Oleh Agus Wibowo
Harian Suara Karya, Edisi Selasa, 15 April 2008
Pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan yang tidak populis. Belum lama ini, dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. PP ini mengatur jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP), yang berasal dari pemanfaatan hutan. Memang, peningkatan kesejahteraan rakyat yang didapat dari pemanfaatan kekayaan hutan produksi dan hutan lindung menjadi tujuan kebijakan ini.
Hanya saja, jika dikaji dengan saksama, PP ini seakan-akan mengobral murah hutan kita. Bagaimana tidak? Pemerintah hanya mengenakan pungutan PNBP Rp 3 juta per hektare per tahun, atau sekitar hanya Rp 120 hingga Rp 300 per meter dari kegiatan tambang tersebut. Jelas ini harga hutan termurah yang resmi dikeluarkan sepanjang sejarah negeri ini.
Dengan dalih PNBP dan kesejahteraan rakyat, diizinkan perusahaan tambang untuk mengeksploitasi kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang berskala besar. Padahal, dalam UU tentang Kehutanan Tahun 1999, pemerintah melarang kegiatan tersebut. Tetapi ironisnya, UU tersebut justru diamandemen pada tahun 2006, dan disempurnakan lagi tahun 2008.
Adanya kontradiksi kebijakan yang dibuat, menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyat dan ketidakarifan membaca pertanda alam. Dengan kata lain, pemerintah lebih mengutamakan kepentingan pelaku industri dan pemilik modal daripada dampak negatif yang bakal menimpa rakyatnya. Pemerintah juga tidak belajar dari dampak ekologis mengerikan, buah dari ekploitasi hutan secara besar-besaran yang dilakukan perusahaan tambang dan industri.
Sebagai gambaran, sebelum dikeluarkannya kebijakan "komersialisasi hutan" ini, luas hutan kita mengalami penyempitan dan kerusakan tiap tahunnya. Menurut data World Bank maupun World Conservation Forum, laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,5-2 juta hektare (ha) per tahun. Jika keadaan ini berlanjut, pada tahun 2005 hutan dataran rendah di Sumatera akan lenyap, menyusul Kalimantan di tahun 2010.
Sementara, data Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa-Madura tahun 2004 menunjukkan bahwa dari seluruh wilayah Jawa seluas 13.411,2 ribu hektare, kawasan hutan hanya tinggal 23,4 persen atau seluas 3.136 ribu hektare, dengan rincian; luas hutan produksi tetap (HP) seluas 1.558,9 ribu hektare (49,7 persen) dan hutan produksi terbatas (HPT) seluas 371,8 ribu hektare (11,8 persen). Belum lagi kerusakan kawasan mangrove (hutan bakau) di kawasan delta Mahakam, di pantai utara Jakarta yang kini tinggal 27 persen. Di Pulau Bakung, pembabatan hutan bakau hanya menyisakan 15 persen dari luas 18.000 hektare.
Pertanyaannya kemudian, jika PP tersebut benar-benar diterapkan, bagaimana nasib negeri ini? Pastinya, laju deforestasi baik hutan produksi, hutan lindung maupun hutan bakau akan semakin luas. Sekadar contoh, luas hutan di Kalimantan Tengah menurut catatan Walhi Kalteng tahun 2006, terjadi pelepasan kawasan hutan untuk pertambangan, perkebunan dan sektor lainnya di wilayah itu mencapai sekitar 1,559 juta hektare. Akibatnya, luas hutan Kalteng yang tersisa hingga tahun 2007 sekitar 8,735 hektare.
Kerusakan hutan ini tentu saja dibarengi dengan berbagai dampak ekologis, di antaranya, pertama, terjadinya perubahan iklim. Menurut penelitian para pakar, perubahan iklim global disebabkan oleh dua hal, yakni naiknya temperatur panas bumi yang disebabkan terjadinya penggundulan hutan. Kedua, abrasi dan tenggelamnya pulau-pulau kecil. Sebagai contoh, 6 pulau di Provinsi Riau tenggelam; yakni Pulau Nipah, Barkih, Raya, Jenir, Desa Muntai, dan Sinaboi, akibat eksploitasi mangrove yang membabi buta.
Ketiga, hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur keseimbangan konservasi tanah dan air. Akibatnya, terjadinya bencana banjir di Jakarta, Solo, Karanganyar, Ngawi hingga Pasuruan di Jawa Timur pada awal 2008. Belum lagi bencana tanah longsor yang merenggut ribuan rakyat tak berdosa. Dampak ekologis yang lebih mengerikan, tulis Peter Hal, adalah bencana dahsyat yang terjadi diperkotaan seperti London, San Franscisco, Paris dan Sydney (Great Planning Disasters, 2002).
Melihat kenyataan di atas, mestinya pemerintah melakukan uji kelayakan atau analisis dampak lingkungan (amdal), sebelum mengesahkan PP tersebut. Pemerintah perlu belajar dengan kejernihan visi, kebeningan hati dan segenap kearifan, pada berbagai bencana yang melanda negeri ini. Selain itu, kepentingan, kesejahteraan dan keselamatan rakyat mesti dijadikan landasan pembuatan berbagai kebijakan, bukan hanya mengutamakan kepentingan pemilik modal dan negara donor.
Pemerintah juga perlu belajar, mendengar dan mencontoh akar rumput (grass root) yang justru lebih arif membuat kebijakan. Misalnya, apa yang dicontohkan Gubernur Papua Barnabas Suebu. Karena kesungguhannya menjaga dan melestarikan hutan, Suebu mendapat gelar kehormatan Heroes of the Environment versi Majalah Time. Kebijakan Suebu yang amat terkenal adalah Deklarasi "jeda tebang hutan" dan moratorium ekspor kayu ke luar negeri. Suebu juga merekomendasikan agar tidak diberikan lagi konsesi baru untuk perusahaan penebangan hutan. Kebijakan Suebu tersebut selain sebagai langkah awal yang berani dan menjanjikan bagi kampanye cantik meredam pemanasan global, juga menunjukkan semangat dan jiwa kepahlawanan dalam wujud perang melawan pembalakan hutan secara haram. Atas usaha pelestarian hutan itu, Barnabas Suebu mendapat dana besar dari Australian Carbon Conservation Company. Dana yang konon jauh lebih besar ketimbang keuntungan dari penebangan hutan juga diperoleh dari Chicago Climate Exchange.
Kewajiban pemerintah adalah menimbang ulang perlu tidaknya kebijakan "komersialisasi hutan" tersebut. Buat apa kebijakan dibuat, jika ujung-ujungnya merugikan dan menyengsarakan rakyat. Cukuplah rakyat teraniaya dengan janji-janji palsu ketika kampanye pilpres dahulu. Mestinya, di paro akhir masa kekuasaan, pemerintah membuat kebijakan yang menguntungkan dan menyejahterakan rakyat, bukan malah sebaliknya. Dengan begitu, peluangnya untuk dipilih kembali pada pemilu dan pilpres mendatang terbuka lebar. Menyejahterakan rakyat dengan kekayaan sumber daya huta memang tujuan mulia, tetapi bukan dengan cara komersialisasi hutan.[]Penulis adalah analis kebijakan publik, mahasiwa pascasarjana UNY
Harian Suara Karya, Edisi Selasa, 15 April 2008
Pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan yang tidak populis. Belum lama ini, dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. PP ini mengatur jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP), yang berasal dari pemanfaatan hutan. Memang, peningkatan kesejahteraan rakyat yang didapat dari pemanfaatan kekayaan hutan produksi dan hutan lindung menjadi tujuan kebijakan ini.
Hanya saja, jika dikaji dengan saksama, PP ini seakan-akan mengobral murah hutan kita. Bagaimana tidak? Pemerintah hanya mengenakan pungutan PNBP Rp 3 juta per hektare per tahun, atau sekitar hanya Rp 120 hingga Rp 300 per meter dari kegiatan tambang tersebut. Jelas ini harga hutan termurah yang resmi dikeluarkan sepanjang sejarah negeri ini.
Dengan dalih PNBP dan kesejahteraan rakyat, diizinkan perusahaan tambang untuk mengeksploitasi kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang berskala besar. Padahal, dalam UU tentang Kehutanan Tahun 1999, pemerintah melarang kegiatan tersebut. Tetapi ironisnya, UU tersebut justru diamandemen pada tahun 2006, dan disempurnakan lagi tahun 2008.
Adanya kontradiksi kebijakan yang dibuat, menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyat dan ketidakarifan membaca pertanda alam. Dengan kata lain, pemerintah lebih mengutamakan kepentingan pelaku industri dan pemilik modal daripada dampak negatif yang bakal menimpa rakyatnya. Pemerintah juga tidak belajar dari dampak ekologis mengerikan, buah dari ekploitasi hutan secara besar-besaran yang dilakukan perusahaan tambang dan industri.
Sebagai gambaran, sebelum dikeluarkannya kebijakan "komersialisasi hutan" ini, luas hutan kita mengalami penyempitan dan kerusakan tiap tahunnya. Menurut data World Bank maupun World Conservation Forum, laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,5-2 juta hektare (ha) per tahun. Jika keadaan ini berlanjut, pada tahun 2005 hutan dataran rendah di Sumatera akan lenyap, menyusul Kalimantan di tahun 2010.
Sementara, data Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa-Madura tahun 2004 menunjukkan bahwa dari seluruh wilayah Jawa seluas 13.411,2 ribu hektare, kawasan hutan hanya tinggal 23,4 persen atau seluas 3.136 ribu hektare, dengan rincian; luas hutan produksi tetap (HP) seluas 1.558,9 ribu hektare (49,7 persen) dan hutan produksi terbatas (HPT) seluas 371,8 ribu hektare (11,8 persen). Belum lagi kerusakan kawasan mangrove (hutan bakau) di kawasan delta Mahakam, di pantai utara Jakarta yang kini tinggal 27 persen. Di Pulau Bakung, pembabatan hutan bakau hanya menyisakan 15 persen dari luas 18.000 hektare.
Pertanyaannya kemudian, jika PP tersebut benar-benar diterapkan, bagaimana nasib negeri ini? Pastinya, laju deforestasi baik hutan produksi, hutan lindung maupun hutan bakau akan semakin luas. Sekadar contoh, luas hutan di Kalimantan Tengah menurut catatan Walhi Kalteng tahun 2006, terjadi pelepasan kawasan hutan untuk pertambangan, perkebunan dan sektor lainnya di wilayah itu mencapai sekitar 1,559 juta hektare. Akibatnya, luas hutan Kalteng yang tersisa hingga tahun 2007 sekitar 8,735 hektare.
Kerusakan hutan ini tentu saja dibarengi dengan berbagai dampak ekologis, di antaranya, pertama, terjadinya perubahan iklim. Menurut penelitian para pakar, perubahan iklim global disebabkan oleh dua hal, yakni naiknya temperatur panas bumi yang disebabkan terjadinya penggundulan hutan. Kedua, abrasi dan tenggelamnya pulau-pulau kecil. Sebagai contoh, 6 pulau di Provinsi Riau tenggelam; yakni Pulau Nipah, Barkih, Raya, Jenir, Desa Muntai, dan Sinaboi, akibat eksploitasi mangrove yang membabi buta.
Ketiga, hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur keseimbangan konservasi tanah dan air. Akibatnya, terjadinya bencana banjir di Jakarta, Solo, Karanganyar, Ngawi hingga Pasuruan di Jawa Timur pada awal 2008. Belum lagi bencana tanah longsor yang merenggut ribuan rakyat tak berdosa. Dampak ekologis yang lebih mengerikan, tulis Peter Hal, adalah bencana dahsyat yang terjadi diperkotaan seperti London, San Franscisco, Paris dan Sydney (Great Planning Disasters, 2002).
Melihat kenyataan di atas, mestinya pemerintah melakukan uji kelayakan atau analisis dampak lingkungan (amdal), sebelum mengesahkan PP tersebut. Pemerintah perlu belajar dengan kejernihan visi, kebeningan hati dan segenap kearifan, pada berbagai bencana yang melanda negeri ini. Selain itu, kepentingan, kesejahteraan dan keselamatan rakyat mesti dijadikan landasan pembuatan berbagai kebijakan, bukan hanya mengutamakan kepentingan pemilik modal dan negara donor.
Pemerintah juga perlu belajar, mendengar dan mencontoh akar rumput (grass root) yang justru lebih arif membuat kebijakan. Misalnya, apa yang dicontohkan Gubernur Papua Barnabas Suebu. Karena kesungguhannya menjaga dan melestarikan hutan, Suebu mendapat gelar kehormatan Heroes of the Environment versi Majalah Time. Kebijakan Suebu yang amat terkenal adalah Deklarasi "jeda tebang hutan" dan moratorium ekspor kayu ke luar negeri. Suebu juga merekomendasikan agar tidak diberikan lagi konsesi baru untuk perusahaan penebangan hutan. Kebijakan Suebu tersebut selain sebagai langkah awal yang berani dan menjanjikan bagi kampanye cantik meredam pemanasan global, juga menunjukkan semangat dan jiwa kepahlawanan dalam wujud perang melawan pembalakan hutan secara haram. Atas usaha pelestarian hutan itu, Barnabas Suebu mendapat dana besar dari Australian Carbon Conservation Company. Dana yang konon jauh lebih besar ketimbang keuntungan dari penebangan hutan juga diperoleh dari Chicago Climate Exchange.
Kewajiban pemerintah adalah menimbang ulang perlu tidaknya kebijakan "komersialisasi hutan" tersebut. Buat apa kebijakan dibuat, jika ujung-ujungnya merugikan dan menyengsarakan rakyat. Cukuplah rakyat teraniaya dengan janji-janji palsu ketika kampanye pilpres dahulu. Mestinya, di paro akhir masa kekuasaan, pemerintah membuat kebijakan yang menguntungkan dan menyejahterakan rakyat, bukan malah sebaliknya. Dengan begitu, peluangnya untuk dipilih kembali pada pemilu dan pilpres mendatang terbuka lebar. Menyejahterakan rakyat dengan kekayaan sumber daya huta memang tujuan mulia, tetapi bukan dengan cara komersialisasi hutan.[]Penulis adalah analis kebijakan publik, mahasiwa pascasarjana UNY
Komentar
Posting Komentar