Dimuat Majalah Suara Muhammadiyah N0 23/1-15 Desember 2007
Melalui buku “Tafsir wa Ta’wil”, Ruhul Qudus yang Turun Kepada Al-Masih Al-Maw’ud(2007) Moshaddeq menyampaikan beberapa ajaran yang membuat gerah umatIslam. Sehingga, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa melalui keputusan nomor 4 tahun 2007, yang menyatakan Al-Qiyadah Al-Islamiyah sebagai aliran sesat. MUI juga meminta pemerintah agar melarang penyebaran paham baru tersebut, serta menindak tegas pemimpinnya.Gayung pun bersambut. Sejumlah ormas Islam semisal Muhammadiyah, NU, FPI dan sebagainya mendukung fatwa MUI tersebut. Puncaknya, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan keputusan untuk membubarkan aliran sesat tersebut dengan tuduhan melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1965 dan pasal penodaan agama, yang diatur dalam KUHP pasal 156a (Jawa Pos, 31/10/2007). Aliran ini telah menyebar ke beberapa provinsi antara lain Jawa Barat, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Padang, dan sebagainya. Berdasarkan laporan pertemuan akbar aliran itu pada Agustus 2007 yang berhasil didapatkan MUI, selama Juni 2007 saja Al-Qiyadah Al-Islamiyah mampu merekrut anggota baru sebanyak 1.349 jiwa. Bulan berikutnya, Juli 2007, aliran ini juga berhasil merekrut sebanyak 1.412 jiwa. Kebanyakan anggota mereka adalah orang-orang yang tidak paham agama, umumnya pedagang atau pengusaha menengah ke bawah (Republika, 5/10/2007).
Kebenaran doktrin agama Islam kembali diusik; dan ketenangan beragama umat pun terganggu. Pasalnya, Ahmad Moshaddeq dengan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah-nya, memproklamirkan dirinya sebagai nabi dan rasul, menggantikan Muhammad saw. Ia mengaku menerima wahyu dari Allah saat bertapa di Gunung Bunder selama 40 hari 40 malam.
Melalui buku “Tafsir wa Ta’wil”, Ruhul Qudus yang Turun Kepada Al-Masih Al-Maw’ud(2007) Moshaddeq menyampaikan beberapa ajaran yang membuat gerah umatIslam. Sehingga, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa melalui keputusan nomor 4 tahun 2007, yang menyatakan Al-Qiyadah Al-Islamiyah sebagai aliran sesat. MUI juga meminta pemerintah agar melarang penyebaran paham baru tersebut, serta menindak tegas pemimpinnya.Gayung pun bersambut. Sejumlah ormas Islam semisal Muhammadiyah, NU, FPI dan sebagainya mendukung fatwa MUI tersebut. Puncaknya, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan keputusan untuk membubarkan aliran sesat tersebut dengan tuduhan melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1965 dan pasal penodaan agama, yang diatur dalam KUHP pasal 156a (Jawa Pos, 31/10/2007). Aliran ini telah menyebar ke beberapa provinsi antara lain Jawa Barat, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Padang, dan sebagainya. Berdasarkan laporan pertemuan akbar aliran itu pada Agustus 2007 yang berhasil didapatkan MUI, selama Juni 2007 saja Al-Qiyadah Al-Islamiyah mampu merekrut anggota baru sebanyak 1.349 jiwa. Bulan berikutnya, Juli 2007, aliran ini juga berhasil merekrut sebanyak 1.412 jiwa. Kebanyakan anggota mereka adalah orang-orang yang tidak paham agama, umumnya pedagang atau pengusaha menengah ke bawah (Republika, 5/10/2007).
Perlu Kearifan
Menyikapi ajaran dari aliran Al-Qiyadah A-Islamiyah yang telah menyimpang ini, kita dituntut bersikap arif seraya merujuk pada dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mengapa harus demikian? Sebab, khususnya dalam kondisi umat Islam yang masih didera krisis multidimensi ini, banyak pihak yang suka memancing di air keruh. Bisa jadi tema-tema “usang” yang kembali mencuat—seperti aliran baru ini— sebagai upaya mengalihkan nalar kritis umat Islam terhadap kebijakan penguasa. Atau, bisa jadi upaya kelompok-kelompok tertentu untuk mengotori keluhuran nilai-nilai ajaran Islam.
Jika kita merujuk pada Al-Qur’an, sejatinya beberapa doktrin aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah secara naqliyah terbantahkan. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SwT, “Pada hari ini, telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Aku cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian.”(Q.s. Al-Maidah: 3). Pada ayat lain Allah juga menegaskan, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Q.s. Ali-`Imran: 19).Dengan demikian, agama Islam harus tetap kita yakini sebagai agama yang paling sempurna lantaran telah dijamin langsung oleh Allah SwTdan mampu menjawab seluruh persoalan kehidupan umat manusia. Hanya saja, dalam proses penyempurnaan pemahaman Islam ini, dibutuhkan upaya tajdid baru yang terus menggelinding, mengikuti denyut nadi dan irama peradaban manusia.
Nabi Muhammad merupakan Rasul pamungkas dan Nabi terakhir. Sesudah beliau wafat, tidak akan ada lagi Rasul dan Nabi yang diturunkan untuk umat manusia. “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki pun di antara kamu, tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup para Nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.s. Al-Ahzab: 40).
Adapun kemunculan Nabi-nabi palsu—termasuk Ahmad Moshaddeq—, bukan hal baru lagi. Kasus serupa sudah sering terjadi dan turut mewarnai sejarah umat Islam, sejak masa Nabi Muhammad masih hidup, zaman Khulafaur Rasyidin, hingga era kontemporer sekarang ini. Umat Islam tentu masih ingat Mirza Ghulam Ahmad dengan aliran Ahmadiyah-nya, atau Lia Aminuddin dengan jamaah Salamullah/komunitas Eden, juga memproklamirkan hal serupa.
Kewajiban shalat, puasa dan haji sejatinya memiliki nilai esensial yang menguntungkan bagi umat manusia sendiri. Dengan kata lain, kewajiban tersebut menjadi kebutuhan yang menyuplai dahaga spiritual manusia. Kewajiban shalat misalnya, perintah ini sejatinya berkaitan dengan kedisiplinan pendayagunaan waktu.Disadari maupun tidak, disiplin waktu memiliki jalinan dengan pembangunan moralitas kepribadian. Ada waktu-waktu tertentu disiapkan kepada kita untuk memberikan laporan kepada Allah dalam satu harinya maka itu harus tetap dilakukan bagaimana juga situasi dan kondisi yang ada pada diri kita. “Dirikanlah shalat, sungguh ini merupakan kewajiban yang ditentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. An-Nisa’:103-104).
Fatwa dan Penegasan
Dengan demikian, ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang tidak mewajibkan shalat, puasa dan haji tidak lebih sebagai ajaran yang tidak bertumpu pada premis-premis kemanusiaan dan tidak berdasarkan pada dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah. Ajaran demikian, hanya sekedar memperturutkan hawa nafsu semata, yang pada gilirannya menggiring manusia pada jurang kehancuran.
Upaya penafsiran kitab suci Al-Qur’an tidak bisa secara sembarang. Selain berdasar pada penguasaan tata-bahasa (arab) yang mumpuni, seorang penafsir (mufasir) juga mesti merujuk pada As-Sunnah. Menurut Ibnu Katsir, jika beliau tidak memahami tafsir atas solusi yang diberikan Al-Qur’an dan As-Sunnah, beliau merujuk pada pernyataan para shahabat. Sebab, para sahabat adalah orang-orang yang lebih mengetahui sekaligus sebagai saksi dari berbagai fenomena dan situasi yang terjadi pada masa Nabi, dan mereka pun adalah orang-orang yang memiliki pemahaman yang shahih serta amal yang shalih.Oleh karena itu, upaya penafsiran Al-Qur’an yang hanya bertumpu pada nalar semata sebagaimana dilakukan oleh aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah dalam bukunya Tafsir wa Ta’wil, bakal mengarah pada kesesatan.
Nabi Muhammad saw telah mengingatkan, “Barangsiapa yang berbicara (menafsirkan) tentang Al-Qur’an dengan pemikirannya tentang apa yang dia tidak memiliki pengetahuan, maka bersiaplah menyediakan tempat duduknya di neraka.” (HR. At-Tirmidzi, An Nasa’i dan Abu Daud).Karena itu, fatwa yang dikeluarkan MUI sudah sangat tepat. Hal ini sebagai upaya penegasan kembali kebenaran ajaran Islam dan kenabian Muhammad Saw, sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di samping itu, fatwa MUI juga bisa memberikan dampak psikologis untuk menjaga ketenteraman umat dalam melaksanakan kewajiban agama.Meski demikian perlu disadari, bahwa fatwa semacam ini belum tentu bisa membendung lahirnya aliran-aliran serupa berikutnya yang juga sesat. Karena itu, sikap yang konsisten dalam beragama dan kemauan untuk selalu mendakwahkan Islam yang sesuai dengan sumber ajarannya tidak boleh ditinggalkan oleh ormas Islam, para da‘i dan mubaligh, serta umat Islam yang memiliki bekal pengetahuan yang cukup.
Dari aspek keagamaan, tasawuf yang merupakan jantung rohani Islam perlu kembali didenyutkan dalam kehidupan umat. Tidak bisa dimungkiri, tasawuf merupakan tradisi yang hidup dan kaya dengan doktrin-doktrin metafisis, kosmologis, dan psikologis serta psiko-terapi religius. Dengan pembudayaan lagi aspek tasawuf atau sufisme, aspek kehidupan rohani—yang selama ini terpinggirkan oleh modernitas dan terlindas oleh kelaliman kebijakan ekonomi dan politik—bakal tumbuh dinamis mengasupi kehidupan umat ini.
*) Agus Wibowo adalah Pegiat Komunitas Aksara, dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar