Langsung ke konten utama

Soe Hok Gie, Antara Pena dan Perjuangan

Dimuat Jurnalnet.com (Jogja, 11/01/2008 - 12:59 WIB)
“Nasib terbaik pertama adalah tak dilahirkan, yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua.” Inilah kata-kata terakhir aktivis, penulis, budayawan dan pencinta alam Gie (Soe Hok Gie), yang akhirnya juga mati dalam usia sangat muda tatkala mendaki gunung Semeru pada bulan Desember 1969.
Tak banyak orang yang mengenal aktivis mahasiswa sekaligus penulis kritis di era 1960-an ini. Apalagi, bagi mereka yang tidak gemar membaca buku. Beruntung, sutradara Riri Riza beberapa tahun lalu merilis sebuah film dengan latar belakang kisah heroik aktivis muda Gie. Film tersebut diambil dari babon buku ”Catatan Seorang Demonstran” karya Gie.
Meski tujuan utama pembuatan film tersebut adalah keuntungan finansial sebanyak-banyaknya, tetapi setidaknya film Gie bisa melukiskan sepak-terjang sosok pemuda kritis, gigih dalam idealisme dan menjunjung tinggi moralitas. Paling tidak, sifat-sifat positif Gie bisa menular pada mereka yang kebetulan menonton film tersebut.
Selain itu, film Gie akan menciptakan, atau mungkin lebih tepatnya ”melahirkan kembali,” sebuah ikon. Ikon seorang aktivis yang berani menyatakan hati nuraninya walaupun bertentangan dengan penguasa; ikon seorang anak muda yang tidak mencari kekayaan tapi keadilan dan kebenaran, ikon seorang penulis yang mencintai alam, kehidupan, dan orang-orang di sekitarnya.
Tentu saja, sejauh mana gambaran-gambaran itu mewakili kenyataan semasa hidupnya dapat diperdebatkan, tapi yang jelas, ikon demikian sepantasnya menjadi antidot (penawar racun) bagi konsumerisme yang merajarela di negeri ini, semacam role of model baru bagi generasi muda dewasa ini.
Bahwa seorang yang bukan anak orang kaya, bukan anak pejabat, berasal dari kelompok etnik minoritas, dapat menjadi kekuatan moral yang memengaruhi banyak orang, bahkan memukau kaum muda beberapa puluh tahun setelah dia meninggal (Bachtiar Alam, 2005).
Tak Mengejar Materi dan Kekuasaan
Sosok Gie merupakan pemuda kritis yang melampaui zamannya, sekaligus aktivis yang mumpuni dalam berbagai bidang. Dia memiliki keahlian (skill) menulis yang jarang dimiliki aktivis seangkatannya. Semangat nasionalisme dan patriotisme, sangat kental terasa dalam setiap tulisannya.
Keahliannya merangkai kata dan menggoreskan pena (menulis), digunakan untuk mengkritik berbagai kebijakan Orde lama yang tidak memihak rakyat. Gie juga bukan orang yang hanya pandai membuat tulisan yang berbunga-bunga, tetapi absen dalam perjuangan nyata. Tetapi, Gie seorang penulis kritis sekaligus aktivis sekaligus orator ulung pemberani yang sering melakukan demonstrasi. Ia bahkan tidak gentar meski pentungan, gas airmata, kawat berduri atau moncong senapan aparat diarahkan kepadanya.
Ketika Orde Lama mendekati masa kejatuhannya, Gie pun turut turun ke jalan menggelar demonstrasi bersama teman-temannya. Ia juga menulis banyak artikel di surat kabar. Aktivitas itu membawanya berkenalan dengan tokoh-tokoh pers seperti Aristides Katoppo dari Sinar Harapan yang juga senang mendaki gunung (Yogi W Utomo, 2005).
Sebagai mahasiswa, Soe Hok Gie juga merupakan aktivis kampus yang militan. Ia sempat menjadi ketua Senat Fakultas Sastra, menjadi salah satu pendiri Mapala-UI dan Grup Diskusi UI. Dia pun aktif dalam Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS).
Tatkala rezim Orde Lama berhasil di-tumbangkannya, Gie tidak menjadi seorang aktivis yang oportunis. Berbeda dengan rekan-rekannya sesama aktivis Angkatan 66, mereka justru terjun ke parlemen (entah jadi anggota MPRS atau DPR-GR) dan tunduk pada ketiak rezim Soeharto. Gie justru lebih memilih untuk tidak menjadi kepanjangan tangan sistem kekuasaan Orba. Soe Hok Gie juga merupakan salah satu tokoh civil society dalam konteks 1960-an yang berusaha tidak terkooptasi oleh kekuatan-kekuatan politik yang saling bersaing waktu itu. Tetapi, apa yang terkesan dari kisah kehidupannya adalah bahwa justru perjuangan untuk menjatuhkan rezim Soekarno digunakan oleh kepentingan politik tertentu, yaitu rezim Orde Baru yang mulai mengkonsolidasikan hegemoninya pada akhir dekade 1960-an.
Menurut sejarawan Onghokham, sosok Soe Hok Gie adalah seorang external oppositionist yang tidak tahan berhadapan dengan kemapanan. Tak heran jika ia mengkritik dengan pedas rekan-rekannya sesama aktivis yang menerima tawaran kursi parlemen dan bahkan berebut mendapatkan kredit mobil. Kepada rekan-rekannya tersebut, Gie menjulukinya sebagai ”pemimpin yang mencatut perjuangan”.
Gie—dalam bukunya Catatan Seorang Demostran—mengakui bahwa dirinya lebih baik teralienasi atau terasing, daripada menyerah kepada penguasa tiran yang penuh kemunafikan. Tentu beda dengan sebagian aktivis mahasiswa saat ini, yang hanya mengejar ”proyek” atau jabatan di pemerintahan. Gie merepresentasikan sosok aktivis yang jujur dan tidak punya pamrih apalagi sikap egoistis. Rasa nasionalisme dan patriotismenya memang bukan basa-basi.
Gie tentu juga berbeda dengan sebagian etnisnya (Tionghoa) yang dinilai banyak kalangan hanya mengejar uang atau materi, tetapi tidak mau memdarmabaktikan diri pada negara yang ditempatinya. Lantaran kritik-kritiknya yang berani, Gie sering mendapat surat kaleng antara lain memaki-maki dia sebagai "China yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja" (Tomy Su, 2005).
Figur Kepemimpinan Nasional
Tatkala bangsa ini tengah merindukan kepemimpinan kaum muda yang mumpuni, figur Soe Hok Gie layak menjadi barometer untuk menjaring para pemimpin muda tersebut. Bukan saja sikapnya yang tidak haus kekuasaan, tetapi kuatnya nasionalismen menyeruak mengalahkan sikap chauvinisme-nya sebagai etnis pendatang.
Gie menerjunkan diri, bahkan berjuang mati-matian untuk bangsa dan tanah yang belum tentu mengenalnya. Andai saja ada sepuluh orang elit politik muda kita di pemerintahan—yang memiliki kepribadian tanpa pamrih, nasionalisme yang kokoh serta memiliki nalar kritis yang dibalut moralitas—layaknya Gie, sudah pasti krisis kepemimpinan nasional bakal teratasi. Tidak hanya itu, bangsa ini bakal keluar dari krisis multidimensioanal yang menggelayut semenjak medio 1997 lalu.
Figur aktivis sekaligus penulis muda Soe Hok Gie, layak untuk ditauladani tapi tidak untuk dimitoskan. Sebab, dalam kultur masyarakat kita, realitas yang apa adanya justru hilang maknanya tatkala menjadi dunia mitos yang terkadang ”mistis.” Meminjam istilah Pramudya Ananta Toer, kebesaran dan ketinggian Gie bakal luntur lantaran pe-mitos-an atas dirinya. Biarlah sejarah Gie menjadi, sejarah anak manusia yang apa adanya tanpa polesan sedikitpun. Dengan model tersebut, Gie menjadi layak ditauladani karena kemanusiaannya, bukan lantaran dunia mitos yang membingkainya.
Sudah saatnya kaum muda mencintai tanah airnya, layaknya Gie menjelmakan rasa cintanya menjelajah alam atau mendaki gunung, Bahkan, akhirnya dia pun menyatu dengan Ibu Pertiwi ketika mengembuskan napas penghabisan di Gunung Semeru pada Desember 1969. Bagi Gie rasa cintanya itu memang dipersembahkan bagi alam dan segenap manusia serta isinya yang ada di persada Nusantara, bukan pada rezim atau pemerintahan tertentu yang tengah berkuasa di negeri ini.
*) Peneliti Pada Forum Kajian Politik dan Pendidikan (FKPP) Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. E-mail agus82wb@yahoo.com.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera