Langsung ke konten utama

Siklus Pendidikan; Gelar Diganti Kompetensi

Dewasa ini, animo masyarakat pada dunia pendidikan cukup menggembirakan. Terbukti, ratusan bahkan ribuan calon siswa atau mahasiswa menyerbu institusi pendidikan saban tahun ajaran baru. Tradisi ini seakan-akan tak terpengaruh oleh kondisi carut-marut sosial, budaya, politik, moral, maupun jeratan krisis ekonomi yang menghimpit bangsa ini semenjak medio 1997. Para orangtua tetap kukuh untuk menyekolahkan putra-putrinya.

Tekad para orangtua bahkan tidak semakin surut tatkala mendengar berbagai pemberitaan meningkatnya angka jumlah pengangguran di Indonesia. Padahal, jumlah pengangguran tersebut didominasi oleh lulusan institusi pendidikan baik lulusan Sekolah Dasar (SD), sekolah menengah maupun perguruan tinggi (PT), dengan gelar Diploma (DIII), Sarjana (S1), maupun Magister (S2). Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Pebruari 2007 jumlah pengangguran mencapai 10, 55 juta jiwa, di mana 75 % berasal dari perguruan tinggi (Diploma, Sarjana dan Magister), sementara sisanya (25 %) berasal dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah/Sekolah Menengah Kejuruan (Media Indonesia, 7/12/2007).

Fenomena kegandrungan masyarakat terhadap pendidikan ini, disambut gembira oleh institusi penyedia pendidikan. Kehadiran sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta, layaknya cendawan di musim penghujan, bertebaran di mana-mana. Sayangnya, tak jarang beberapa institusi pendidikan—terutama perguruan tinggi—yang "nakal" menaikkan biaya pendidikan. Dengan dalih lantaran konversi menjadi badan hukum milik negara (BHMN) atau lantaran penyediaan infra dan supra struktur pendidikan, institusi pendidikan tersebut menaikkan biaya pendidikan menjadi dua kali lipat dari pembiayaan semula. Tak terhitung jumlahnya perguruan tinggi yang melakukan kebijakan tersebut, misalnya salah satu perguruan tinggi negeri kebanggaan kota Yogyakarta. Pada awalnya, kampus ini merupakan kampus milik rakyat—karena biaya pendidikannya termasuk masih bisa dijangkau masyarakat. Tetapi pada tahun 2000-an, kampus rakyat ini berubah menjadi kampus orang kaya lantaran biayanya yang membumbung tinggi. Jika pada awalnya, biaya kuliah (SPP) hanya berkisar Rp. 700.000-1. 000.000,-per semester, kini menjadi dua kali lipatnya. Belum dengan dibukanya program swadaya, ektensi, program kerjasama dan sebagainya. Pada program-programn tersebut, asal mereka memiliki dana berlebih kualitas intelektual menjadi nomor sekian karena sudah pasti diterima.

Hal tersebut juga dialami Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Ketika masih bernama Institut Agama Islam Negeri (IAIN), biaya kuliah (Biaya SPP) masih sangat murah, berkisar Rp. 250.000- Rp 300. 000,- per semester kini menjadi dua kali lipatnya. Perguruan tinggi lainnya, barangkali juga melakukan hal serupa, hanya dengan cara dan bentuk yang berbeda. Fenomena inilah yang disebut sebagai komersialisasi dalam dunia pendidikan. Akibat komersialisasi pendidikan ini, hanya kaum berada saja yang bisa menikmati bangku pendidikan. Kesenjangan pun mencolok, yang kaya semakin pintar dan dengan kepintarannya tersebut membodohi yang miskin. Sementara, yang miskin karena kemiskinannya tak mampu mengenyam bangku pendidikan. Akibatnya, dia menjadi bulan-bulanan dan sasaran empuk orang kaya. Penindasan dan penghinaan merebab di mana-mana, mendera kaum miskin yang semakin terpinggir.

Motif Merubah Status
Tatkala seseorang berniat memasuki perguruan tinggi, sebelumnya pasti sudah tergambar angan-angan atau cita-cita. Cita-cita atau dorongan yang mendasarinya tiap-tiap orang tentunya bakal berbeda. Ada yang masuk perguruan tinggi semata-mata untuk mencari ilmu, mencari pengalaman, mendapatkan gelar untuk melamar pekerjaan atau investasi masa depan. Untuk tipe yang pertama, saat ini sudah jarang ditemukan. Tipe tersebut memang dimiliki mereka yang secara materiil terpenuhi atau memang keinginan kuat dalam dirinya untuk hanya mencari ilmu bukan yang lain. Faktor ajaran agama sangat berpengaruh pada tipe tersebut, pasalnya menurut agama (Islam) menuntut ilmu—baik di institusi formal maupun non-formal—termasuk ibadah. Bahkan, nabi pernah bersabda, "Tuntutlah ilmu, walaupun sampai di negeri cina." Pada tipe ini, menuntut ilmu harus dibebaskan dari keinginan, pamrih atau nafsu materi duniawi. Menuntut ilmu harus kosong (sepi) dari tarik ulur kepentingan, bakan menurut pujangga RNg Rangga Warsita, "Neglmu kudu kanti laku" atau menuntut ilmu itu juga harus pakai metode atau sistem. Nah, laku-nya ini harus bebas dari pamrih (sepi ing pamrih) baik moril, materiil dan Im-materiil.

Untuk tipe terakhir, adalah tipe yang paling umum dewasa ini. Orang masuk perguruan tinggi agar setelah lulus nanti memperoleh gelar. Dengan gelar tersebut, orang bakal diterima di dunia kerja dan mendapatkan gaji yang memadai. Di mana semakin tinggi gelar yang dimiliki, semakin tinggi gaji yang di dapat. Terjadi konversi status dan kredibilitas sosial, yang semula dari golongan pas-pasan meningkat menjadi golongan berada, atau dari golongan miskin menjadi golongan berada. Selain itu, dengan gelar yang disandang status dan kredibilitas sosial mereka berubah. Meminjam istilah pemetaan Clifford Gertz (1975), dari kelas bawah, kelas budak, kelas jongos (babu atau pembantu) menjadi kelas priyayi atau ndoro tuan.

Selain itu, seberapa banyak titel yang diperoleh, semakin kuat penilaian orang akan kredibilitasnya. Akibatnya, banyak orang yang bertitel akademik mulai dari pendidikan S-1 seperti Drs (Doktorandus), S.Ag (Sarjana Agama), SHI (Sarjana Hukum Islam), Ir (Insinyur) dan sebagainya. Atau titel untuk pendidikan S-2 seperti MA (Master of Art), M.Ag (Master Agama), M.Pd (Master Pendidikan), M.M (Master of Management) dan sebagainya. Atau pula pendidikan S-3 dengan gelar Dr (Doctor), Ph.D (Doctor of Phylosopy) dan sebagainya. Kesemuanya itu akan menjadikan seseorang dihormati dalam suatu masyarakat. Akan lebih dihormati lagi ketika seseorang menggondol lebih dari satu titel. Inilah yang disebut motif memasuki dunia pendidikan untuk merubah keadaan atau status sosial.

Orientasi masuk perguruan tinggi kemudian berganti untuk mendapat gelar sebanyak-banyaknya, karena dengan semakin banyaknya gelar mereka bakal lebih dihormati. Pada akhirnya, masyarakat kita menjelma menjadi masyarakat yang "gila gelar." Fenomena ini lantas disambut secara logis—untuk tidak mengatakan sebagai licik—oleh institusi penyelenggara pendidikan. Mereka bersaing untuk membuka program-program khusus yang dengan program tersebut, gelar menjadi cepat diraih, bahkan dua gelar (twin degree) sekaligus.
Paradigma Feodalis dan Silkus pendidikan
Terdapat sebuah siklus yang bakal timbul lantaran paradigma feodalis dalam masyarakat kita (Muarif 2006). Siklus tersebut diawali dari motif seseorang tatkala masuk perguruan tinggi hanya untuk bisa mendapat atau diterima dalam dunia kerja.

Siklus pertama, pada awalnya dunia kerja hanya memakai standar gelar akademik untuk menjaring tenaga kerja dan karyawannya. Semaki tinggi gelar yang dimilikinya, mereka sudah pasti diterima bekerja. Lantaran setiap orang bisa mendapatkan gelar—yang terkadang tidak merepresentasikan keahlian (Skill) atau kecakapan yang dimilikinya—dunia kerja mengalami banyak kerugian. Pasalnya, dunia dan pasar kerja lebih mementingkan kualitas ketrampilan dan kecakapan seseorang yang dahulu bisa direpresentasikan dari gelar yang dimiliki. Dahulu, dengan menempuh jenjang diploma (DIII) orang sudah memiliki kecakapan dan ketrampilan yang luar biasa dalam bidang tugasnya. Apalagi untuk jenjang sarjana maupun magister, tidak diragukan lagi. Akan tetapi, saat ini gelar sudah tidak merepresentasikan kualitas intelektual dan keahlian (skill) seseorang, karena setiap orang asal memiliki uang dan bisa masuk di perguruan tinggi sudah pasti mendapat gelar. Oleh karena itu, pasar dan dunia kerja mengubah kebijakan baru dengan menaikkan standar jenjang pendidikan bisa berkerja dalam pasar dan dunia kerja. Misalnya dengan pendidikan serendah-rendahnya Diploma (DIII) atau Sarjana (S1).

Bagi mereka yang tidak memiliki gelar Diploma atau Sarjana, sudah pasti tidak bisa bekerja. Oleh karena itu, mereka berusaha mendapatkan gelar dengan apapun caranya. Bisa denga masuk perguruan tinggi dengan program-program khusus, program swadaya, atau program-program yang tidak membutuhkan waktu lama tetapi bisa langsung bisa mendapatkan gelar, bahkan ada yang "menyogok" perguruan tinggi untuk mendapat gelar atau memalsukan ijazah atau gelar. Bukti-bukti kecurangan gelar tersebut saban hari diberitakan oleh media massa.

Siklus kedua, sejatinya, dunia dan pasar kerja menganut paradigma mekanis serta keuntungan ekonomis sebanyak-banyaknya. Itu semua jelas membutuhkan keahlian atau kompetensi dari setiap tenaga kerja atau pegawai. Setiap pos atau bagian harus bisa berperan layaknya roda gigi yang baik dan berkualitas. Dengan itu, efektifitas dan efisiensi yang merujuk pada hasil bisa dicapai dan semakin ditingkatkan. Jika sebuah pos atau bagian tidak memiliki kompetensi yang memadai, bagian tersebut bakal menimbulkan cacat yang tidak bisa diperbaiki oleh bagian-bagian selanjutnya. Akibatnya, efisiensi dan efektifitas menjadi terganggu, jika sudah demikian dunia kerja bisa dipastikan menderita kerugian yang tidak sedikit.

Solusinya, dunia kerja menaikkan standar jenjang pendidikan untuk bisa diterima bekerja. Jika semula standarnya DIII dan S1, dinaikkan menjadi harus sudah menempuh Magister (S2). Misalnya seperti yang dilakukan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY) yang mensyaratkan pendidikan S2 untuk bisa menjadi tenaga pengajar atau dosen. Kebijakan ini juga dilakukan pada beberapa institusi pemerintah seperti dinas kesehatan, pertanian dan sebagainya.

Akibatnya, para lulusan S1 yang tidak diterima bekerja rame-rame memasuki jenjang S2. Bagi yang kebetulan tidak memiliki biaya, mereka berusaha mencari beasiswa dari instansi swasta maupun pemerintah (BPPS). Ironisnya, sering terjadi kecurangan dalam usaha mencari BPPS tersebut. Misalnya, lantaran dekat atau kenal dengan kepala perguruan tinggi (entah negeri atau swasta) mereka mengajukan permohonan agar dibuatkan Surat Keputusan (SK) sebagai dosen di perguruan tinggi tersebut, sebagai syarat utama mendapat BPPS. Setelah proses "kong-kalikong" berhasil, si penerima SK selanjutnya mendaftarkan diri pada institusi penyedia beasiswa. Lantaran proses seleksi BPPS masih sekedar formalitas, maka asal seseorang mempunyai SK mengajar sudah pasti mendapat BPPS, tanpa meneliti kualitas intelektual si penerima BPPS.

Kasus-kasus kecurangan tersebut marak terjadi, tetapi anehnya pihak pendidikan tinggi (Dikti) sebagai tangan kanan pendidikan nasional (Diknas) tidak berusaha menghentikannya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang lantaran tidak dekat dengan rektor atau kepala perguruan tinggi, tidak bisa mendapatkan SK mengajar/sebagai dosen yang selanjutnya tidak bisa mengajukan BPPS. Padahal, kualitas dan kadar intelektualnya lebih baik ketimbang mereka yang mendapat BPPS dengan cara "haram" tersebut. Lantaran program S2 banyak peminatnya, berbagai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta berlomba-lomba membuka program-program magister. Program S2 menjadi layaknya warung lesehan—meminjam istilah Mu’arif—yang bertebaran di mana-mana. Siapa saja, asal punya biaya bisa masuk tanpa melalui proses seleksi kualitas intelektual yang ketat. Pada akhirnya menurut penulis, fenomena pada siklus pertama juga bakal terjadi pada siklus kedua. Lulusan S2 banyak yang tidak berkualitas lantaran hanya mengandalkan uang. Pihak dunia kerja pada akhirnya menyadari hal tersebut dan merubah kebijakan dengan menaikkan standar dari S2 menjadi program doktor (S3) untuk bisa masuk di dunia kerja.

Siklus ketiga, lantaran jenjang S2 sudah tidak laku dan tidak bisa lagi dipakai untuk mendapftar pada dunia kerja, orang beramai-ramai memasuki jenjang S3. Tujuan akhirnya adalah agar bisa diterima bekerja. Kasus pada siklus kedua terulang kembali, intitusi pendidikan mengimbanginya dengan membuka berbagai program S3. Asalkan punya biaya, semua orang bisa diterima dan mendapatkan gelarnya. Lagi-lagi dunia industri menjadi kecolongan, program S3 tidak lagi menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas. Banyak lulusan program S3 yang tidak bisa apa-apa. Mereka lulus karena mampu membayar institusi pendidikan. Pada akhirnya, karena program S3 merupakan jenjang tertinggi institusi pendidikan, dunia pendidikan tidak lagi memakai standar pendidikan tetapi memakai standar kompetensi dan keahlian yang dimiliki. Seseorang, entah memiliki gelar atau tidak asalkan memiliki kriteria dan kompetensi bisa diterima bekerja di dunia kerja.

Pada akhirnya, bakal tiba suatu masa di mana masyarakat tidak lagi gila gelar, tetapi lebih mengutamakan kualitas atau kompetensi yang terukur dari berbagai tindakan praktis diberbagai bidang kehidupan, maupun terukur dengan diterima bekerja di dunia kerja. Budaya masyarakat seperti ini sudah dipelapori masyarakat Jepang, Singapura dan sebagainya.
Menurut penulis, dengan melihat fenomena yang berkembang saat ini, tidak urung suklus tersebut bakal terjadi. Istitusi pendidikan mestinya mulai berbenah, kurikulum mesti dirombak dari orientasi pengetahuan menjadi ketrampilan. Dari mengutamakan gelar dirubah menjadi mengutamakan kompetensi. Dalam masyarakat sudah semestinya ditanamkan kesadaran bahwa mencari ilmu dengan masuk ke perguruan tinggi bukan semata-mata untuk mendapatkan gelar, tetapi mendapatkan ketrampilan dan kompetensi. Dengan itu, ia bakal tetap survive lantaran bisa diterima bekerja di belahan bumi manapun. Meskipun belum terjadi, siklus pendidikan harus dipertimbangkan agar tidak terjadi penyesalan di akir nanti. Semoga. []
*) Agus Wibowo, adalah Mahasiswa Program Magister Pendidikan, Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten