Langsung ke konten utama

Penjara itu Bernama Sekolah

Setiap tahun ajaran baru, berbondong-bondong orangtua mendatangi institusi pendidikan. Dalam benak mereka, masih melekat stigma bahwa pendidikan mampu memperbaiki masa depan anak-anak mereka kelak. Bahkan mungkin bisa merubah status sosial sekaligus nasib keluarganya. Fenomena ini sangat wajar dan cukup beralasan.
Sampai detik ini, tipologi dan stratifikasi warisan budaya feodal masih menancap dan mengakar kuat di negeri ini. Pemetaan antara kaum miskin yang selalu di bawah, golongan priyayi yang diwakili kaum cerdik-pandai didikan institusi pendidikan dan bangsawan masih kental terasa. Para orangtua menganggap pendidikan merupakan investasi masa depan dan satu-satunya sarana tercepat proses konversi strata sosial. Melalui bangku sekolah (pendidikan), anak-anak mereka kelak bakal menyandang titel atau gelar sekaligus mengukuhkan strata baru sebagai seorang “priyayi.”
Hal ini sangat terasa manakala kita berjalan-jalan mengunjungi desa-desa kecil di lereng-lereng pegunungan atau pinggiran perkotaan. Meski arus informasi yang dibawa oleh televisi, radio, hand phone, majalah, koran dan sebagainya sudah demikian kuat, tetapi tetap tidak mampu menggeser stigma gelar yang dikaitkan dengan derajat/status sosial seseorang.
Masyarakat desa masih menganggap gelar atau titel akademik merupakan prestise yang sangat mengagumkan. Entah bagaimana senyatanya kualitas intelektual si pemilik gelar, tidak begitu diperhatikan. Yang jelas ia menyandang gelar yang tinggi, dipajang dalam kartu nama, plakat nomor rumah, kartu undangan pernikahan dan sebagainya. Masyarakat kecil kita menjelma menjadi masyarakat yang “gila gelar,” tanpa melihat kemampuan live skills seseorang.
School Phobia ?
Begitu anak diterima di sebuah lembaga pendidikan (sekolah), orangtua merasa terharu bercampur bangga menyaksikan putra-putri mereka menggendong tas berisi buku pelajaran dan mengenakan seragam sekolah. Namun, kebahagiaan itu berangsur sirna. Sang buah hati yang baru beberapa hari masuk sekolah itu tiba-tiba mogok sekolah. Walaupun sudah dibujuk, dirayu, dan diiming-imingi dengan hadiah yang menarik, dia tetap tidak mau ke sekolahBerbagai alasan dikemukakan oleh anak-anak agar mereka diizinkan untuk tidak masuk sekolah, mulai dari merasa tidak enak badan, sakit perut, sakit kepala, sakit kaki kalau pakai sepatu, takut dimarahi ibu guru, tidak suka sekolah itu, dan lain-lain. Kalaupun dipaksakan juga, setibanya di sekolah, anak-anak tetap tidak mau masuk kelas. Tangisan dan pelukan erat pada ibunya atau pengasuhnya dijadikan senjata agar terhindar dari paksaan masuk kelas (Tribun Timur, 18/07/2007)
Fenomena tersebut dikenal dengan istilah “school phobia” atau fobia sekolah. Hal ini terjadi lantaran sekolah menjelma menjadi monster mengerikan yang siap merampas keceriaan anak. Mengutip pendapat R. Tagore (2007), sekolah layaknya penjara bagi siswa. Fenomena ini lebih terasa lagi ketika pengumuman kelulusan Ujian Nasional (UN) saban tahunnya. Banyak siswa yang lulus ujian mengungkapkan kegembiraannya itu dengan mencoret baju seragamnya menggunakan spidol, dan lain sejenisnya. Seolah tergambarkan, selama menjadi seorang siswa mereka terkekang dan tidak mampu menyatakan dirinya sebagai manusia sejati.
Secara fisik sekolah-sekolah di Indonesia memang mirip bentuk bangunan penjara yang sesungguhnya. Coba anda bayangkan ! Pada umumnya sekolah-sekolah kita merupakan bangunan kokoh, berbentuk ruangan yang dibatasi empat tembok (ruang segi empat), minim ventilasi—untuk mengatakan tidak ada, dan sekelilingnya dibatasi pagar yang tinggi menjulang. Itu belum cukup ! Beberapa satuan pengaman (Satpam), dengan penampilan ala-militer dan prilaku keras, setiap saat siap menghukum semua kesalahan siswa.Sementara, sistem pendidikan kita memperlakukan siswa layaknya robot. Dengan pola yang kaku dan mengekang seperti itu, menganggap otak anak-anak kosong, sehingga harus dijejali dengan berbagai hafalan materi pelajaran. Pola semacam ini sudah sejak lama dikecam oleh Paulo Freire karena menempatkan posisi peserta didik pada subordinat. Freire menyebut sistem pendidikan tersebut sebagai sistem “bejana kosong” dimana guru setiap saat harus mengisis bejana kosong tersebut dengan ilmu-ilmunya (Paulo Freire, 1984).
Dalam sistem pendidikan seperti ini, yang terjadi tak lebih proses duplikasi-duplikasi kepribadian dan pengetahuan guru terhadap muridnya. Tidak ada pola-pola baru yang menempatkan siswa sebagai “manusia unik” yang memiliki relung-relung batin yang berbeda. Individualitas siswa sebagai personal yang merdeka menjadi kabur, lantaran kuatnya “penjajahan intelektual” yang dilakukan guru.
Rutinitas di sekolah tidak pernah berubah; anak ke sekolah harus membawa koper berisi begitu banyak buku, sampai di rumah masih harus mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Habis itu terus teler. Siklus semacam ini berlangsung terus setiap hari. Belum lagi jika harus mengikuti khursus sempoa, musik, baca tulis iqra’, ballet dan sebagainya. Siswa menjadi terbebani oleh sekian banyak pelajaran dan tugas yang berat tersebut (Agus Wibowo, 2007).
Rutinitas yang menjajah ruang kebebasan siswa ini masih ditambah lagi dengan sikap bengis dan brutalitas guru di dalam kelas yang sangat tidak manusiawi. Guru sangat tidak bersahabat. Guru dengan perintahnya itu ibarat raja atau penguasa yang harus dituruti anak didik. Pada akhirnya, siswa justru semakin pusing dan tidak bisa berpikir jernih. Kreativitas anak didik tertutup sangat rapat oleh adanya norma formal yang dibuat sekolah.
Anak didik mencoba berpikir lebih produktif dan inovatif demi dunia pendidikan mereka ke depan, tetapi malah dihambat sedemikian rupa oleh sekolah. Beban sekolah yang demikian padat, pada gilirannya tidak menyisakan waktu sedikitpun bagi anak-anak untuk bermain. Padahal, bermain merupakan salah satu unsur penting dalam tumbuh kembang fisik, intelektual, dan mental anak. Tidak mengherankan bila sebagian anak pada saat ini menjadi pengidap fobia sekolah (school phobia), yang manifestasinya bisa bermacam, misalnya merasa sakit, tidak enak badan, dan lainnya. Mereka stres menghadapi situasi sekolah dan lingkungan yang begitu menekan, sehingga ada yang nekat bunuh diri. Salah satu contoh Cahyono bin Taryim (15), siswa kelas II SMP di Cipunagara, Kec. Pagaden, Kab. Subang. Peristiwa itu terjadi di salah satu kampung yang jauh dari hiruk pikuknya kota. Korban diduga malu karena stress terhadap kondisi sekolah hingga tidak naik kelas. Cahyo akhirnya nekat menghabisi nyawanya dengan cara gantung diri, menggunakan seutas kabel listrik yang dibelitkan di lehernya (Pikiran Rakyat, 2/7/2007).
Kasus Cahyo ini bukan yang pertamakali dalam dunia pendidikan, tetapi hal serupa sudah tak terhitung lagi dalam dunia pendidikan kita. Lantaran sekolah menjelma menjadi penjara yang tak layak didiami, menurut Ivan Illich bakal muncul fenomena de-schooling society, ketika pendidikan di sekolah sudah carut marut dan cenderung militeristik, segera keluar dari lembaga pendidikan tersebut adalah sesuatu hal yang sangat dianjurkan. Sebab, berlama-lama di dalam lembaga pendidikan yang demikian, akan semakin memperburuk suasana dan keadaan. Anak didik akan kian bodoh dan tidak bisa berpikir cerdas. Otak mereka akan tumpul, mandul dan stagnan (Ivan Illich, 1972)
Kurikulum Padat Pelajaran Mestinya kurikulum pendidikan dasar di Indonesia tidak terlalu padat, sehingga tersisa ruang ekpresi dan kreativitas bagi peserta didik. Hal ini sejalan dengan semangat, visi dan misi pendidikan nasional yang bertujuan mengembangkan segenap potensi peserta didik, bukan sebaliknya ingin menciptakan robot atau bebek-bebek (sumberdaya manusia penurut).
Kreativitas dengan kedisiplinan seseorang bisa berjalan beriring karena itu keliru bila kebebasan dan kreativitas identik dengan ketidakdispilinan. Kecerdasan intelektual (IQ) bukan segala-galanya. Masih ada banyak kecerdasan yang bisa dikembangkan untuk tumbuh kembang anak.
Terkait mengelola sistem persekolahan, mestinya kita belajar dari Finlandia. Di sana, siswa menempuh belajar di sekolah hanya 30 jam per minggu, sedangkan di Korsel 50 jam. Sementara siswa Indonesia menghabiskan waktu di sekolah jauh lebih banyak dibanding murid Finlandia. Di samping itu para guru di Finlandia merupakan guru-gurunya berkualitas dan merupakan lulusan terbaik SMA. Gaji mereka tidak fantastis, tapi profesi mereka sangat dihargai. Kunci sukses lain Finlandia, guru di negeri itu tidak pernah mengritik siswa yang gagal, tetapi terus mendorong siswa bisa bekerja independen. Kegagalan siswa juga menjadikan guru introspeksi, apa yang salah dengan sistem pembelajaran.Pertanyaannya, mampukah sekolah kita mengubah paradigma buruknya itu? Jawabannya, selama para pemegang sekolah mampu memahami persoalan esensial ditambah sekian fenomena tahun ajaran baru maupun kelulusan anak didik dan menyikapinya secara arif dan bijaksana. Melalui pemahaman yang holistik serta perombakan sistem persekolahan kita, niscaya bisa memunculkan sekolah sebagai lembaga pendidikan dengan format baru. Sekolah pun akan tampil sebagai pusat pendidikan yang lebih santun, ramah dan demokratis terhadap anak didiknya. Juga, tak akan memaksakan kehendaknya kepada anak didik. Akhirnya sekolah menjadi dambaan setiap anak didik. Namun apabila sekolah tetap memperlihatkan dirinya sebagai pusat penindasan, pemaksaan dan lainnya yang sejenis, anak didik akan berlarian menjauhinya sehingga sekolah pun menjadi sepi, angker dan menakutkan ibarat kuburan. []
*) Penulis adalah Penggiat Komunitas Aksara Yogyakarta dan Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Email: agus82wb@yahoo.com. Website: aguswibowo82.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera