Langsung ke konten utama

Dilema Film Ayat-Ayat Cinta

Oleh Agus Wibowo
Dimuat Jawapos Edis 8 Maret 2008
Kesuksesan sutradara Hanung Bramantyo mengangkut Ayat-Ayat Cinta (AAC) ke layar kaca (film) patut diacungi jempol. Novel religius best seller karya Habiburrahman El Shirazy tersebut berhasil dibesut menjadi film bernuansa religius yang apik dan mencerahkan.
Ditambah lagi, apresiasi masyarakat cukup menggembirakan. Itu terbukti dengan penuh-sesaknya bioskop-bioskop pada pemutaran perdana film AAC belum lama ini. Bagitu kentalnya nuansa religius dan tuntunan kebaikan dalam AAC, sampai-sampai Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin merekomendasikan AAC sebagai tontonan wajib umat muslim.
Sepintas, film AAC sebenarnya tidak jauh berbeda dengan film remaja -juga dewasa- pada umumnya. Di sana, disuguhkan tema-tema kemanusiaan, pluralisme, kesederhanaan, kesetiakawanan, serta romantisme percintaan yang mengharu biru. Hanya, film AAC mampu menampilkan romantisme percintaan yang dibesut dengan nilai-nilai agama (Islam).
Sentuhan Hanung sebagai sutradara andal peraih Piala Citra 2004 dan 2007 terbukti lewat film ini. Baik dari aspek bahasa gambar yang sangat dikuasainya maupun tampilan bermacam detail yang "tertulis" menjadi terucap, atau hanya tervisualisasikan sesaat.
Pemilihan semua karakter seperti pada pemeran utama Fahri, Maria, Aisha, Nurul, dan Noura yang dominan juga sangat cocok dimainkan oleh aktor dan aktrisnya. Nilai plus bahkan diperlihatkan Carrisa Putri, sosok Maria, seorang gadis yang memendam cinta tampak hidup dalam dirinya.
Secara pasti, kehadiran film AAC memang mampu menciptakan genre dan warna baru di dunia perfilman kita, khususnya film bernuansa religius. Apalagi, di tengah kejenuhan publik kita akan tontonan film-film religius yang digarap secara berlebih atau -dalam istilah Cak Nun- film-film religius yang justru tidak religius lantaran memangkas nilai-nilai luhur agama Islam.
Mengapa demikian? Film-film religius picisan tersebut dipertontonkan sebagai media pengusir hantu, jin, setan, dan sebagainya. Bahkan, tak jarang disuguhkan pencitraan Tuhan yang kejam dan tanpa rasa welas-asih terhadap pendosa. Pencitraan tersebut berdampak buruk pada persemaian konsep teologis anak-anak, generasi muda, dan mereka yang awam terhadap agama Islam.
Karena itulah, mengangkat novel AAC ke layar lebar bukanlah hal baru, termasuk di Indonesia. Jauh sebelum jaringan bioskop sebanyak sekarang, pernah diputar film Roro Mendut, Atheis, Si Doel Anak Betawi, dan Salah Asuhan. Belakangan, ada Ca Bau Kan, Eiffel I’m In Love, Jomblo, Cintapucino, dan Mereka Bilang Saya Monyet.
Hanya, diangkatnya AAC ke dalam layar kaca bakal melahirkan dilema-dilema baru. Bagi masyarakat yang kritis, usaha tersebut akan memunculkan pelbagai pencitraan buruk terhadap karya aslinya, memupus imajinasi para siswa, dan menimbulkan penafsiran serta apresiasi yang seragam akan sebuah karya sastra dalam pengajaran sastra di sekolah.
Tidak jarang, generasi muda mendatang menjadi salah tafsir tentang kisah maupun pesan utama yang terkandung dalam karya sebenarnya. Bahkan, bisa terjadi misscommunication antara pujangga dan generasi muda pembacanya, yang lambat laun bisa menjungkirbalikkan tatanan nilai dan norma budaya yang mestinya perlu dikaji secara kritis dan mendalam (Didik Durianto, 2005).
Dilema Karya Sastra Difilmkan
Ide kreatif filmisasi novel AAC -yang merupakan produk karya sastra-memang berdampak positif. Melalui usaha tersebut, karya sastra bakal memiliki konsumen baru sebagai perluasan wilayah kreatif yang sejalan dengan perkembangan teknologi dan industri komunikasi.
Selain itu, masyarakat awam -sebagai objek dan subjek karya sastra- semakin diuntungkan karena disuguhi aneka ragam cerita yang menarik, tanpa memedulikan nilai-nilai yang dibawa. Singkatnya, masyarakat kian terhibur dan sejenak melupakan beragam persoalan kehidupan yang semakin mengimpit.
Filmisasi karya sastra muaranya mencampakkannya dalam cawan simulacra. Fenomena inilah yang jauh hari dikecam Frederic Jameson (1991). Istilah simulacra yang sering dipadankan dengan posmodernisme berasal dari filsuf Prancis, Jean Baudrillard.
Menurut Baudrillard, dalam simulacra, realitas tidak lagi tampak, tetapi pada penampakannya (appearance). Sebagaimana ciri-ciri posmodern yang menyembunyikan fakta bahwa realitas tidak lagi tinggal mencumbui kita.
Bahkan, dengan radikal posmodern memandang bahwa tidak ada realitas di luar tanda atau di luar simulasi. Sastra yang tumpah dalam cawan simulacra menjadi dangkal karena citra mengatasi maknanya. Pembaca tidak perlu mencari makna atau menafsirkan lagi apa yang disuguhkan karena itulah maknanya (Budi Irawanto, 2003).
Memang secara kebetulan, film AAC digarap sutradara yang mumpuni serta mampu menerjemahkan teks (sastra) sebagaimana yang diinginkan penulisnya (Kang Abik). Bagaimana jadinya jika kebetulan film tersebut digarap sutradara lain atau digarap secara asal-asalan? Tentu akan terjadi pemenggalan alur serta tafsir sepihak yang mendangkalkan karya sastra aslinya.
Menurut Niall Lucy dalam Postmodern Literary Theory (1997), kesuksesan filmisasi sastra, ujung-ujungnya diikuti proses sinetronisasi dan komersialisasi. Logikanya sederhana. Jika suatu saat AAC disinetronkan, pemilik stasiun televisi bakal mengomersialkannya melalui target penjaringan iklan dan pencapaian audience rating.
Pendek kata, melalui sinetronisasi karya sastra tersebut (pemilik stasiun televisi) hanya mengejar pemenuhan budaya populer dan sebagai mesin kapitalisme untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Lebih lanjut, tayangan sinetron di layar kaca, tulis Muh Labib (2002), merupakan pertarungan antara dua kekuatan sosial yang dominan -modal ekonomi (economy capital) dan modal kebudayaan (cultural capital). Namun, arus besar sinetron saat ini menunjukkan bahwa kedua kekuatan dominan dalam ruang sosial layar kaca itu tidaklah berdampingan di wilayah yang otonom. Kenyataannya, modal ekonomi mendominasi wilayah pemilik modal kebudayaan.
Lagi-lagi, masyarakat yang menjadi korban karena nilai-nilai luhur budaya yang terkandung dalam karya sastra dirampas melalui proses sinetronisasi dan komersialisasi tersebut.[]
Agus Wibowo, mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Jogjakarta,
(Email: agus82wb@yahoo.com)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera