Agus Wibowo *) (07/01/2008 - 11:07 WIB)
Jurnalnet.com (Jogja)
Jurnalnet.com (Jogja)
Judul Buku : Diburu di Pulau Buru
Penulis : Hersri Setiawan
Penerbit : Galang PressCetakan : Pertama, Maret 2006
Tebal : 228 halaman
Mata pelajaran sejarah kita—dari sekolah dasar hingga menengah—selau menarasikan peristiwa G. 30 S/PKI atau terkenal dengan ”peristiwa 1965”. Diceritakan bahwa peristiwa berdarah yang merenggut ketuju perwira ABRI, adalah perbuatan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dijelaskan pula bahwa Jenderal Suharto dengan “SUPERSEMAR-nya”, berhasil menumpas “penghianatan” PKI tersebut. Akhirnya, berbagai gelar kehormatan pun dianugerahkan kepadanya. Suharto lantas dipuja-puja laksana “dewa penolong” bagi bangsa ini.
Namun, pelajaran sejarah saat itu —bahkan sampai saat ini, nyaris bungkam. Bukan hanya terhadap apa yang dialami oleh sepuluh ribu tahanan politik (tapol) di Pulau Buru, tetapi juga tentang pembantaian dan penahanan atas ratusan ribu (atau bahkan jutaan?) anggota dan simpatisan—atau yang sekedar dituduh sebagai anggota simpatisan PKI.
Dalam narasi sejarah yang diciptakan oleh rezim Orba, pembantaian dan penahanan massal serta pengalaman getir para tapol di Pulau Buru —dan di tempat-tempat lain di Indonesia— dianggap tidak pernah ada. Yang ditonjol-tonjolkan dalam “narasi sejarah penguasa” adalah kisah heroik militeristik, yang dipimpin oleh Jenderal Suharto dan didukung oleh segenap warga yang merasa “setia kepada Pancasila dan UUD 1945” dalam “mengikis habis PKI hingga ke akar-akarnya”. Anehnya, narasi ini diterima sebagai salah-satunya kebenaran sejarah. Dengan narasi sejarah inilah rezim Orba mengindoktrinasi segenap warga bahwa kita adalah bangsa yang “satun”, “beradab”, “berbudi luhur”, “berperikemanusiaan” dan “berketuhanan” . Sedangkan komunis adalah “biadab”, “tidak berkemanusiaan” serta atheis. Patut untuk dibasmi!
Buku yang ada di tangan pembaca ini merupakan kisah nyata yang ditulis oleh orang yang terlibat langsung peristiwa sejarah tersebut. Ia bersama ribuan tapol lainnya, oleh rezim Orba dipaksa menjalani hidup tanpa harkat dan martabat kemanusiaan di Pulau Buru selama hampir sepanjang dasawarsa 1970-an.
Buku ini mengajak kita untuk menghentikan pemberhalaan masa lalu, sekaligus meninggalkan watak “narsistik” warisan Orba itu. Kita diajak melihat bagaimana nilai-nilai kemanusiaan diinjak-injak justru oleh mereka yang paling getol mengaku berprikemanusiaan; keberadaban Tuhan diingkari justru oleh mereka yang mengklaim sebagai yang paling berketuhanan.
Nilai-nilai keagamaan dicampakkan justru oleh mereka yang mengklaim paling agamis. Kebiadaban justru dipertontonkan oleh mereka yang mengaku sebagai orang yang palig beradab, kebodohan dipamerkan justru oleh orang yang merasa diri paling benar dan pintar, maki-makian dan kekerasan didemonstrasikan justru oleh mereka yang mengaku paling santun dan berbudi luhur. Pendeknya kita diajak melihat ironi-ironi Orba.
Dengan melihat ironi, gambaran masa lalu yang mungkin selama ini kita berhalakan tampak goyah, atau bahkan malah berantakan. Masa lalu tak lagi merupakan tempat dari mana kita bisa menepuk dada. Apakah yang dapat kita banggakan dari masa lalu Orde Baru, ketika ternyata “kesuksesan” lahiriyahnya dibangun di atas piramida korban manusia? Ketika ternyata apa yang diagung-agungkannya justru diingkarinya sendiri? (hal 10)
Selain itu, masa lalu juga tak lagi merupakan tempat kemana kita bisa lari dari tanggung jawab atas kesalahan yang kita lakukan. Bagaimana mungkin kita bisa terus-menerus mengkambing-hitamkan “komunis” setiap kali menghadapi masalah bangsa yang pelik, ketika mereka yang disebut “komunis” sendiri justru merupakan pihak yang paling menjadi korban masalah yang ada?
Agak berbeda dari beberapa otobiografi atau memoar mantan tapol yang lain, buku ini menunjukkan pretensi membela diri; dan sama dengan semua memoar mantan tapol yang lain, buku ini sama sekali tidak menunjukkan hasrat melakukan pertobatan.
Selain itu, buku ini hanya ingin berbagi pengalaman, sembari berharap bahwa pengalaman pahit para mantan tapol itu dicatat dalam narasi sejarah Indonesia mutakhir, tak lain agar seluruh tragedi kemanusiaan setelah “peristiwa 1965” tidak terulang kembali.
Hanya dengan berhenti memberhalakan atau meratapi masa lalu, kita bisa menjadikan masa lalu sebagai guru yang terbaik, sebagaimana diungkapkan Sukarno dengan semboyan “jasmerah”nya.
Guru paling baik dari Pulau Buru dan seluruh tragedi kemanusiaan 1965 yang merupakan pondasi berdirinya rezim Orba adalah bahwa paradigma berpikir ”either/or” itu sering, juga bukan selalu, mendatangkan malapetaka bersama.
Ketika kita berkata bahwa”jika engkau tidak membenci mereka, mak engkau pasti bagian dari mereka”, dan mereka itu musuh kita yang harus kita musnahkan”, maka dari situ kekerasan bermula. Persis ketika orang berlomba berteriak ”hancurkan PKI”, tak lain agar tidak dicap sebagai “PKI”.[] *) Penulis adalah Alumni Mahasiswa Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar