Langsung ke konten utama

Dilema Politik Simbolis

Oleh: Agus Wibowo
Bali Post, Edisi 15 Mei 2008

SERBA-SERBI perilaku elite politik menjelang Pemilu 2009, memang unik dan menarik untuk dicermati. Para elite semakin gencar membangun pencitraan diri (baca: kampanye) sebagaimana yang dilakukan pasangan SBY-JK pada pilpres lalu. Misalnya Wiranto, ketua umum Partai Hanura, ini sering mempertontonkan pemandangan yang ''dramatis'', ''menyentuh'' dan ''menggugah'' dengan makan nasi aking bersama salah satu keluarga miskin. Langkah Wiranto selanjutnya diikuti oleh Prabowo Subianto, mantan Komandan Kopassus yang paling populer. Bedanya, Prabowo tidak mendirikan partai politik (parpol) sebagaimana Wiranto, tetapi memanfaatkan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) sebagai media pencitraannya. Melalui HKTI, Prabowo ingin membangun citra diri sebagai tokoh yang sangat peduli kepada nasib rakyat, terutama kaum petani.
------------------------------
Sementara tokoh sipil yang tidak mau ketinggalan adalah Soetrisno Bachir. Ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini, memasang iklan dalam rangka 100 tahun Kebangkitan Nasional dengan mengambil ide sajak Chairil Anwar, cukup unik dan inspiratif. Barangkali, aspek inilah yang membedakan, antara dirinya dan iklan politik tokoh-tokoh lain. Caranya beriklan, yang bertumpu pada upaya membangun fondasi citra diri sebagai negarawan, ada yang menilai mirip dengan cara yang ditempuh Hillary Clinton dan Barack Obama, dua kandidat presiden AS dari Partai Demokrat yang hingga saat ini relatif sama kuat.
Beragam model pencitraan diri yang dilakukan para elite ini, disebut Amich Alhumami (2008) sebagai the politics of symbolism atau politik simbolis. Menurut Geertz (1973), politik simbolis merupakan sebuah tindakan guna merepresentasikan sebuah gejala sosial -- entah kemiskinan, kemajuan dan sebagainya -- yang diwujudkan dalam simbol guna merefleksikan makna politik tertentu.
Kampanye dengan politik simbolis, tulis Alhumami, sepintas memang positif. Pasalnya, popularitas kandidat melesat tinggi bebarengan semakin intensnya bangun simbol tersebut dipertontonkan kepada publik. Masyarakat pun dibuai satu harapan yang nyata, sosok pilihan sejati yang patut untuk didukung dan diperjuangkan.
Selain itu, politik simbolis juga memiliki pengaruh yang luar biasa, khususnya bagi kemenangan pelakunya. Sebagai contoh, kemenangan mutlak SBY-JK dalam pilpres lalu, atau kemenangan beberapa calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di daerah Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Pertanyaannya, apakah keberadaan partai politik (parpol) bisa tergantikan dengan model politik simbolis tersebut? Menurut Indra Jaya Piliang (2008), politik simbolis memang unggul, akan tetapi dalam waktu dekat saja. Seiring dengan melesatnya popularitas calon, kemungkinan kemenangan sudah di depan mata. Akan tetapi, dalam jangka panjang politik simbolis sangat riskan diguncang bermacam intrik politik lantaran lemahnya dukungan di akar rumput. Karena berasal dari kalangan independen atau mendapat dukungan partai kecil, sang calon setiap hari harus memelototi angka-angka survai soal grafik popularitasnya. Beda tentunya calon yang mendapat dukungan parpol, yang dasar dan garis ideologi politiknya tetap jelas dan tegas.
Selain itu, seorang kepala daerah di satu daerah terpenting dari partai politik tertentu, bisa meminta bantuan dalam skala cepat, apabila menjadi bagian dari parpol. Ia juga bisa tenang dan mempunyai harapan banyak dalam menjalankan program-program pemerintahannya, ketimbang gubernur yang hanya mendapatkan dukungan dari partai yang terbatas memiliki kursi di parlemen lokal dan harus berhadapan dengan bupati atau wali kota yang didukung partai berbeda. Dalam konteks nasional, kita juga sudah melihat betapa tidak-stabilnya pemerintahan ketika presiden berasal dari parpol yang dukungannya kecil, atau kurang dari 50% kursi parlemen. Misalnya, dialami oleh Abdurrahman Wahid dan SBY-JK.

Kelemahan
Model politik simbolis, menurut Geertz, juga memiliki kelemahan. Pertama, spirit dan solidaritas kerakyatan yang dibangun tidak sama-sebangun dengan gagasan dan cita-cita mewujudkan kesejahteraan yang berwatak populis dan berorientasi kerakyatan. Terbukti, salah satu presiden yang populer lantaran politik simbolis belum mampu mengeluarkan bangsa ini dari problem kemiskinan, dan membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.
Kedua, politik simbolis esensinya sangat tidak terpuji, karena tujuan utamanya bukanlah untuk menolong rakyat (miskin) pemilihnya, melainkan menjadikan suatu subjek (termasuk rakyat) sebagai medium untuk membangun pencitraan dalam rangka memobilisasi dukungan politik. Tatkala jabatan telah tergenggam, sulit dipastikan sang pemimpin populer menepati janji-janjinya. Pendek kata, rakyat hanya dijadikan sebagai tunggangan calon mencapai cita-cita politiknya, bukan sebagai yang diperjuangkan. Ironis memang.
Tampaknya, kehadiran model politik simbolis yang dipopulerkan para elite justru menimbulkan persoalan baru dalam alam demokrasi kita. Bagaimana tidak, seorang calon memang berhasil menang dalam pentas pemilihan politik --pilkada, pemilu atau pilpres -- akan tetapi akhirnya harus tumbang lantaran digoyang, diintrik dan diserang dari berbagai penjuru. Ketika terjadi carut-marut atau ontran-ontran politik ini, rakyat juga yang menuai dampaknya. Secara psikologis, rakyat bakal dibayang-bayangi perasaan bersalah lantaran menjatuhkan pilihan yang keliru. Padahal, mereka juga tidak keliru sepenuhnya karena sang calon begitu sempurna lantaran politik simbolis. Belum secara material, rakyat harus menderita karena kelangkaan atau mahalnya berbagai kebutuhan hidup.
Alangkah stabilnya alam demokrasi kita, seandainya model politik simbolis bersatu padu dan dikawal parpol yang kuat. Sang calon akan didukung dan dicintai oleh rakyat lantaran kredibilitas dan popularitasnya -- lantaran politik simbolis -- dan tatkala memerintah bisa menjalankan program-programnya tanpa gangguan yang berarti. Pada akhirnya, mesti menjadi pemikiran bersama antara para elite pelaku politik simbolis dan partai-partai politik, jika ingin mengutamakan kepentingan sekaligus kesejahteraan rakyat. Sikap arif selaku negarawan sejati, tentunya harus senantiasa dikedepankan dalam meraih tampuk kekuasaan. [] Penulis, peneliti utama pada FKPP Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#01 Strategi Memilih Jurnal Terindeks SCOPUS

 Memilih jurnal terindeks scopus yang sesuai dengan artikel kita, bukan perkara mudah. Jika kita tidak jeli, bisa jadi artikel kita akan ditolak oleh jurnal yang kita tuju. Lalu, bagaimana strategi agar kita bisa memilih jurnal terindeks scopus yang tepat? Video berikut memberikan pemahaman terkait bagaimana strategi memilih jurnal terindeks SCOPUS yang tepat. Berikut link videonya: https://youtu.be/krewz_cmY5A 

Buruk Rupa Birokrasi Daerah

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Kamis,3 September 2009 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%). Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyar...

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Sabtu 19 September 2009 Halaman Kampus ’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT). Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah. Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen). Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta,...