Oleh Agus Wibowo *)
Dimuat Harian Joglosemar Edisi 11-01-2008
Tahun baru Hijriyah yang baru saja kita peringati, merupakan salah satu karya monumental Sultan Agung (1613-1645). Raja Mataram Islam ketiga tersebut, memberikan keteladanan akan kearifan, toleransi, pluralisme serta sosok negarawan sejati.Kedatangan agama Islam di tanah Jawa, pelan tapi pasti menggeser agama dan kebudayaan Hindu dan Budha. Pergeseran ini jelas menakutkan dan menorehkan luka. Kita bisa membayangkan betapa sulitnya hidup dalam keretakan budaya.
Tahun baru Hijriyah yang baru saja kita peringati, merupakan salah satu karya monumental Sultan Agung (1613-1645). Raja Mataram Islam ketiga tersebut, memberikan keteladanan akan kearifan, toleransi, pluralisme serta sosok negarawan sejati.Kedatangan agama Islam di tanah Jawa, pelan tapi pasti menggeser agama dan kebudayaan Hindu dan Budha. Pergeseran ini jelas menakutkan dan menorehkan luka. Kita bisa membayangkan betapa sulitnya hidup dalam keretakan budaya.
Beruntung, Sultan Agung sangat bijaksana sehingga mampu mempertahankan stabilitas budaya dan politik. Sultan Agung mampu memberi ”warna” Jawa terhadap Islam yang merupakan agama ”baru” zaman itu.
Dengan “warna” lokal itu, Islam meresap ke dalam jiwa dan hati sanubari masyarakat Jawa sebagai Islam yang matang dan akomodatif terhadap perubahan, serta tak bersikap galak pada pihak lain.
Keteladanan lain yang dicontohkan Sultan Agung, adalah kedekatan dan rasa hormat kawula terhadapnya. Ini dapat dirasakan dalam cerita rakyat tentang seorang tukang rumput yang memberi makan kuda-kuda istana. Syahdan, pada suatu hari tukang rumput itu oleh Sultan Agung diberi hadiah semangka yang bisa mengubah nasibnya. Namun, si tukang rumput malah menjual buah semangka itu. Padahal, Sultan Agung mengisinya dengan segenggam berlian yang bisa membuatnya menjadi kaya. Apa boleh buat. Sultan Agung lalu menyimpulkan, miskin itu agaknya memang sudah suratan nasib. Kita boleh tak setuju dengan kesimpulan beliau (Mohammad Sobary, 2007).
Strategi Penyatuan Kalender
Pada masa Sultan Agung, penanggalan (kalender) merupakan bagian penting dari kehidupan kenegaraan. Hampir semua perikehidupan masyarakat Jawa kala itu, khususnya tata laku budaya, berpatok kuat pada sistem penanggalan.
Sebelum kedatangan Islam, telah berkembang penanggalan yang bersandar pada kalender Saka—yang berasal dari sistem penanggalan Hindu-Buddha—yang dimulai sekitar tahun 78 Masehi. Sementara agama Islam membawa penanggalan baru (Hijriyah) yang mendasarkan pada perhitungan bulan (komariah).
Melalui ide kreatifnya, Sultan Agung mengasimilasikan dua penanggalan itu. Caranya, tahun baru Jawa yang semula berperhitungan syamsiah diubah dengan perhitungan komariah. Alhasil, hingga saat ini awal tahun baru Jawa selalu berbarengan dengan tahun Hijriah. Sejak saat itu asimilasi ini menghasilkan kalender Jawa-Islam yang berdampak kepada substansi ritual religiusnya. Nilai Islam berjalan bersama dengan tata laku adat Jawa sehingga memunculkan impresi baru dalam identifikasi terhadap kalender Islam murni di Jawa.
Hal yang melatarbelakangi penyatuan kalender ini, yakni dakwah dan politis. Sultan Agung mempunyai kewajiban mendakwahkan nilai Islam di Jawa, yang ketika itu sebagian rakyatnya masih berpegang kuat pada ajaran Syiwa-Buddha. Ia memilih mengakomodasi kepercayaan lokal dalam Islam. Model akomodasi budaya Jawa, khususnya Syiwa-Buddha, sebelumnya dilakukan Walisongo, khususnya Sunan Kalijaga.
Penyatuan kalender merupakan bagian dari penyatuan unsur-unsur lain, seperti dipakainya doa Islam dalam ritual jamasan dan penggunaan istilah Islam untuk menyebut tanggal dan bulan Jawa. Pertimbangan Sultan Agung yang lain, adanya mitos bulan Sura yang dipercaya masyarakat Jawa sebagai bulan yang sakral, karena pada bulan tersebut lahir dan runtuhnya Majapahit dan berdirinya Mataram Islam.
Legitimasi Politik dan Sastra
Penyatuan kalender yang dilakukan Sultan Agung, semakin memperkokoh stabilitas politik dan budayanya. Meski demikian, dia ingin memperoleh legitimasi yang lebih kuat lagi dari rakyatnya. Sultan Agung lantas memakai gelar Senapati Ing Alaga Sayiddin Panatagama Kalifatullah, yang menunjukkan ia adalah panglima perang, pemimpin agama, dan wakil Tuhan.
Saat yang sama, Belanda menancapkan kekuasaannya di Batavia dan mengancam keagamaan masyarakat di Jawa. Gejala ini ditangkap secara arif oleh Sultan Agung. Dia menyatukan Islam dan Jawa lebih kuat lagi melalui penyatuan kalender dan berbagai tradisi lainnya. Pendek kata, pembuatan kalender Jawa bertujuan untuk merangkul seluruh rakyat Jawa untuk menyatu di bawah kekuasaan Mataram. Dan pada gilirannya kemudian dijadikan sebuah momentum politik menggalang kekuatan untuk menyerbu Belanda dengan VOC-nya di Batavia pada tahun 1628 dan 1629.
Strategi kreatif Sultan Agung yang lain adalah melalui sastra. Pada masa itu, sastra keraton merupakan kiblat dunia sastra masyarakat. Sastra keraton menjadi media sekaligus corong pemerintah terhadap rakyatnya. Atas titah Sultan Agung, dibuatlah karya sastra monumentan Serat Centhini. Meski berisis berbagai tuntunan keutamaan, Serat Centhini lebih banyak berisi mitos yang mengukuhkan legitimasi Sultan Agung. Misalnya, kisah Syaikh Amongraga yang berubah menjadi ulat dan ditelan oleh Sultan Agung (Mark Woodward, 2004:52).
Selain itu, legitimasi budaya pendirian Kerajaan Mataram semakin kokoh dengan dibuatnya Babad Tanah Jawa. Karya sastra ini merupakan salah satu metode pembenaran bahwa dinasti Mataram merupakan pemilik syah tanah Jawa. Melalui berbagai harmonisasi ramalan dan mitos,Babad Tanah Jawa memberikan keabsahan mutlak Sultan Agung atas Mataran dan seluruh tanah Jawa.
Beberapa penulis sejarah berpendapat Sultan Agung mengembangkan budaya pedalaman Jawa yang berciri kejawen, feodal dan berbau mistik. Hal itu berbeda dengan para raja sebelumnya yang berciri perniagaan sehingga banyak pelabuhan tumbuh subur di pesisir utara Jawa.
Sultan Agung merupakan salah satu kearifan sejarah bangsa ini. Dari beliau, kita bisa berhikmah bagaimana menyatukan berbagai dimensi dalam masyarakat. Dari beliau, para pemimpin kita bisa meneladani bagaimana menciptakan stabilitas sosial, politik dan budaya, serta bagaimana seorang pemimpin bisa sangat dicintai rakyatnya. Kecintaan rakyat atas pemimpinnya, bakal menciptakan tatanan negara yang mapan dan kokoh. Mataram bisa tumbuh menjadi kerajaan yang disegani, lantaran manunggaling kawula dan gusti, atau saling asah, asih asuh dan bersatu-padunya pemimpin dengan rakyatnya. *) Penulis adalah Penulis Buku Memayu Hayuning Bawono.
Komentar
Posting Komentar