Dimuat Harian Kaltim Post, Edisi Rabu, 21 November 2007
Meski menuai pro-kontra, Departemen Pendidikan Nasional (Diknas) tetap akan melangsungkan ujian nasional yang terintegrasi dengan ujian sekolah (UNTUS) bagi sekolah dasar (SD), mulai tahun 2008. Secara yuridis, pelaksanaan UNTUS merupakan amanat PP No. 19 tahun 2005, tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Pada tahap awal, diknas baru akan mengujikan tiga mata pelajaran, yaitu matematika, IPA dan bahasa Indonesia.
Menariknya, standar kelulusan (SK) mata pelajaran UNTUS, yakni Matematika, IPA, dan Bahasa Indonesia, tidak dipatok pemerintah pusat. Tetapi, sepenuhnya diserahkan pada kebijakan masing-masing sekolah. Pemerintah pusat hanya membuat soal yang porsinya 40 persen, sementara sisanya (60 persen) diserahkan pada pemerintah daerah. Kriteria kelulusan ditetapkan melalui rapat dewan guru, dengan mempertimbangkan nilai minimum dan nilai rata-rata dari ketiga mata pelajaran yang diujikan. Selanjutnya, peserta akan diberi surat keterangan hasil UNTUS, yang diterbitkan sekolah. (Kompas, 09/11/2007).
Kebijakan UNTUS SD sejatinya bukan hal yang baru. Pasalnya, di Amerika dan Australia sudah menerapkan model evaluasi tersebut. Negara tersebut secara berkala melakukan evaluasi kelulusan setiap tiga tahun sekali. Targetnya, untuk mengetahui kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Singapura justru lebih konsisten menjaga standar nilai ujian kelulusan mulai tingkat SD sampai SMA. Hasilnya, negara ini terkenal dengan prestasi siswa yang gemilang sebagaimana terekam dalam The Third International Mathematics and Science Studies (TIMSS).
Memang pada akhirnya setiap sekolah akan berbeda dalam penentuan standar kelulusan. Meski demikian, hal ini justru menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengakomodir perbedaan kinerja setiap sekolah. Artinya, penetapan standar kelulusan tidak memberatkan sekolah yang unggul mutunya, maupun sekolah yang kebetulan bermutu rendah.
Harapannya, dari UNTUS ini akan dicapai kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran IPA, Matematika, dan Bahasa Indonesia. Selain itu, bakal mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan dasar yang kompeten dan bermutu.
Menariknya, standar kelulusan (SK) mata pelajaran UNTUS, yakni Matematika, IPA, dan Bahasa Indonesia, tidak dipatok pemerintah pusat. Tetapi, sepenuhnya diserahkan pada kebijakan masing-masing sekolah. Pemerintah pusat hanya membuat soal yang porsinya 40 persen, sementara sisanya (60 persen) diserahkan pada pemerintah daerah. Kriteria kelulusan ditetapkan melalui rapat dewan guru, dengan mempertimbangkan nilai minimum dan nilai rata-rata dari ketiga mata pelajaran yang diujikan. Selanjutnya, peserta akan diberi surat keterangan hasil UNTUS, yang diterbitkan sekolah. (Kompas, 09/11/2007).
Kebijakan UNTUS SD sejatinya bukan hal yang baru. Pasalnya, di Amerika dan Australia sudah menerapkan model evaluasi tersebut. Negara tersebut secara berkala melakukan evaluasi kelulusan setiap tiga tahun sekali. Targetnya, untuk mengetahui kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Singapura justru lebih konsisten menjaga standar nilai ujian kelulusan mulai tingkat SD sampai SMA. Hasilnya, negara ini terkenal dengan prestasi siswa yang gemilang sebagaimana terekam dalam The Third International Mathematics and Science Studies (TIMSS).
Memang pada akhirnya setiap sekolah akan berbeda dalam penentuan standar kelulusan. Meski demikian, hal ini justru menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengakomodir perbedaan kinerja setiap sekolah. Artinya, penetapan standar kelulusan tidak memberatkan sekolah yang unggul mutunya, maupun sekolah yang kebetulan bermutu rendah.
Harapannya, dari UNTUS ini akan dicapai kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran IPA, Matematika, dan Bahasa Indonesia. Selain itu, bakal mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan dasar yang kompeten dan bermutu.
Stop Perdebatan !
Kebijakan UNTUS tentu saja ditentang oleh sebagian kalangan. Umumnya, mereka mendasarkan pada beberapa alasan, di antaranya: (1) UNTUS bertentangan dengan nilai-nilai pedagogis, karena hanya menguji kognitif, sedangkan aspek lain (afektif dan psikomotorik) tidak diujikan sebagai penentu kelulusan, (2) dari aspek yuridis UNTUS SD telah melanggar beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, karena tidak melibatkan aspek proses pembelajaran, (3) dari aspek sosial dan psikologis, UNTUS bakal menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa.
Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UNTUS-kan di sekolah ataupun di rumah, dan (5) karena masih melekatnya tradisi lulus seratus persen—demi nama baik sekolah—maka banyak sekolah berusaha meluluskan semua peserta didiknya, tanpa menghiraukan hasil ujian nasional. Akibatnya, terjadilah manipulasi nilai yang dilakukan pihak penyelenggara UN maupun sekolah agar siswa bisa lulus.
Meski demikian, UNTUS juga memiliki beberapa kelebihan yang sangat relevan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan kita. Kelebihan-kelebihan tersebut di antaranya: (1) berdasarkan penelitian yang dilakukan Phelps (2001), Amrein & Berliner (2003) menunjukkan bahwa keberadaan ujian kelulusan meningkatkan prestasi akademik siswa untuk mata pelajaran yang diujikan, (2) bisa menjadi barometer analisis sejauh mana daya serap murid-murid SD terhadap isi kurikulum yang dipelajarinya selama enam tahun.
Selain itu, UNTUS juga merupakan alat guna mengukur ketercapaian standar kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan secara nasional, (3) tidak memberatkan, karena pada tahap uji coba ini baru mengujikan tiga mata pelajaran yaitu IPA, Matematika dan bahasa Indonesia, dan (4) hasil UNTUS bukan persyaratan untuk masuk SMP dan tingkat kesulitan soal lebih rendah dibandingkan yang sudah diajarkan di sekolah.
Sejatinya, jika pendidikan kita ingin kompetitif dalam percaturan global, UNTUS menjadi keniscayaan. Pasalnya, negara-negara seperti Amerika, Australia, Malaysia, dan Singapura sudah mentradisikan evalusai di level sekolah dasar. Sementara, jika strategi pendidikan yang diutamakan adalah berbasis kemajuan, maka UNTUS merupakan jalan keluarnya. Hasil UNTUS (standar kelulusan) tahun pertama, bisa digunakan sebagai dasar memperbaiki pendidikan untuk tahun kedua. Selanjutnya, UN tahun kedua untuk memperbaiki tahun berikutnya, demikian hingga hasil yang dicapai terus meningkat dan mengalami kemajuan.
Oleh karena itu, perdebatan seputar UNTUS tidak perlu diperpanjang. Bukan saja semakin memperkeruh suasana, tak urung perdebatan ini juga bakal menyita perhatian pemerintah untuk memikirkan kebijakan pasca UNTUS. Persoalan inilah yang sejatinya lebih urgen dan esensial.
Menurut penulis, agar pelaksanaan UNTUS bisa membuahkan hasil serta tidak memberatkan berbagai pihak, perlu dilakukan langkah-langkah strategis sebagai berikut: (1) pelaksanaan ujian ulang sebelum berakhirnya tahun ajaran agar siswa.
Harapannya, siswa yang gagal pada UN tahap pertama memiliki peluang untuk melanjutkan studi tanpa mengulang pada tahun berikutnya, (2) tersedianya program remedial bagi siswa yang gagal dengan dibiayai oleh pemerintah pusat/ daerah agar tidak membebani orang tua. Misalnya pemberdayaan program semacam paket A atau sejenisnya, (3) adanya keterpaduan antara kurikulum dan proses pembelajaran di sekolah dengan ujian kelulusan, dan (4) perlu ditanamkan paradigma bahwa tidak lulus UN bukan berarti dunia kiamat.
Artinya, dalam diri setiap peserta didik tumbuh kearifan untuk legowo menerima kenyataan bahwa kemampuannya belum memungkinkan untuk lulus UN tahun ini. Meski demikian, tidak lantas mengendorkan semangatnya untuk terus belajar sembari memperbaiki pola dan sistem belajarnya agar bisa lulus di UN tahun berikutnya.
Bagi sekolah, harus terjadi pergeseran tradisi lulus seratus persen. Bukan saja tradisi ini tidak sesuai dengan dimensi kelmuan yang kritis dan transparan, tetapi dari budaya ini sering muncul berbagai prilaku negatif seperti mark up nilai atau pemalsuan nilai, kerjasama antar siswa maupun guru dalam mengerjakan soal UN, suap pada pengawas, pada dinas terkait maupun penyelenggara UN.
Pada akhirnya, perlu kearifan semua pihak dalam menyikapi UN. Jangan sampai demi kepentingan pribadi atau kelompok, mengorbankan kepentingan pendidikan seluruh rakyat Indonesia. Kritik sebatas dialektis, membangun serta berkontribusi positif bagi pelaksanaan UN justru yang diharapkan. Sementara, ketidaksetujuan yang dimanifestasikan dengan tindakan anarkis, demo tidak beraturan dan sebagainya, justru akan memperkeruh suasana. Pada gilirannya, pelaksanaan UN menjadi terganggu. Jika demikian sudah pasti, putra-putri kita bakal menuai dampaknya [] Agus Wibowo, Pemerhati Pendidikan, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Kebijakan UNTUS tentu saja ditentang oleh sebagian kalangan. Umumnya, mereka mendasarkan pada beberapa alasan, di antaranya: (1) UNTUS bertentangan dengan nilai-nilai pedagogis, karena hanya menguji kognitif, sedangkan aspek lain (afektif dan psikomotorik) tidak diujikan sebagai penentu kelulusan, (2) dari aspek yuridis UNTUS SD telah melanggar beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, karena tidak melibatkan aspek proses pembelajaran, (3) dari aspek sosial dan psikologis, UNTUS bakal menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa.
Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UNTUS-kan di sekolah ataupun di rumah, dan (5) karena masih melekatnya tradisi lulus seratus persen—demi nama baik sekolah—maka banyak sekolah berusaha meluluskan semua peserta didiknya, tanpa menghiraukan hasil ujian nasional. Akibatnya, terjadilah manipulasi nilai yang dilakukan pihak penyelenggara UN maupun sekolah agar siswa bisa lulus.
Meski demikian, UNTUS juga memiliki beberapa kelebihan yang sangat relevan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan kita. Kelebihan-kelebihan tersebut di antaranya: (1) berdasarkan penelitian yang dilakukan Phelps (2001), Amrein & Berliner (2003) menunjukkan bahwa keberadaan ujian kelulusan meningkatkan prestasi akademik siswa untuk mata pelajaran yang diujikan, (2) bisa menjadi barometer analisis sejauh mana daya serap murid-murid SD terhadap isi kurikulum yang dipelajarinya selama enam tahun.
Selain itu, UNTUS juga merupakan alat guna mengukur ketercapaian standar kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan secara nasional, (3) tidak memberatkan, karena pada tahap uji coba ini baru mengujikan tiga mata pelajaran yaitu IPA, Matematika dan bahasa Indonesia, dan (4) hasil UNTUS bukan persyaratan untuk masuk SMP dan tingkat kesulitan soal lebih rendah dibandingkan yang sudah diajarkan di sekolah.
Sejatinya, jika pendidikan kita ingin kompetitif dalam percaturan global, UNTUS menjadi keniscayaan. Pasalnya, negara-negara seperti Amerika, Australia, Malaysia, dan Singapura sudah mentradisikan evalusai di level sekolah dasar. Sementara, jika strategi pendidikan yang diutamakan adalah berbasis kemajuan, maka UNTUS merupakan jalan keluarnya. Hasil UNTUS (standar kelulusan) tahun pertama, bisa digunakan sebagai dasar memperbaiki pendidikan untuk tahun kedua. Selanjutnya, UN tahun kedua untuk memperbaiki tahun berikutnya, demikian hingga hasil yang dicapai terus meningkat dan mengalami kemajuan.
Oleh karena itu, perdebatan seputar UNTUS tidak perlu diperpanjang. Bukan saja semakin memperkeruh suasana, tak urung perdebatan ini juga bakal menyita perhatian pemerintah untuk memikirkan kebijakan pasca UNTUS. Persoalan inilah yang sejatinya lebih urgen dan esensial.
Menurut penulis, agar pelaksanaan UNTUS bisa membuahkan hasil serta tidak memberatkan berbagai pihak, perlu dilakukan langkah-langkah strategis sebagai berikut: (1) pelaksanaan ujian ulang sebelum berakhirnya tahun ajaran agar siswa.
Harapannya, siswa yang gagal pada UN tahap pertama memiliki peluang untuk melanjutkan studi tanpa mengulang pada tahun berikutnya, (2) tersedianya program remedial bagi siswa yang gagal dengan dibiayai oleh pemerintah pusat/ daerah agar tidak membebani orang tua. Misalnya pemberdayaan program semacam paket A atau sejenisnya, (3) adanya keterpaduan antara kurikulum dan proses pembelajaran di sekolah dengan ujian kelulusan, dan (4) perlu ditanamkan paradigma bahwa tidak lulus UN bukan berarti dunia kiamat.
Artinya, dalam diri setiap peserta didik tumbuh kearifan untuk legowo menerima kenyataan bahwa kemampuannya belum memungkinkan untuk lulus UN tahun ini. Meski demikian, tidak lantas mengendorkan semangatnya untuk terus belajar sembari memperbaiki pola dan sistem belajarnya agar bisa lulus di UN tahun berikutnya.
Bagi sekolah, harus terjadi pergeseran tradisi lulus seratus persen. Bukan saja tradisi ini tidak sesuai dengan dimensi kelmuan yang kritis dan transparan, tetapi dari budaya ini sering muncul berbagai prilaku negatif seperti mark up nilai atau pemalsuan nilai, kerjasama antar siswa maupun guru dalam mengerjakan soal UN, suap pada pengawas, pada dinas terkait maupun penyelenggara UN.
Pada akhirnya, perlu kearifan semua pihak dalam menyikapi UN. Jangan sampai demi kepentingan pribadi atau kelompok, mengorbankan kepentingan pendidikan seluruh rakyat Indonesia. Kritik sebatas dialektis, membangun serta berkontribusi positif bagi pelaksanaan UN justru yang diharapkan. Sementara, ketidaksetujuan yang dimanifestasikan dengan tindakan anarkis, demo tidak beraturan dan sebagainya, justru akan memperkeruh suasana. Pada gilirannya, pelaksanaan UN menjadi terganggu. Jika demikian sudah pasti, putra-putri kita bakal menuai dampaknya [] Agus Wibowo, Pemerhati Pendidikan, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar