justru menjadi rekomendasi komersialisasi hutan lindung dalam bentuk baru. Pasalnya, pemerintah hanya mengenakan pungutan PNBP Rp 3 juta per hektare per tahun, atau sekitar hanya Rp 120 hingga Rp 300 per meter dari kegiatan tambang tersebut. Artinya, dengan uang receh Rp 1.000, kita sudah bisa untuk menyewa satu meter persegi hutan lindung kita selama setahun. Jelas ini harga hutan termurah yang resmi dikeluarkan sepanjang sejarah negeri ini. Pertanyaannya kemudian, siapa yang bakal menanggung dampak akibat kebijakan pemerintah tersebut? Siapa lagi, kalau bukan rakyat! Kita tentu masih ingat banjir yang melibas Pulau Jawa pada tahun 2007/2008. Menurut para ahli, banjir tersebut merupakan yang terbesar dan terparah selama 30 tahun terakhir. Memang fenomena global warming dan anomali iklim turut mempengaruhi kondisi tersebut. Akan tetapi, kebijakan alih fungsi hutan memberi kontribusi cukup besar dalam “bencana Jawa” tersebut. Akibat kebijakan itu, hutan lindung dan konservasi telah kehilangan fungsinya sebagai daerah resapan air, sekaligus penahan tanah dari erosi dan abrasi. Demikian juga hutan mangrove, sudah berubah menjadi areal pertambakan ikan dan udang, yang tidak diimbangi dengan zona penyangga atau green belt. Akibatnya, jika terjadi gelombang pasang maka banjir akan dengan mudah meluapi daerah pesisir. Menurut data Menteri Pekerjaan Umum (2007), banjir Jawa dan di pesisir Pantura telah menyebabkan rusaknya jalan raya sepanjang 100 km, sawah tergenang 150.000 ha dan korban jiwa 100 orang. Belum lagi kerugian harta benda serta lumpuhnya perekonomian akibat terhambatnya arus barang dan jasa.Wajar jika Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menneg LH) Rachmat Witoelar, menolak tegas PP No 2/2008 dan akan mempertahankan fungsi hutan sebagai benteng terakhir keselamatan masyarakat. Tindakan tegas Menneg LH ini patut didukung semua pihak, baik kalangan eksekutif sendiri, legislatif, yudikatif maupun rakyat.
Langkah Strategis
Belajar dari banjir yang terjadi di pulau Jawa tahun 2007/2008, mestinya pemerintah bersama rakyat segera menghentikan laju perusakan (deforestasi) hutan. Pertama, pemerintah menindak tegas para mafia elite yang mempermulus terjadinya pembalakan hutan secara besar-besaran, maupun maling hutan kelas teri. Mereka harus diperlakukan dan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku, secara jujur, adil, transparan dan bebas dari KKN. Tidak ada diskriminasi hukum antara golongan elit (termasuk elit politik) dan rakyat biasa. Proses supremasi hukum yang baik ini, selain menimbulkan efek jera bagi pelaku juga melindungi dan membela hak-hak negara dan masyarakat. Kedua, pemerintah perlu melakukan timbang ulang, analisis dampak lingkungan, dan jika perlu merevisi berbagai kebijakan yang mengarah pada perusakan hutan. Misalnya, UU Nomor 5/1967 maupun PP No 2/2008. Ketiga, pemerintah perlu menata ulang dan merehabilitasi kawasan hutan secara berkesinambungan, dengan memberdayakan masyarakat melalui konservasi hutan desa. Lahan-lahan yang diperuntukkan hutan desa ini dapat berupa bantaran sungai, tepian kampung, jalan poros desa, dan pengalihan sebagian tanah bengkok desa. Carik/sekretaris desa yang biasanya memiliki 2-3 ha tanah bengkok, harus merelakan sebagian tanah bengkoknya (minimal 1 ha) untuk ditanami tanaman hutan. Hal ini karena para carik sudah mendapat gaji sebagaimana pegawai negeri lainnya. Karena tradisi tanah bengkok hanya ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, untuk desa-desa di Jawa Barat dan Banten, hutan desa dapat berupa tanah wakaf, bantaran sungai, atau lahan telantar. Jika setiap desa dapat menyisihkan 1-2 ha lahannya untuk hutan desa berarti akan terdapat puluhan ribu ha hutan-hutan baru yang sangat bermanfaat untuk menyimpan air.Memang program hutan desa tidak bisa dinikmati secara instan, karena butuh waktu yang lama untuk merealisasikannya. Agar program hutan desa ini dapat terlaksana dengan baik, maka pemerintah dituntut komitmennya dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Mereka perlu diberitahu manfaat hutan desa, dan untuk siapa manfaat yang paling besar. Pelaksana penyuluhan ini tidak perlu merekrut tenaga baru lagi, karena pemerintah sudah memiliki petugas Penyuluh Kehutanan. Pemerintah tinggal mendayagunakan dan mengoptimalkan kinerja para Penyuluh Kehutanan tersebut. Jika masyarakat sudah mengerti dan menyadari manfaat hutan desa, lambat-laun mereka sendirilah yang akan menanam dan merawat tanaman hutan itu. Kesadaran masyarakat ini tentunya harus didukung oleh pemerintah dengan menyediakan bibit tanaman hutan seperti mahoni, damar, jati, atau tanaman hutan lainnya yang sesuai dengan daerah desa masing-masing. Melalui konservasi hutan desa, paling tidak pemerintah sudah menyelamatkan ratusan ribu atau bahkan jutaan nyawa masyarakat dari berbagai bencana yang ditimbulkan akibat penurunan fungsi hutan. Semoga. [] Penulis adalah Analis Lingkungan, Mahasiswa Pascasarjana UNY
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus