Oleh Mutingatun Nadhifah
Suara Karya Edisi Selasa, 22 April 2008
Dalam buku Megatrend 2000, John Naisbit dan Patricia Abdurdence meramalkan bahwa kepemimpinan masa depan akan dipegang oleh kaum wanita. Jika ramalan ini benar, tentu layak disambut gembira dan diapresiasi secara positif. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, kapan masa itu tiba dan seberapa lama kita menanti?
Kenyataannya, di Amerika dan dunia Barat pada umumnya gerakan emansipasi -orang Barat menyebutnya feminisme-justru menjadi dilema. Di satu sisi, gerakan emansipasi yang digulirkan semenjak tahun 1960-an berdampak positif pada kenaikan angkatan kerja kaum wanita, yaitu dari 33 menjadi 60 persen pada rentang 1950-1980. Di sisi yang lain, emansipasi justru melahirkan proses pemiskinan dan mengganggu keharmonisasi rumah tangga. Ini karena konsep dasar emansipasi dunia Barat adalah anti-keluarga, sehingga dalam kurun waktu 1963-1975 angka perceraian juga meningkat drastis menjadi 100 persen. Fenomena pemiskinan wanita dan tingginya angka perceraian inilah yang sejak jauh hari dikecam oleh Silvia Hewlett (1980). Emansipasi, tulis Sivia Hewlett, tak lebih muka baru sebuah sistem penindasan kaum wanita di era global.
Di Indonesia, sebagai negara penganut ide emansipasi, tidak jauh berbeda. Memang emansipasi yang dirintis Kartini semenjak beberapa puluh tahun silam telah sedikit membuahkan hasil. Banyak kaum wanita saat ini yang menduduki posisi strategis, baik di legislatif, yudikatif, eksekutif maupun di dunia pendidikan. Prestasi puncak emansipasi adalah dengan disahkannya Undang-undang Pemilu 2009, yang mewajibkan kuota 30 persen bagi perempuan. Ini artinya, setiap partai politik (parpol) peserta pemilu harus memiliki calon legislatif (caleg) perempuan sebanyak 30 persen.
Namun, secara umum, gerakan emansipasi masih terseok-seok dalam liku dan telikungan budaya patriarkhi yang mengakar kuat dalam masyarakat kita. Kaum pria masih memperlakukan wanita sekadar sebagai konco wingking (teman belakang), yang hanya mengurusi wilayah domestik DSK (dapur, sumur, kasur), di samping masih sering terjadi peminggiran peran kaum wanita, baik dalam ranah publik maupun keluarga.
Selain itu, hadirnya era globalisasi yang diharapkan memberi angin segar bagi proses emansipasi, nyatanya tidak berpengaruh secara signifikan. Bahkan, globalisasi justru ditunggangi budaya pop yang membius sebagian kaum wanita, sehingga tanpa sadar mereka rela tetap ditindas dan digagahi jati dirinya.
Mengenai budaya pop yang tampak hanyalah proses peniruan/duplikasi secara besar-besaran, ekploitasi, cenderung instan, dan memproduksi trend secara massal. Budaya pop, tulis Andy Warhol (1960), memandang kaum pria secara kodrati terpesona pada kemolekan tubuh dan seks(ualitas) kaum wanita. Maka tak mengherankan jika budaya pop kemudian mengekploitasi semua yang ada pada diri kaum wanita demi kepuasan seks(ual) kaum pria. Akibatnya, kemolekan tubuh dan indahnya organ-organ biologis kaum wanita dipertontonkan demi sebuah iklan produk kosmetik, peralatan rumah tangga, obat kuat, bahkan alat-alat kontrasepsi.
Kecenderungan ekstrem lain dari budaya pop adalah "habis manis sepah dibuang". Artinya, setelah selera pasar mulai jenuh dengan salah satu produk, maka segera ditinggalkan begitu saja. Jika demikian halnya, bagaimana jadinya nasib kaum wanita setelah orientasi pasar massal telah jenuh dengan kemolekan dan keindahan tubuh mereka? Apalagi yang bisa diekploitasi selain harga diri?
Melihat fenomena perjalanan emansipasi baik di dunia Barat maupun di Indonesia, tampaknya perlu adanya reorientasi dan pemaknaan lebih dalam mengenai gerakan emansipasi di era global. Paling tidak, kita harus merujuk kembali pada strategi dan cara yang dilakukan Kartini. Bagi Kartini, gerakan emansipasi bukan sekadar mendudukkan kaum wanita pada posisi dan jabatan-jabatan strategis kenegaraan, akan tetapi bagaimana menyadarkan kaumnya akan jati diri, hak-hak dan perannya sebagaimana kaum pria. Selain itu, gerakan emansipasi yang digawangi Kartini memiliki visi, misi dan orientasi yang jelas, yakni mencerdaskan kaum wanita dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi luhur adat masyarakat Jawa, dan tidak melenceng pada norma-norma agama. Pendek kata, gerakan emansipasi tidak keluar dari rel dan tidak kebablasan sebagaimana gerakan emansipasi di Barat.
