Langsung ke konten utama

Menanti Ratu Adil Jawa Tengah

Oleh Agus Wibowo

Harian Joglosemar Edisi 12-04-2008

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) yang akan dilaksanakan Minggu, 22 Juni 2008, tinggal hitungan hari. Para kandidat gubernur semakin intensif memperbanyak jaringan, menggalang dan merapatkan barisan massa pendukungnya. Tanpa terkecuali, para kandidat berlomba menyuguhkan pencitraan diri (baca: kampanye) secara kreatif, unik dan khas, melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Mereka juga memanfaatkan media seni budaya yang sangat familiar bagi masyarakat Jateng, yaitu musik dangdut dan campursari.

Salah satu kandidat bahkan cukup cerdas menggaet artis campursari, Didi Kempot, untuk pencitraan diri melalui lagu-lagunya. Bait-bait lagu tersebut, menggambarkan sang kandidat sebagai sosok yang begitu merakyat, bersahaja, peduli pada kemanusiaan dan taat pada ajaran agama.

Gejala-gejala dalam kampanye Pilkada Jateng inilah yang disebut Amich Alhumami (2008) sebagai the politics of symbolism atau politik simbolisme. Politik simbolisme ini merupakan sebuah tindakan guna merepresentasikan sebuah gejala sosial—entah kemiskinan, kemajuan dan sebagainya—yang diwujudkan dalam simbol guna merefleksikan makna politik tertentu (Geertz, 1973).

Kampanye dengan politik simbolis, tulis Alhumani, sepintas memang positif. Pasalnya, popularitas kandidat melesat tinggi berbarengan semakin intensnya bangun simbol tersebut dipertontonkan kepada publik. Masyarakat pun dibuai satu harapan yang nyata, sosok pilihan sejati yang patut untuk didukung dan diperjuangkan.
Hanya, perlu dicatat, spirit dan solidaritas kerakyatan yang dibangun melalui politik simbolisme, tidak sama-sebangun dengan gagasan dan cita-cita mewujudkan kesejahteraan yang berwatak populis dan berorientasi kerakyatan. Terbukti, salah satu presiden yang populer lantaran politik simbolis belum mampu mengeluarkan bangsa ini dari problem kemiskinan, dan membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.

Selain itu, politik simbolisme esensinya sangat tidak terpuji, karena, tujuan utamanya bukanlah untuk menolong rakyat (miskin) pemilihnya, melainkan menjadikan suatu subyek (termasuk rakyat) sebagai medium untuk membangun pencitraan dalam rangka memobilisasi dukungan politik. Tatkala jabatan telah tergenggam, sulit dipastikan sang pemimpin popular menepati janji-janjinya.

Kejelian, kewaspadaan, dan kearifan, patut dikedepankan rakyat dalam menentukan pilihan. Jangan sampai citra yang hanya sesaat, dijadikan pegangan sekaligus generalisasi, yang muaranya justru menjerumuskan. Gubernur yang terpilih pada pilkada 2008 ini, sangat menentukan nasib rakyat Jateng lima tahun ke depan (2008-2013). Jika sampai salah pilih, bukannya masa depan yang cerah, melainkan kekecewaan dan ketakutan lantaran dikuasai pemimpin yang menindas.
Simbolisme

Pertanyaanya kemudian adalah, bagaimana cara rakyat menentukan kandidat yang benar-benar memperjuangkan nasib mereka? Bagaimana rakyat bisa tidak terbujuk pada politik simbolisme tersebut?

Solusi amat bijaksana dipaparkan Mardiyanto (mantan Gubernur Jateng) dalam sebuah artikel, beberapa saat sebelum dilantik sebagai menteri dalam negeri (mendagri). Sosok pemimpin bagi masyarakat Jateng, tulis Mardiyanto (2007), harus memiliki jiwa kemandirian, kemerdekaan dan keberpihakan kepada rakyat. Belajar dari beberapa dinasti (wangsa) yang pernah berkuasa di Jawa, sangat ditentukan oleh faktor legitimasi dan dukungan rakyat. Sedangkan tumbuh dan berkembangnya legitimasi dan dukungan rakyat, sangat tergantung pada faktor kearifan dan keberpihakan wangsa kerajaan terhadap kepentingan rakyat.

Kedudukan raja atau wangsa pemimpin tidak dirasakan lagi sebagai penguasa, melainkan sebagai pengayom (songsong agung) dan figur panutan yang perlu dijunjung dan dihormati (sinuhun), serta dibela keselamatannya oleh masyarakat. Sementara, kewajiban pemimpin adalah memperjuangkan penderitaan rakyat, sehingga dapat terjalin sinergi kepentingan yang harmonis dan kondusif; darma kehidupan raja/sosok junjungan di satu sisi dengan kesetiaan bakti rakyat pada sisi yang lain (manunggaling kawula lan gusti).
Pemimpin seperti inilah yang disebut Ratu Adil atau Satria Piningit. Dalam setiap dimensi kesejarahan kemasyarakatan, sosok Ratu Adil/Satria Piningit merupakan figur yang keberadaannya senantiasa diidolakan dan didambakan oleh rakyat karena kearifan, kebijaksanaan, dan darmanya, yang bisa dipastikan membawa kemaslahatan kehidupan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Ratu Adil/Satria Piningit bukan figur yang sengaja dipingit, kemudian dimunculkan untuk tampil sebagai pemimpin pengganti, melainkan lebih banyak ditentukan oleh pribadi pemimpin itu sendiri dan rakyat yang akan dipimpinnya. Dalam istilah lain, Satria Piningit adalah pemimpin yang kemunculannya bersifat alami, dengan kapasitas kemampuan berdasarkan pengalamannya sendiri, yang digali berdasarkan situasi dan kondisi sosial-budaya yang melingkupi proses kehidupannya. Jika diimplementasikan dalam filosofi manunggaling kawula lan gusti, figur Satria Piningit adalah mereka yang memiliki jiwa, kepribadian, serta sikap hidup yang menyatu dan berpihak kepada kepentingan rakyat dan wilayah yang dipimpinnya.

Ratu Adil dalam makna yang lebih luas, tulis HOS Cokroaminoto (1912), adalah sebuah sistem pemerintahan yang meniscayakan relasi harmonis antara pemimpin dan rakyatnya. Pada kedua koordinat kutub tersebut (Pemimpin-Rakyat) terjalin interaksi yang saling handarbeni, hangrukebi dan murakabi. Pemimpin dan rakyatnya tidak saling bergantung, tetapi saling memberi support, seiring-sejalan, dan saling melengkapi dalam memajukan wilayah serta menyejahterakan seluruh masyarakat.

Pada akhirnya, siapapun kandidat yang berhasil dipilih sepanjang melalui prosedur dan mekanisme yang jujur, adil dan transparan, harus dijadikan Ratu Adil. Ia harus didukung segenap elemen masyarakat, termasuk para kandidat yang kalah. Pilkada Jateng harus menjadi “kaca benggala” bagi Pilkada daerah-daerah lainnya, lantaran keberhasilannya menciptakan sistem demokrasi yang kondusif, jujur, adil, transparan, dan akuntabel. Rakyat sudah teramat letih, didera berbagai problem kehidupan yang semakin menghimpit. Hadirnya Ratu Adil layaknya oase di tengah gurun pasir, atau pelita di tengah gelap-gulita. Rakyat akan terhibur dan bersamaan bangkit mendukung sang pemimpin, untuk menciptakan Jateng yang tata tentrem kerta raharja, gemah ripah loh jinawi. Semoga!

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana UNY, pengarang buku Memayu Hayuning Bawono

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera