Oleh Agus Wibowo
Dimuat Harian Joglosemar Edisi 06-03-2008
Ternyata urutan zaman Kalatida, Kalabendu, dan Kalasuba tidak hanya terjadi di Kerajaan Surakarta di abad ke-19, tetapi juga terjadi di mana-mana di dunia pada abad mana saja. Di Yunani purba, Romawi, Germania, Perancis, di manapun, dan kapanpun.
Begitulah rupanya irama wolak waliking zaman atau atau pergolakan zaman. Alangkah tajamnya penglihatan mata batin penyair Ranggawarsita ini! Demikian kutipan orasi yang disampaikan WS Rendra ketika menerima penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa (Dr HC). Rendra yang terkenal dengan sebutan si Burung Merak, menyampaikan orasinya berjudul “Megatruh Kambuh, Renungan Seorang Penyair Dalam Menanggapi Kalabendu” di hadapan civitas akademika UGM, dan sejumlah tokoh sastra di Balai Senat UGM, Selasa (4/3/2008).
Putra Solo kelahiran 7 November 1935 ini, merupakan orang ke-19 yang memperoleh Dr HC dari UGM. Tentu saja semua pihak —khususnya masyarakat dan seniman Joglosemar— menyambut gembira pemberian gelar tersebut. Semua senada, Rendra memang sangat pantas mendapatkan anugerah itu. Hal ini tidak lepas dari jasa, pemikiran dan karya-karyanya di bidang kebudayaan yang brilian (Suara Merdeka, 5/3/2008).
Jenjang pendidikannya memang tidak sampai lulus dari UGM. Meski demikian, Rendra melanjutkan pendidikan di American Academy of Dramatics Arts di New York tahun 1967, dan kemudian dia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Momen terpenting dalam pergolakannya menjadi penerus Ranggawarsita adalah antara April-Oktober 1978. Pasalnya dia ditahan Pemerintah Orde Baru karena pembacaan sajak-sajak protes sosialnya di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Konsen Rendra pada pembelaan rakyat tertindas (wong cilik) sangat kental dalam karya-karyanya. Kumpulan puisi Rendra seperti Balada Orang Tercinta (1956), Blues untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), Potret Pembangunan dalam Puisi (1983), Disebabkan oleh Angin (1993), Orang-orang Rangkasbitung (1993), Perjalanan Bu Aminah (1997), Mencari Bapak (1997), sarat dengan kritik sosial.
Memang tepat komentar budayawan Bakdi Sumanto, bahwa Rendra merupakan orang kreatif, cerdas dan tahu banyak hal layaknya pujangga Ranggawarsita di era modern. Kemampuannya menangkap dan melihat kahananing zaman, fakta-fakta sejarah dan keadaan zaman dia cerna dengan sangat mendalam, direnungkan dan dikeluarkan dalam banyak bentuk. Maka, karya-karyanya hampir selalu bisa menjadi cermin keadaan zaman. Puisi dan naskah-naskah dramanya bukanlah produk yang sekali kunyah langsung habis, melainkan butuh beberapa kali menguyah, beberapa kali berpikir sampai akhirnya kita tahu maknanya yang dalam.
Demikian halnya ketika Rendra berbicara tentang kebudayaan. Dia akan dengan runtut mengurai masalah kebudayaan dan kebangsaan dengan berpijak pada catatan-catatan sejarah masa lampau. Rendra juga memiliki cara pandang yang khas dan berbeda dalam melihat keadaan masyarakatnya.
Agar bangsa ini bisa lekas dari kemelut krisis multidimensional, Rendra mengajak semua pihak mengkaji secara arif serta bijak ramalan-ramalan Ranggawarsita tentang kahananing zaman. Khususnya yang terbagi-bagi dalam beberapa kala (waktu) seperti kalatida, kalabendu, dan kalasuba. Pertama, zaman Kalatida adalah zaman ketika akal sehat diremehkan. Zaman Kalatida juga disebut sebagai zaman edan yang menurut Frans Magnis Suseno (2001) ditandai dengan hancur-leburnya keselarasan kosmik.
Manipulatif
Pada zaman edan, kebenaran disebut “benar” semata karena represi atas kesadaran publik, biasanya hanya bisa dilakukan mereka yang menguasai lini publik (public-sphere) dan instrumen publik (kekuasaan). Dan masyarakat, karena ketidaktahuan atau kebodohannya, terpukau dengan kebenaran yang sejatinya manipulatif itu. Perbedaan antara benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tak adil, tidak digubris. Krisis moral adalah buah dari krisis akal sehat. Kekuasaan korupsi merata dan merajalela karena erosi tata nilai terjadi di lapisan atas dan bawah.
Kedua, zaman Kalabendu adalah zaman yang mantap stabilitasnya, tetapi alat stabilitas itu adalah penindasan. Ketidakadilan malah didewakan. Ulama-ulama menghianati kitab suci. Penguasa lalim tak bisa ditegur. Korupsi dilindungi. Kemewahan dipamerkan di samping jeritan kaum miskin dan tertindas. Penjahat dipahlawankan, orang jujur ditertawakan dan disingkirkan. Secara ringkas bisa dikatakan bahwa kalatida adalah zaman edan, karena akal sehat diremehkan, dan kalabendu adalah zaman hancur dan rusaknya kehidupan karena tata nilai dan tata kebenaran dijungkir-balikkan secara merata.
Setelah Kalatida dan Kalabendu, menurut Ranggawarsita, dengan sendirinya pasti akan muncul zaman Kalasuba, yaitu zaman stabilitas dan kemakmuran. Agar bisa selamat di masa kalatida, Ranggawarsita menganjurkan setiap orang agar selalu eling (sadar), waspada, dan tidak ikut apalagi larut dalam permainan gila. Sedangkan di masa Kalabendu, orang harus berani prihatin, sabar, tawakal dan selalu berada di jalan Allah sebagaimana tercantum di dalam kitab suci-Nya. Maka nanti akan datang secara tiba-tiba masa Kalasuba yang ditegakkan oleh Ratu Adil.
Selain mengajak bangsa ini mengkaji pesan pujangga Ranggawarsita, Rendra juga merumuskan sebuah tatanan masyarakat yang ideal. Menurutnya, masyarakat tradisional yang kuat hukum adatnya, rakyat dan alam lingkungannya hidup dalam harmoni yang baik, yang diatur oleh hukum adat. Selanjutnya hukum adat itu dijaga oleh para tetua adat atau dewan adat. Kemudian ketika hadir pemerintah, maka pemerintah berfungsi sebagai pengemban adat yang patuh kepada adat. Jadi hirarki tertinggi di dalam ketatanegaraan masyarakat seperti itu adalah hukum adat yang dijaga oleh dewan adat. Kedua tertinggi adalah pemegang kekuasaan pemerintahan. Sedangkan masyarakat dan alam lingkungannya terlindungi di lingkaran dalam dari struktur ketatanegaraan.
Menurut Rendra, udang-undang kita lebih mementingkan daulat pemerintah di atas daulat rakyat, aturan politik ketatanegaraan yang memusat, dan sama-sama memperteguh aturan berdasarkan kekuasaan dan keperkasaan, bukan pada etika. Pancasila menjelma sebagai simbol yang tertembus kritik, tetapi boleh dilanggar tanpa ada akibat hukumnya. Jika ingin keluar dari kemelut kenegaraan, masyarakat harus menegakkan tatanan hukum secara adil. Sebab, dari tatanan yang demikian akan melahirkan masyarakat yang mandiri, kreatif dan dinamis karena selalu punya ruang untuk berinisiatif. Begitulah daulat hukum yang adil akan melahirkan daulat rakyat dan daulat manusia. Syahdan, rakyat yang berdaulat sukar dijajah oleh kekuasaan asing.
Penulis adalah pegiat Komunitas Aksara Yogyakarta (KAY) sekaligus pengarang Buku Memayu Hayuning Bawono.
Dimuat Harian Joglosemar Edisi 06-03-2008
Ternyata urutan zaman Kalatida, Kalabendu, dan Kalasuba tidak hanya terjadi di Kerajaan Surakarta di abad ke-19, tetapi juga terjadi di mana-mana di dunia pada abad mana saja. Di Yunani purba, Romawi, Germania, Perancis, di manapun, dan kapanpun.
Begitulah rupanya irama wolak waliking zaman atau atau pergolakan zaman. Alangkah tajamnya penglihatan mata batin penyair Ranggawarsita ini! Demikian kutipan orasi yang disampaikan WS Rendra ketika menerima penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa (Dr HC). Rendra yang terkenal dengan sebutan si Burung Merak, menyampaikan orasinya berjudul “Megatruh Kambuh, Renungan Seorang Penyair Dalam Menanggapi Kalabendu” di hadapan civitas akademika UGM, dan sejumlah tokoh sastra di Balai Senat UGM, Selasa (4/3/2008).
Putra Solo kelahiran 7 November 1935 ini, merupakan orang ke-19 yang memperoleh Dr HC dari UGM. Tentu saja semua pihak —khususnya masyarakat dan seniman Joglosemar— menyambut gembira pemberian gelar tersebut. Semua senada, Rendra memang sangat pantas mendapatkan anugerah itu. Hal ini tidak lepas dari jasa, pemikiran dan karya-karyanya di bidang kebudayaan yang brilian (Suara Merdeka, 5/3/2008).
Jenjang pendidikannya memang tidak sampai lulus dari UGM. Meski demikian, Rendra melanjutkan pendidikan di American Academy of Dramatics Arts di New York tahun 1967, dan kemudian dia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Momen terpenting dalam pergolakannya menjadi penerus Ranggawarsita adalah antara April-Oktober 1978. Pasalnya dia ditahan Pemerintah Orde Baru karena pembacaan sajak-sajak protes sosialnya di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Konsen Rendra pada pembelaan rakyat tertindas (wong cilik) sangat kental dalam karya-karyanya. Kumpulan puisi Rendra seperti Balada Orang Tercinta (1956), Blues untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), Potret Pembangunan dalam Puisi (1983), Disebabkan oleh Angin (1993), Orang-orang Rangkasbitung (1993), Perjalanan Bu Aminah (1997), Mencari Bapak (1997), sarat dengan kritik sosial.
Memang tepat komentar budayawan Bakdi Sumanto, bahwa Rendra merupakan orang kreatif, cerdas dan tahu banyak hal layaknya pujangga Ranggawarsita di era modern. Kemampuannya menangkap dan melihat kahananing zaman, fakta-fakta sejarah dan keadaan zaman dia cerna dengan sangat mendalam, direnungkan dan dikeluarkan dalam banyak bentuk. Maka, karya-karyanya hampir selalu bisa menjadi cermin keadaan zaman. Puisi dan naskah-naskah dramanya bukanlah produk yang sekali kunyah langsung habis, melainkan butuh beberapa kali menguyah, beberapa kali berpikir sampai akhirnya kita tahu maknanya yang dalam.
Demikian halnya ketika Rendra berbicara tentang kebudayaan. Dia akan dengan runtut mengurai masalah kebudayaan dan kebangsaan dengan berpijak pada catatan-catatan sejarah masa lampau. Rendra juga memiliki cara pandang yang khas dan berbeda dalam melihat keadaan masyarakatnya.
Agar bangsa ini bisa lekas dari kemelut krisis multidimensional, Rendra mengajak semua pihak mengkaji secara arif serta bijak ramalan-ramalan Ranggawarsita tentang kahananing zaman. Khususnya yang terbagi-bagi dalam beberapa kala (waktu) seperti kalatida, kalabendu, dan kalasuba. Pertama, zaman Kalatida adalah zaman ketika akal sehat diremehkan. Zaman Kalatida juga disebut sebagai zaman edan yang menurut Frans Magnis Suseno (2001) ditandai dengan hancur-leburnya keselarasan kosmik.
Manipulatif
Pada zaman edan, kebenaran disebut “benar” semata karena represi atas kesadaran publik, biasanya hanya bisa dilakukan mereka yang menguasai lini publik (public-sphere) dan instrumen publik (kekuasaan). Dan masyarakat, karena ketidaktahuan atau kebodohannya, terpukau dengan kebenaran yang sejatinya manipulatif itu. Perbedaan antara benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tak adil, tidak digubris. Krisis moral adalah buah dari krisis akal sehat. Kekuasaan korupsi merata dan merajalela karena erosi tata nilai terjadi di lapisan atas dan bawah.
Kedua, zaman Kalabendu adalah zaman yang mantap stabilitasnya, tetapi alat stabilitas itu adalah penindasan. Ketidakadilan malah didewakan. Ulama-ulama menghianati kitab suci. Penguasa lalim tak bisa ditegur. Korupsi dilindungi. Kemewahan dipamerkan di samping jeritan kaum miskin dan tertindas. Penjahat dipahlawankan, orang jujur ditertawakan dan disingkirkan. Secara ringkas bisa dikatakan bahwa kalatida adalah zaman edan, karena akal sehat diremehkan, dan kalabendu adalah zaman hancur dan rusaknya kehidupan karena tata nilai dan tata kebenaran dijungkir-balikkan secara merata.
Setelah Kalatida dan Kalabendu, menurut Ranggawarsita, dengan sendirinya pasti akan muncul zaman Kalasuba, yaitu zaman stabilitas dan kemakmuran. Agar bisa selamat di masa kalatida, Ranggawarsita menganjurkan setiap orang agar selalu eling (sadar), waspada, dan tidak ikut apalagi larut dalam permainan gila. Sedangkan di masa Kalabendu, orang harus berani prihatin, sabar, tawakal dan selalu berada di jalan Allah sebagaimana tercantum di dalam kitab suci-Nya. Maka nanti akan datang secara tiba-tiba masa Kalasuba yang ditegakkan oleh Ratu Adil.
Selain mengajak bangsa ini mengkaji pesan pujangga Ranggawarsita, Rendra juga merumuskan sebuah tatanan masyarakat yang ideal. Menurutnya, masyarakat tradisional yang kuat hukum adatnya, rakyat dan alam lingkungannya hidup dalam harmoni yang baik, yang diatur oleh hukum adat. Selanjutnya hukum adat itu dijaga oleh para tetua adat atau dewan adat. Kemudian ketika hadir pemerintah, maka pemerintah berfungsi sebagai pengemban adat yang patuh kepada adat. Jadi hirarki tertinggi di dalam ketatanegaraan masyarakat seperti itu adalah hukum adat yang dijaga oleh dewan adat. Kedua tertinggi adalah pemegang kekuasaan pemerintahan. Sedangkan masyarakat dan alam lingkungannya terlindungi di lingkaran dalam dari struktur ketatanegaraan.
Menurut Rendra, udang-undang kita lebih mementingkan daulat pemerintah di atas daulat rakyat, aturan politik ketatanegaraan yang memusat, dan sama-sama memperteguh aturan berdasarkan kekuasaan dan keperkasaan, bukan pada etika. Pancasila menjelma sebagai simbol yang tertembus kritik, tetapi boleh dilanggar tanpa ada akibat hukumnya. Jika ingin keluar dari kemelut kenegaraan, masyarakat harus menegakkan tatanan hukum secara adil. Sebab, dari tatanan yang demikian akan melahirkan masyarakat yang mandiri, kreatif dan dinamis karena selalu punya ruang untuk berinisiatif. Begitulah daulat hukum yang adil akan melahirkan daulat rakyat dan daulat manusia. Syahdan, rakyat yang berdaulat sukar dijajah oleh kekuasaan asing.
Penulis adalah pegiat Komunitas Aksara Yogyakarta (KAY) sekaligus pengarang Buku Memayu Hayuning Bawono.
Komentar
Posting Komentar