Selain itu, tidak dibenarkan kaum wanita mengabaikan perannya dalam keluarga demi mengejar kesetaraan tersebut. Artinya, kaum wanita bersama kaum pria harus tetap bahu-membahu menata rumah tangga, dan mendidik putra-putri mereka dengan baik. Peran yang sama antara wanita dan pria harus dimanfaatkan pada hal-hal yang positif, misalnya usaha mengentaskan kemiskinan, mencerdaskan bangsa, dan menciptakan lapangan kerja baru.
Emansipasi wanita mestinya juga tidak dimanfaatkan sebagai salah satu komoditas parpol, demi menarik simpati dan meraup popularitas dari publik. Fenomena terakhir inilah yang marak terjadi dalam masyarakat kita. Banyak parpol yang mencitrakan diri sebagai pembela, pengayom dan memberikan penghargaan terhadap kaum wanita. Akan tetapi jika mencermati hasil pemilu tahun sebelumnya, parpol yang demikian lebih sering menjadi pembohong, karena emansipasi hanya ada dalam kampanye bukan dalam kenyataan. Oleh karena itu, sudah semestinya kaum wanita lebih bersikap hati-hati dan selektif dalam merespons kampanye parpol. Jangan sampai jumlah suara wanita yang mayoritas di negeri ini dikebiri dan diperalat parpol demi ambisi politik dan syahwat kekuasaan.
Kaum wanita harus semakin cerdas, termasuk menyikapi trend budaya pop maupun berbagai jeratan manis dunia kapitalis dan hedonis. Dengan berpegang pada spirit emansipasi yang digagas Kartini, kaum wanita harus memulai kerja-kerjanya manggeser stigma dan paradigma patriarkhi di negeri ini. Pada akhirnya, wanita harus bisa menjadi garwa (sigaraning nyawa) yang keberadaannya sangat vital bagi kehidupan kaum pria.
Artinya, fungsi wanita harus menjadi manik mustika berharga bagi kaum pria, yang diletakkan duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dalam kehidupan. Selain itu, kaum wanita harus menjadi Siti Fatimah atau Siti Khadijah baru di era global, yang tetap melaksanakan kewajibannya sebagai mitra suami dalam mendidik anak, membina keluarga, dan menjadi penghias mata atau penyejuk hati suami.[]
Penulis adalah peneliti utama pada Centre of Culture and Woman Studies, alumnus Poltekes Negeri Yogyakarta
Suara Karya Edisi Selasa, 22 April 2008
Dalam buku Megatrend 2000, John Naisbit dan Patricia Abdurdence meramalkan bahwa kepemimpinan masa depan akan dipegang oleh kaum wanita. Jika ramalan ini benar, tentu layak disambut gembira dan diapresiasi secara positif. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, kapan masa itu tiba dan seberapa lama kita menanti?
Kenyataannya, di Amerika dan dunia Barat pada umumnya gerakan emansipasi -orang Barat menyebutnya feminisme-justru menjadi dilema. Di satu sisi, gerakan emansipasi yang digulirkan semenjak tahun 1960-an berdampak positif pada kenaikan angkatan kerja kaum wanita, yaitu dari 33 menjadi 60 persen pada rentang 1950-1980. Di sisi yang lain, emansipasi justru melahirkan proses pemiskinan dan mengganggu keharmonisasi rumah tangga. Ini karena konsep dasar emansipasi dunia Barat adalah anti-keluarga, sehingga dalam kurun waktu 1963-1975 angka perceraian juga meningkat drastis menjadi 100 persen. Fenomena pemiskinan wanita dan tingginya angka perceraian inilah yang sejak jauh hari dikecam oleh Silvia Hewlett (1980). Emansipasi, tulis Sivia Hewlett, tak lebih muka baru sebuah sistem penindasan kaum wanita di era global.
Di Indonesia, sebagai negara penganut ide emansipasi, tidak jauh berbeda. Memang emansipasi yang dirintis Kartini semenjak beberapa puluh tahun silam telah sedikit membuahkan hasil. Banyak kaum wanita saat ini yang menduduki posisi strategis, baik di legislatif, yudikatif, eksekutif maupun di dunia pendidikan. Prestasi puncak emansipasi adalah dengan disahkannya Undang-undang Pemilu 2009, yang mewajibkan kuota 30 persen bagi perempuan. Ini artinya, setiap partai politik (parpol) peserta pemilu harus memiliki calon legislatif (caleg) perempuan sebanyak 30 persen.
Namun, secara umum, gerakan emansipasi masih terseok-seok dalam liku dan telikungan budaya patriarkhi yang mengakar kuat dalam masyarakat kita. Kaum pria masih memperlakukan wanita sekadar sebagai konco wingking (teman belakang), yang hanya mengurusi wilayah domestik DSK (dapur, sumur, kasur), di samping masih sering terjadi peminggiran peran kaum wanita, baik dalam ranah publik maupun keluarga.
Selain itu, hadirnya era globalisasi yang diharapkan memberi angin segar bagi proses emansipasi, nyatanya tidak berpengaruh secara signifikan. Bahkan, globalisasi justru ditunggangi budaya pop yang membius sebagian kaum wanita, sehingga tanpa sadar mereka rela tetap ditindas dan digagahi jati dirinya.
Mengenai budaya pop yang tampak hanyalah proses peniruan/duplikasi secara besar-besaran, ekploitasi, cenderung instan, dan memproduksi trend secara massal. Budaya pop, tulis Andy Warhol (1960), memandang kaum pria secara kodrati terpesona pada kemolekan tubuh dan seks(ualitas) kaum wanita. Maka tak mengherankan jika budaya pop kemudian mengekploitasi semua yang ada pada diri kaum wanita demi kepuasan seks(ual) kaum pria. Akibatnya, kemolekan tubuh dan indahnya organ-organ biologis kaum wanita dipertontonkan demi sebuah iklan produk kosmetik, peralatan rumah tangga, obat kuat, bahkan alat-alat kontrasepsi.
Kecenderungan ekstrem lain dari budaya pop adalah "habis manis sepah dibuang". Artinya, setelah selera pasar mulai jenuh dengan salah satu produk, maka segera ditinggalkan begitu saja. Jika demikian halnya, bagaimana jadinya nasib kaum wanita setelah orientasi pasar massal telah jenuh dengan kemolekan dan keindahan tubuh mereka? Apalagi yang bisa diekploitasi selain harga diri?
Melihat fenomena perjalanan emansipasi baik di dunia Barat maupun di Indonesia, tampaknya perlu adanya reorientasi dan pemaknaan lebih dalam mengenai gerakan emansipasi di era global. Paling tidak, kita harus merujuk kembali pada strategi dan cara yang dilakukan Kartini. Bagi Kartini, gerakan emansipasi bukan sekadar mendudukkan kaum wanita pada posisi dan jabatan-jabatan strategis kenegaraan, akan tetapi bagaimana menyadarkan kaumnya akan jati diri, hak-hak dan perannya sebagaimana kaum pria. Selain itu, gerakan emansipasi yang digawangi Kartini memiliki visi, misi dan orientasi yang jelas, yakni mencerdaskan kaum wanita dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi luhur adat masyarakat Jawa, dan tidak melenceng pada norma-norma agama. Pendek kata, gerakan emansipasi tidak keluar dari rel dan tidak kebablasan sebagaimana gerakan emansipasi di Barat.
Selain itu, tidak dibenarkan kaum wanita mengabaikan perannya dalam keluarga demi mengejar kesetaraan tersebut. Artinya, kaum wanita bersama kaum pria harus tetap bahu-membahu menata rumah tangga, dan mendidik putra-putri mereka dengan baik. Peran yang sama antara wanita dan pria harus dimanfaatkan pada hal-hal yang positif, misalnya usaha mengentaskan kemiskinan, mencerdaskan bangsa, dan menciptakan lapangan kerja baru.
Emansipasi wanita mestinya juga tidak dimanfaatkan sebagai salah satu komoditas parpol, demi menarik simpati dan meraup popularitas dari publik. Fenomena terakhir inilah yang marak terjadi dalam masyarakat kita. Banyak parpol yang mencitrakan diri sebagai pembela, pengayom dan memberikan penghargaan terhadap kaum wanita. Akan tetapi jika mencermati hasil pemilu tahun sebelumnya, parpol yang demikian lebih sering menjadi pembohong, karena emansipasi hanya ada dalam kampanye bukan dalam kenyataan. Oleh karena itu, sudah semestinya kaum wanita lebih bersikap hati-hati dan selektif dalam merespons kampanye parpol. Jangan sampai jumlah suara wanita yang mayoritas di negeri ini dikebiri dan diperalat parpol demi ambisi politik dan syahwat kekuasaan.
Kaum wanita harus semakin cerdas, termasuk menyikapi trend budaya pop maupun berbagai jeratan manis dunia kapitalis dan hedonis. Dengan berpegang pada spirit emansipasi yang digagas Kartini, kaum wanita harus memulai kerja-kerjanya manggeser stigma dan paradigma patriarkhi di negeri ini. Pada akhirnya, wanita harus bisa menjadi garwa (sigaraning nyawa) yang keberadaannya sangat vital bagi kehidupan kaum pria.
Artinya, fungsi wanita harus menjadi manik mustika berharga bagi kaum pria, yang diletakkan duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dalam kehidupan. Selain itu, kaum wanita harus menjadi Siti Fatimah atau Siti Khadijah baru di era global, yang tetap melaksanakan kewajibannya sebagai mitra suami dalam mendidik anak, membina keluarga, dan menjadi penghias mata atau penyejuk hati suami.[]
Penulis adalah peneliti utama pada Centre of Culture and Woman Studies, alumnus Poltekes Negeri Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar