Langsung ke konten utama

Ketika hutan lindung diobral

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 yang mengatur jenis dan tarif pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, yang dikeluarkan belum lama ini, sepintas bermuatan positif.
Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), PP itu dikeluarkan untuk mengatur perusahaan-perusahaan tambang yang sudah berusaha di kawasan hutan lindung supaya dapat memberikan kontribusi untuk negara, dan yang penting untuk tujuan memelihara, merehabilitasi, dan menghutankan kembali kawasan hutan lindung itu (Antara, 6/3).Hanya, PP ini justru menjadi rekomendasi komersialisasi hutan lindung dalam bentuk baru. Pasalnya, pemerintah hanya mengenakan pungutan PNBP Rp 3 juta per hektare per tahun, atau hanya Rp 120 hingga Rp 300 per meter dari kegiatan tambang tersebut. Artinya, dengan uang receh Rp 1.000, kita sudah bisa untuk menyewa satu meter persegi hutan lindung kita selama setahun. Jelas ini harga hutan termurah yang resmi dikeluarkan sepanjang sejarah negeri ini. Tak heran aktivis Walhi tengah berkampanye mengumpulkan uang seribu perak dari masyarakat untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah guna menyewa hutan lindung. Padahal, dalam UU Kehutanan Tahun 1999, pemerintah melarang kegiatan tersebut. Tetapi ironisnya, UU tersebut justru diamendemen pada tahun 2006, dan disempurnakan lagi tahun 2008. Deforestasi Di mana logika pemerintah? Agaknya pemerintah memang tidak pernah mau belajar dari sejarah ketika perusahaan tambang merusak hutan lindung, menyebabkan banjir dan tanah longsor sejak izin operasional mereka diterbitkan.Konferensi Perubahan Iklim di Bali 3-14 Desember 2007, mengamanatkan kepada para peserta, termasuk Indonesia sebagai tuan rumah, untuk melindungi kawasan hutannya yang tersisa. Tapi ironis, pemerintah kita justru mengkhianatinya dengan mengomersialkan hutan lindung.Yang tak bisa dipungkiri, PP No 2/2008 tidak akan pernah melindungi hutan lindung kita, tetapi justru memperparah kerusakan hutan kita. Hardrock Mining on Federal Lands, US Bureau of Land Management (2000) mencatat, salah satu tambang timbal (Pb) yang beroperasi pada zaman Romawi Kuno masih mengeluarkan sisa air asam sampai 2.000 tahun kemudian. Di Australia, biaya merawat air asam bekas tambang mencapai US$60 juta per tahun, dan perawatan tambang telantar US$100.000 per hektare, ditanggung oleh pajak rakyat (Hartiningsih, 2008).Demikian halnya data yang terlihat di seputar aktivitas perusahaan tambang di Kalimantan. UNEP/GRID-Arendal, Mei 2007 lalu, memublikasikan pada 1950 Kalimantan nyaris dipenuhi hijau hutan. Pada 2005, Kalimantan sudah kehilangan 50 persen wilayah hijaunya. Dan, kita tahu di Kalimantan ada ratusan perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan hutan lindung. Walhi Kalimantan Tengah juga mencatat, tahun 2006, terjadi pelepasan kawasan hutan untuk pertambangan, perkebunan dan sektor lainnya di wilayah itu yang mencapai sekitar 1,559 juta ha. Akibatnya, luas hutan Kalimantan Tengah yang tersisa hingga tahun 2007 sekitar 8,735 ha. Bisa dibayangkan, bila laju deforestasi 150.000 ha per tahun dan masih ditambah dengan pelepasan kawasan hutan, hutan produksi (HP) dan hutan produksi terbatas (HPT), tetap berlangsung, hutan di Kalimantan Tengah dapat diprediksi akan musnah dalam kurun lima tahun ke depan.Belum lagi kerusakan kawasan mangrove (hutan bakau). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh ICoMAR, pada tahun 1997, mangrove di kawasan delta Mahakam mencapai 150.000 ha, namun kini hanya tersisa 15 persen atau sekitar 2.000 ha. Di Pantai Utara Jakarta, luas hutan bakau sekitar 1.200 ha (tahun 1998), namun saat ini tinggal 327 ha (sekitar 27 persen). Timbang ulangDi Kabupaten Rembang, kerusakan sekitar hutan bakau 39,1 persen atau 117,1 ha. Di Pulau Bakung, pembabatan hutan bakau ini disebabkan hadirnya sebuah perusahaan yang membuka usaha ekspor komoditas chip tahun 1979 silam. Akibatnya hutan luas hutan bakau yang tersisa saat ini tinggal 15 persen dari luas 18.000 ha. Pertanyaannya kemudian, jika PP tersebut benar-benar diterapkan, bagaimana nasib negeri ini? Pastinya, laju deforestasi hutan lindung akan semakin luas. Tentu saja, deforestasi hutan lindung ini akan memunculkan berbagai dampak ekologis. Pertama, terjadinya perubahan iklim yang tidak teratur. Menurut penelitian para ahli, perubahan iklim global disebabkan naiknya temperatur panas bumi karena terjadinya penggundulan hutan. Kedua, abrasi dan tenggelamnya pulau-pulau kecil. Sebagai contoh, enam pulau di Provinsi Riau tenggelam. Pulau yang tenggelam itu adalah Pulau Nipah, Barkih, Raya, Jenir, Desa Muntai dan Sinaboi. Ketiga, hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur keseimbangan konservasi tanah dan air. Akibatnya, terjadinya bencana banjir di Jakarta, Solo, Karanganyar, Sragen, Ngawi hingga Pasuruan, Jawa Timur, pada akhir 2007. Belum lagi bencana tanah longsor yang merenggut ribuan rakyat tak berdosa. Dampak ekologis yang lebih mengerikan, tulis Peter Hal, adalah bencana dahsyat yang terjadi di perkotaan seperti di London, San Franscisco, Paris dan Sydney (Great Planning Disasters, 2002).Melihat kenyataan di atas, pemerintah mestinya melakukan uji kelayakan atau analisis mengenai dampak lingkungan, sebelum mengesahkan PP tersebut. Tidak ada salahnya juga, jika pemerintah mau mendengar, dan mencontoh akar rumput (grass roots) yang justru lebih arif membuat kebijakan. Misalnya, apa yang dilakukan Gubernur Papua Barnabas Suebu. Karena kesungguhannya menjaga dan melestarikan hutan, Suebu mendapat gelar kehormatan Heroes of the Environment versi Majalah Time. Kebijakan Suebu yang amat terkenal adalah Deklarasi Jeda Tebang Hutan dan moratorium ekspor kayu ke luar negeri. Suebu juga merekomendasikan agar tidak diberikan lagi konsesi baru untuk perusahaan penebang hutan. Akhirnya, kewajiban pemerintah adalah menimbang ulang perlu tidaknya PP No 2/2008 diterapkan. Buat apa kebijakan dibuat, jika muaranya merugikan dan menyengsarakan rakyat. Menyejahterakan rakyat dengan kekayaan sumber daya hutan memang tujuan mulia, tetapi bukan dengan cara komersialisasi hutan lindung. []
Agus Wibowo Analis Lingkungan, Mahasiswa Pascasarjana UNY

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera