Dimuat Harian Joglosemar, Edisi Rabu, 12-12-2007
Menurut data Departeman Agama RI, sebanyak 193.429 jamaah calon haji biasa dan 16.293 jamaah calon haji khusus dari Indonesia telah berangkat ke Makkah dan Madinah pada musim haji tahun 2007. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, jamaah haji kita kembali menempati urutan pertama sebagai jamaah haji terbesar di dunia.Secara kuantitatif, fenomena haji tahun ini cukup menggembirakan. Artinya, meski didera bencana yang sambung-menyambung, berbagai kecelakaan moda transportasi maupun krisis semenjak medio 1997, umat muslim kita masih sempat memenuhi panggilan Allah SWT untuk menunaikan ibadah haji. Fenomena ritualistik ini juga memberikan kesan bahwa masyarakat muslim di Indonesia, merupakan masyarakat yang taat beragama, sekaligus individu-individu yang saleh. Keadaan ini idealnya membidani kelahiran realitas dan tatanan sosial yang shaleh pula.
Akan tetapi, kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Praktek kehidupan masyarakat justru memperlihatkan gejala-gejala yang kontradiksi dengan norma-norma agama. Kondisi ini semakin diperparah dengan realitas sosial Indonesia yang menjadi bangsa dengan angka pengangguran yang tinggi. Ironisnya, sebagian besar berasal dari kaum intelektual (sarjana).
Selain tingginya angka pengangguran, bangsa ini juga dibelit problem kemiskinan. Menurut Data Bank Dunia November 2006, kemiskinan di Indonesia mencapai 149 juta jiwa (49 persen) dari total penduduk Indonesia 200 juta jiwa.
Pada ranah kenegaraan, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menjadi budaya sekaligus kelangenan masyarakat. Temuan PBB dan Bank Dunia (2006), mencatat bahwa Indonesia merupakan negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia. KKN merajalela di mana-mana. Pada ranah sosial juga menunjukkan kondisi moralitas yang hancur. Kekerasan sosial dan keagamaan, kekerasan seksual, pembunuhan, konflik berdarah dan sejumlah pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) semuanya terjadi hampir setiap hari dan di banyak tempat.
Kenyataan di atas menjadi ironi yang menggelayuti ritualitas keagamaan kita. Dengan kata lain, intensitas umat muslim dalam ritualitas keagamaan, tak berbanding lurus dengan keshalehan sekaligus komitmen sosial terhadap sekelilingnya. Ritualitas keagamaan (termasuk ibadah haji), kurang menumbuhkan semangat berbagi, kepedulian pada orang yang menderita (sense of responsibilities), dan ghirah untuk berkecimpung dalam kerja mengentaskan kemiskinan.
Perlu Tafsir Kontekstual
Para jamaah haji kita—dan umat muslim lainnya— pasti berharap mendapat haji yang “Mabrur.” Karena, menurut hadits Nabi Muhammad SAW disebutkan bahwa, al-hajj al-mabrur laisa lahu al-jaza’ illa al-jannah, atau balasan bagi haji mabrur hanya surga. Kata mabrur jika ditinjau dari segi sematis (kebahasaan) berarti mendapatkan kebaikan atau menjadi baik.
Hanya saja, tidak setiap jamaah haji bisa menyandang predikat haji mabrur. Ada sebuah kisah tentang seorang sufi yang tatkala menunaikan haji, tertidur lelap dan bermimpi berjumpa Rasulullah SAW. Dalam mimpi sang sufi, Rasul memberitahukan bahwa jamaah haji saat itu tidak ada satupun yang mabrur, kecuali seorang tukang cukur yang kebetulan menjadi tetangga Si Sufi. Hal ini sangat mengagetkan Si Sufi. Betapa tidak, tetangganya itu adalah seorang miskin yang pada tahun tersebut tak menunaikan ibadah haji.
Setibanya di kampung halaman, Si Sufi bergegas menemui tetangganya. Si Sufi lantas menanyakan amalan apakah kiranya yang dilakukan tetangganya tersebut sehingga ia dianggap mendapat haji mabrur. Tetangga itu lantas bercerita bahwa dirinya telah lama bercita-cita menunaikan ibadah haji, sehingga berusaha mengumpulkan biaya selama bertahun-tahun. Namun, ketika biaya dirasa cukup dan masa haji tiba, tiba-tiba ada seorang anak yatim, tetangganya, ditimpa musibah yang hampir merenggut jiwanya. Melihat hal ini, hatinya tersentuh dan merasa iba, lalu hampir seluruh biaya haji diberikan untuk membiayai anak yatim tersebut sehingga dirinya gagal menunaikan ibadah haji.
Kita bisa mengambil hikmah dari kisah tersebut, betapa pentingnya kepekaan sosial (sense of responsibilities) terhadap penderitaan orang lain. Kepekaan ini lebih tinggi nilainya ketimbang ibadah ritual. Dalam konteks bangsa ini, kisah tersebut seakan menemukan konteksnya. Tatkala kemiskinan tengah mencengkeram bangsa ini, bukankah lebih baik mengentaskan kemiskinan terlebih dahulu, ketimbang menyegerakan berhaji?
Ironisnya, sebagian besar umat Islam malah menjadi egois-individualis. Demi mengejar iming-iming surgawi, mereka tak menghiraukan masyarakat sekelilingnya. Mereka melakukan ibadah haji tanpa merasa berdosa sedikit pun. Lebih ironis, jika mereka yang melakukan untuk kesekalian kali atau bekal yang dibawa adalah hasil korupsi.
Prof Dr Nurcholish Madjid (1995) mengingatkan, Tuhan jauh-jauh hari sudah menegaskan kriteria pendusta agama (Tuhan) lewat ayat: ”pernahkah engkau lihat, orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak berjuang untuk memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat (juga ritual haji), tetapi mereka yang akan shalat, tetapi lalai, yaitu yang suka pamrih kepada sesama, dan yang enggan memberikan pertolongan.” (QS. Al-Ma’un; 1-7). Mestinya simbol dan substansi keagamaan bermuara pada penegakan keadilan sosial. Dalam komitmen penegakan keadilan sosial inilah, keberagamaan yang sejati bakal menampakkan wujudnya yang paling nyata, yaitu lewat prilaku sosial dan keluhuran budi pemiliknya.
Ritual haji sejatinya melatih manusia untuk memiliki kepekaan sosial. Tidakkah lebih baik jika ONH untuk haji kedua dan seterusnya diberikan saja kepada kaum marginal yang ”kelaparan”, agar mereka beroleh kehidupan dan pendidikan yang agak layak?
Bagi yang terindikasi korupsi, kalau memang terbukti mereka akan sadar dan rela mengembalikannya. Manusia yang tercerahkan adalah mereka yang tidak hanya memiliki tanggung jawab ibadah ritus kepada Allah, tetapi sekaligus punya tanggung jawab sosial kemanusian pada saudara sesama manusia. Selamat menunaikan ibadah haji, semoga menjadi haji yang mabrur, Amin.
*) Agus Wibowo Pemerhati Sosial Keagamaan, Penggiat Komunitas Aksara Yogyakarta (KAY).
Komentar
Posting Komentar