Oleh Agus Wibowo
Dilansir dari Harian Suara Merdeka, Edisi 21 Mei 2008
BULAN Mei ini, genap 10 tahun gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa dan elemen masyarakat digulirkan. Sayangnya, tak ada penanda signifikan gerakan reformasi telah membawa perubahan. Barangkali, prestasi yang sudah dicapai baru sebatas kebebasan pers, kebebasan berpolitik, dan amandemen UUD 1945.
Untuk ketiga hal tersebut, harus diakui bangsa Indonesia relatif mengalami kemajuan signifikan. Meski demikian, kontrol harus tetap dilakukan agar agenda itu tidak menjadi ”kuda troya” para politisi dan penguasa negeri ini. Tetapi, selebihnya, reformasi masih melanggengkan iklim pemerintahan, sistem birokrasi, dan pelayanan publik yang setali tiga uang dengan era Orde Baru. Pendek kata, reformasi tak lebih Neo Orde Baru, bahkan tak lebih dari kepanjangan tangan Orde Baru.
Agenda utama reformasi untuk mengadili almarhum mantan presiden Soeharto beserta seluruh kroninya, tidak terdengar lagi kabarnya. Parahnya, supremasi hukum kita masih diasupi rasa sungkan atau ewuh-pekewuh untuk mengadili para elite yang terbukti melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Sementara parlemen, yang mestinya menjadi corong bagi kepentingan rakyat, justru dihuni sejumlah orang yang gemar melakukan perbuatan tidak terpuji.
Rekam jejak langkah para anggota DPR, tulis Fuad Fanani (2006), tampak mengalami kemunduran yang memprihatinkan. Yang mereka lakukan hanya melakukan lobi-lobi politik, membahas RUU yang tidak terlalu signifikan bagi kepentingan rakyat, serta bagaimana menjaga agar para menteri yang mewakili partainya di kabinet tetap bertahan dan berhubungan mesra dengan kekuasaan.
Kalaupun ada kemajuan, tampaknya masih berupa ”keberanian” para anggota Dewan untuk bermain gontok-gontokan dalam membela rezim atau menentangnya. Dan hal itu tampak sekali pada adegan baku hantam dan saling serobot para anggota Dewan dalam mengajukan pembelaan dan kritikan terhadap kepentingan politiknya.
Tertangkapnya Al Amin Nasution, salah seorang anggota Fraksi PPP, makin mengukuhkan kebenaran gosip jalanan yang diembuskan grup band Slank, maupun tulisan Mahfud MD (2008) tentang borok di tubuh DPR tersebut.
Pada aspek sosial kemasyarakatan, amanat reformasi untuk mewujudkan masyarakat madani (civil society) hanya sebatas jargon semata. Pasalnya, jumlah orang miskin makin bertambah akibat berbagai kebijakan pemerintah yang gegabah. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2007), jumlah orang miskin saat ini 16,85 persen dari total populasi, atau sekitar 36,8 juta jiwa. Jumlah ini diprediksi meningkat tajam sebesar 8,55 persen atau sekitar 15,68 juta jiwa, jika kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 30 persen benar-benar direalisasikan (Kompas, 7/5/08).
Jika ditinjau dari aspek makro dan laju harga minyak dunia, kondisi Indonesia saat ini kembali lagi pada era krisis moneter 1997. Kondisi ini bisa dirasakan dari kelangkaan BBM yang memicu inflasi, iklim yang tidak menentu, petani gagal panen, naiknya harga minyak dunia, dan turunnya mata uang dolar terhadap mata dunia.
Sejatinya, fenomena ini jauh-jauh hari sudah diramalkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. Karena kesombongan dan ketidakarifan pemerintah dalam membaca pertanda, saran Menkeu tersebut dianggap angin lalu. Akibatnya, rakyat merasakan dampaknya hidup dalam harapan hampa dan dan kegamangan masa depan.
Reformasi Kultural
Mencermati kondisi carut-marut masyarakat, serta gagalnya pemerintah mengemban amanat reformasi, nampaknya perlu digulirkan reformasi jilid kedua. Hanya saja strateginya mesti diubah. Kalau reformasi terdahulu lebih banyak diwarnai aksi kekerasan dan anarkhisme, kini harus diganti dengan strategi berbasis kultural dan pengukuhan bangun solidaritas.
Secara leksikal, bangun solidaritas merupakan gabungan dan kesepakatan dari seluruh elemen atau individu, sebagai satu kelompok kesatuan yang lengkap, seperti dari opini, tujuan, kepentingan, perasaan, dan sebagainya (New World Dictionary, 1998).
Solidaritas macam ini disebut Julia Jary (1991) sebagai solidaritas sosial, yakni sebuah integrasi yang dimanifestasikan masyarakat atau kelompok menjadi semacam bangun solidaritas mekanis. Selanjutnya, bangunan solidaritas mekanis berfungsi untuk memobilisasi, membentuk kesadaran dan kepercayaan masyarakat atas praktik sosial. Apabila bangun solidaritas mekanis sudah terjalin kuat, bisa digunakan bersama-sama untuk mengentaskan persoalan bangsa.
Reformasi jilid kedua harus memperjuangkan kepentingan rakyat, mempertahankan aspek kebebasan, proses demokratisasi yang sudah dicapai, dan pemberantasan KKN sebagai agenda utamanya.
Selanjutnya, penuntasan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), pengungkapan kasus orang hilang, kasus Munir, dan akuntabilitas kinerja pemerintah yang trasparan menjadi agenda selanjutnya. Pemerintah sebagai pemegang sekaligus pengambil kebijakan (policy making) harus bersikap tegas alias tidak plin-plan dalam menggawangi supremasi hukum.
Pemimpin muda
Suksesi kepemimpinan juga perlu digulirkan kembali. Berkaitan dengan hal tersebut, Azyumardi Azra (2007) mengatakan sudah saatnya kepemimpinan negara dan politik di berbagai level melakukan kebijakan dan langkah afirmatif untuk membuka peluang lebih besar pada munculnya kepemimpinan baru. Dengan langkah itu, diharapkan muncul pemimpin-pemimpin yang segar untuk waktu yang tidak lama.
Maka, akses kepemimpinan baik dalam jabatan publik maupun politik hendaknya secara lebih besar diberikan kepada generasi muda. Pertimbangan lama bahwa jabatan diberikan berdasarkan kompromi dan akomodasi politik, seharusnya diganti dengan pertimbangan profesionalitas, kapabilitas, visi kepemimpinan, dan pemberian peluang pada yang muda.
Sementara pada aspek pembangunan kemasyarakatan, perlu dilakukan revisi atas teori-teori pembangunan yang masih berkiblat pada era 1970-an hingga 1980-an. Hal ini karena kondisi lingkungan, sosial kemasyarakatan, serta tantangan yang dihadapi lebih kompleks.
Selanjutnya hasil akumulasi dan revisi teori pembangunan itu dapat digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Perlu juga dipopulerkan kembali gerakan Aku Cinta Indonesia (ACI), sebagai upaya menumbuhkan kecintaan pada produk dalam negeri.
Pada akhirnya, segenap elemen bangsa perlu bersatu-padu dan bersama-sama menggulirkan reformasi jilid kedua sebagai palu godam reformasi 1998 yang kini telah mati suri. Harapannya, kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat di segala bidang bisa segera direalisasikan. Semoga![] Agus Wibowo, peneliti utama pada FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Dilansir dari Harian Suara Merdeka, Edisi 21 Mei 2008
BULAN Mei ini, genap 10 tahun gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa dan elemen masyarakat digulirkan. Sayangnya, tak ada penanda signifikan gerakan reformasi telah membawa perubahan. Barangkali, prestasi yang sudah dicapai baru sebatas kebebasan pers, kebebasan berpolitik, dan amandemen UUD 1945.
Untuk ketiga hal tersebut, harus diakui bangsa Indonesia relatif mengalami kemajuan signifikan. Meski demikian, kontrol harus tetap dilakukan agar agenda itu tidak menjadi ”kuda troya” para politisi dan penguasa negeri ini. Tetapi, selebihnya, reformasi masih melanggengkan iklim pemerintahan, sistem birokrasi, dan pelayanan publik yang setali tiga uang dengan era Orde Baru. Pendek kata, reformasi tak lebih Neo Orde Baru, bahkan tak lebih dari kepanjangan tangan Orde Baru.
Agenda utama reformasi untuk mengadili almarhum mantan presiden Soeharto beserta seluruh kroninya, tidak terdengar lagi kabarnya. Parahnya, supremasi hukum kita masih diasupi rasa sungkan atau ewuh-pekewuh untuk mengadili para elite yang terbukti melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Sementara parlemen, yang mestinya menjadi corong bagi kepentingan rakyat, justru dihuni sejumlah orang yang gemar melakukan perbuatan tidak terpuji.
Rekam jejak langkah para anggota DPR, tulis Fuad Fanani (2006), tampak mengalami kemunduran yang memprihatinkan. Yang mereka lakukan hanya melakukan lobi-lobi politik, membahas RUU yang tidak terlalu signifikan bagi kepentingan rakyat, serta bagaimana menjaga agar para menteri yang mewakili partainya di kabinet tetap bertahan dan berhubungan mesra dengan kekuasaan.
Kalaupun ada kemajuan, tampaknya masih berupa ”keberanian” para anggota Dewan untuk bermain gontok-gontokan dalam membela rezim atau menentangnya. Dan hal itu tampak sekali pada adegan baku hantam dan saling serobot para anggota Dewan dalam mengajukan pembelaan dan kritikan terhadap kepentingan politiknya.
Tertangkapnya Al Amin Nasution, salah seorang anggota Fraksi PPP, makin mengukuhkan kebenaran gosip jalanan yang diembuskan grup band Slank, maupun tulisan Mahfud MD (2008) tentang borok di tubuh DPR tersebut.
Pada aspek sosial kemasyarakatan, amanat reformasi untuk mewujudkan masyarakat madani (civil society) hanya sebatas jargon semata. Pasalnya, jumlah orang miskin makin bertambah akibat berbagai kebijakan pemerintah yang gegabah. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2007), jumlah orang miskin saat ini 16,85 persen dari total populasi, atau sekitar 36,8 juta jiwa. Jumlah ini diprediksi meningkat tajam sebesar 8,55 persen atau sekitar 15,68 juta jiwa, jika kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 30 persen benar-benar direalisasikan (Kompas, 7/5/08).
Jika ditinjau dari aspek makro dan laju harga minyak dunia, kondisi Indonesia saat ini kembali lagi pada era krisis moneter 1997. Kondisi ini bisa dirasakan dari kelangkaan BBM yang memicu inflasi, iklim yang tidak menentu, petani gagal panen, naiknya harga minyak dunia, dan turunnya mata uang dolar terhadap mata dunia.
Sejatinya, fenomena ini jauh-jauh hari sudah diramalkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. Karena kesombongan dan ketidakarifan pemerintah dalam membaca pertanda, saran Menkeu tersebut dianggap angin lalu. Akibatnya, rakyat merasakan dampaknya hidup dalam harapan hampa dan dan kegamangan masa depan.
Reformasi Kultural
Mencermati kondisi carut-marut masyarakat, serta gagalnya pemerintah mengemban amanat reformasi, nampaknya perlu digulirkan reformasi jilid kedua. Hanya saja strateginya mesti diubah. Kalau reformasi terdahulu lebih banyak diwarnai aksi kekerasan dan anarkhisme, kini harus diganti dengan strategi berbasis kultural dan pengukuhan bangun solidaritas.
Secara leksikal, bangun solidaritas merupakan gabungan dan kesepakatan dari seluruh elemen atau individu, sebagai satu kelompok kesatuan yang lengkap, seperti dari opini, tujuan, kepentingan, perasaan, dan sebagainya (New World Dictionary, 1998).
Solidaritas macam ini disebut Julia Jary (1991) sebagai solidaritas sosial, yakni sebuah integrasi yang dimanifestasikan masyarakat atau kelompok menjadi semacam bangun solidaritas mekanis. Selanjutnya, bangunan solidaritas mekanis berfungsi untuk memobilisasi, membentuk kesadaran dan kepercayaan masyarakat atas praktik sosial. Apabila bangun solidaritas mekanis sudah terjalin kuat, bisa digunakan bersama-sama untuk mengentaskan persoalan bangsa.
Reformasi jilid kedua harus memperjuangkan kepentingan rakyat, mempertahankan aspek kebebasan, proses demokratisasi yang sudah dicapai, dan pemberantasan KKN sebagai agenda utamanya.
Selanjutnya, penuntasan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), pengungkapan kasus orang hilang, kasus Munir, dan akuntabilitas kinerja pemerintah yang trasparan menjadi agenda selanjutnya. Pemerintah sebagai pemegang sekaligus pengambil kebijakan (policy making) harus bersikap tegas alias tidak plin-plan dalam menggawangi supremasi hukum.
Pemimpin muda
Suksesi kepemimpinan juga perlu digulirkan kembali. Berkaitan dengan hal tersebut, Azyumardi Azra (2007) mengatakan sudah saatnya kepemimpinan negara dan politik di berbagai level melakukan kebijakan dan langkah afirmatif untuk membuka peluang lebih besar pada munculnya kepemimpinan baru. Dengan langkah itu, diharapkan muncul pemimpin-pemimpin yang segar untuk waktu yang tidak lama.
Maka, akses kepemimpinan baik dalam jabatan publik maupun politik hendaknya secara lebih besar diberikan kepada generasi muda. Pertimbangan lama bahwa jabatan diberikan berdasarkan kompromi dan akomodasi politik, seharusnya diganti dengan pertimbangan profesionalitas, kapabilitas, visi kepemimpinan, dan pemberian peluang pada yang muda.
Sementara pada aspek pembangunan kemasyarakatan, perlu dilakukan revisi atas teori-teori pembangunan yang masih berkiblat pada era 1970-an hingga 1980-an. Hal ini karena kondisi lingkungan, sosial kemasyarakatan, serta tantangan yang dihadapi lebih kompleks.
Selanjutnya hasil akumulasi dan revisi teori pembangunan itu dapat digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Perlu juga dipopulerkan kembali gerakan Aku Cinta Indonesia (ACI), sebagai upaya menumbuhkan kecintaan pada produk dalam negeri.
Pada akhirnya, segenap elemen bangsa perlu bersatu-padu dan bersama-sama menggulirkan reformasi jilid kedua sebagai palu godam reformasi 1998 yang kini telah mati suri. Harapannya, kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat di segala bidang bisa segera direalisasikan. Semoga![] Agus Wibowo, peneliti utama pada FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus