Langsung ke konten utama

Di Muat Kalimantan Timur Post

Selasa, 25 September 2007
Sisi Positif Bantuan Asing
Oleh: Agus Wibowo*)
Indonesia akan mendapat bantuan 30 juta dollar dari Australia guna program konservasi hutan di Kalimantan. Kabar menggembirakan ini dilontarkan Australia dalam ajang pertemuan APEC yang digelar di Sydney beberapa waktu lalu (8-9 September 2007).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mendapat kado sebuah pohon pinus wollemi dari Menlu Alexander Downer yang juga merayakan ultah ke-56 pada 9 September itu. Pohon yang sudah ada sejak 200 juta tahun lalu itu adalah simbol konservasi alam di Australia. Harapan Downer, bantuan Australia akan memperbaiki hutan Kalimantan, sebagai bagian dari menekan emisi CO2 (carbon dioksida) sehingga suhu bumi tidak makin memanas.
Tidak hanya Australia, pemerintah Amerika Serikat lewat Presiden Bus juga bermaksud memberikan 20 juta dollar AS kepada Indonesia. Dana tersebut sengaja disisihkan dari pajak warga AS sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap negara-negara yang memiliki kawasan hutan. Masyarakat internasional menyadari betul bahwa keberadaan hutan di daerah seputar katulistiwa (daerah tropis), memiliki peran signifikan bagi kehidupan mereka. Hutan-hutan tersebut berperan layaknya paru-paru dunia terakhir, setelah hilangnya kawasan hutan di sebagian benua Asia, Amerika dan Eropa.
Sementara itu, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengatakan pihaknya akan berupaya memperoleh pendanaan hutan konservasi senilai 370 juta dolar AS. Hitungan potensi 370 juta dolar AS per tahun tersebut diperoleh dari “harga” rata-rata 10 dolar AS per hektar hutan konservasi dalam kondisi baik, yang diharapkan “dibeli” komunitas internasional terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Hutan dalam kondisi baik di seluruh Indonesia dalam data KLH seluas 37 juta hektar.
Solidaritas dunia internasional tersebut patut disambut positif. Setidaknya negeri ini sedikit terbantu dari segi dana guna memelihara kelestarian hutan. Seperti kita ketahui, selama ini alokasi dana untuk program konservasi hutan yang meliputi penanaman/penghijauan (reboisasi), perawatan, dan keamanan sangat minim. Menurut data Kompas (20/9/2007) anggaran untuk konservasi hutan kita hanya hanya 0,9 persen dari total APBN. Anggaran ini jauh di bawah China yang menganggarkan pengelolaan lingkungan mencapai 6 persen atau Vietnam yang 5 persen dari APBN mereka (Andika Hadinata, 2007).
Kita tentunya kesulitan membayangkan berapa gaji yang diterima aparat kehutanan dari alokasi dana yang sangat sedikit tersebut. Selama ini jika terjadi berbagai kasus pembalakan liar maupun tindak perusakan hutan lainnya, kita selalu saja menyalahkan kinerja aparat kehutanan, tanpa melihat persoalan secara jernih. Kita lupa bahwa ada mekanisme sistem yang mengatur mereka, di mana pemerintah bertanggung jawab di belakang buruknya sistem tersebut.
Minimnya upah yang dibarengi dengan rendahnya tingkat kesejahteraan aparat kehutanan, sangat tidak sebanding dengan komintemn dan tanggungjawab yang harus mereka emban. Tidak heran jika maraknya pembalakan liar (illegal logging), lebih banyak disebabkan kong-kalikongnya aparat kehutanan dengan para cukong kayu. Menurut Greenpeace, 70 persen hutan kita sudah musnah lantaran pembalakan liar tersebut. Sementara menurut sebuah penelitian, dari 1.200,35 juta hektar hutan Indonesia pada tahun 1999, kerusakannya mencapai sekitar 101,73 hektare, termasuk di dalamnya hutan konservasi dan lindung
Memang besarnya kecilnya anggaran bukan tolok ukur satu-satunya untuk mengetahui tinggi rendahnya komitmen lingkungan. Banyak penduduk asli dengan kearifan lokalnya atau orang biasa yang tak berharta dan tak pernah terekspos media diam-diam malah berkarya nyata menjaga lingkungan. Oleh karena itu, minimnya anggaran dan rendahnya kesejahteraan tidak dijadikan satu-satunya alasan bagi aparat kehutanan untuk mengesampingkan komitmen serta amanah yang dibebankan kepada mereka. Bukankah dengan merawat alam dengan setulus hati, setidaknya kita mewariskan umur kehidupan yang panjang bagi anak cucu dan keturunan kita ?
Sindiran Telak
Pemberian bantuan oleh pihak asing—baik Australia maupun Amerika, di satu sisi layaknya sindiran telak bagi bangsa ini. Secara tidak langsung masyarakat internasional memandang bangsa ini tidak becus merawat hutannya, hingga mereka turut merasakan getahnya. Di sisi lain, istilah bantuan dana selalu berkonotasi dengan ketidakmampuan finansial, kemiskinan atau kemlaratan. Ya, bangsa ini dianggap miskin/melarat oleh masyarakat dunia, karena tidak mampu menyisihkan dana untuk melestarikan hutan. Lebih ironis lagi jika dana bantuan ini masih dikorupsi oleh aparat pemerintah, sungguh apa komentar dunia ?
Meski demikian, kita patut berhati-hati terhadap bantuan Australia dan Amerika tersebut. Kita sudah sangat paham karekter Amerika dan Australia, selalu memiliki tujuan atau misi tersembunyi (goal hidden) di balik pemberian berbagai bantuan—termasuk bantuan konservasi hutan Kalimantan ini. Menurut penulis goal hidden Amerika tersebut diantaranya : Pertama, terkait dengan upaya memperbaiki citra politik luar negeri mereka. Kita tahu bahwa kebijakan perang atas terorisme dengan menginvasi—bisa dibilang menjajah—Irak dan Afganistan sempat mencoreng nama Amerika (dan Australia) di mata dunia internasional. Bahkan Konggres Amerika mengkritik habis-habisan kebijakan Presiden Bush yang dianggap menyengsarakan pasukan Amerika dan rakyat yang dijajahnya.
Kedua, Amerika sangat berkepentingan akan kualitas lingkungan hidup mereka yang kian memburuk akibat tingkat emisi yang dihasilkan dunia industri di sana. Secara tidak langsung Amerika ingin bertanggungjawab atas pemanasan global yang menyergap bumi kita. Semenjak tahun 1928—ketika dimulainya penggunaan CFC (chlorofluorocarbons) dalam bidang industri—Amerika telah memulai proses perusakan lapisan ozon (O3) sebagai pelindung kehidupan di alam ini. Ini dibuktikan oleh Mario Molina pada tahun 1974 Paul Crutzen, dan FS Rowland, peraih Nobel Kimia 1995. Melalui Teori Pengosongan Ozon-CFC, mereka membuktikan bahwa telah ada akumulasi CFC di lapisan ozon bumi.
Tanpa mengesampingkan kehati-hatian kita, bantuan-bantuan asing tersebut di satu sisi patut disyukuri. Tingkat kesadaran negara-negara maju akan lingkungan, seperti pemanasan bumi, sudah lebih tinggi sehingga soal uang untuk pelestarian hutan di negara-negara tropis seperti Indonesia bukan menjadi masalah lagi. Kita mesti menerima kenyataan menjadi bangsa penerima bantuan—bukan berarti bangsa melarat ? Pemerintah patut mengelola dana bantuan tersebut, melalui mekanisme akuntabilitas yang bersih dan jelas. Bantuan tersebut mesti tepat sasaran pada program-program yang sangat urgen dan mendesak seperti upaya reboisasi, peningkatan kesejahteraan aparat kehutanan, dan upaya penegakan hukun bagi para cukong illegal logging maupun para perusak hutan. Akuntabilitas yang transparan terhadap dana bantuan asing—bebas dari KKN, pada gilirannya akan menumbuhkan kepercayaan dan kegairahan pihak asing untuk kembali memberi berbagai bantuan pada bangsa ini. Seraya introspeksi diri, harus kita akui bangsa ini memang miskin dan patut dikasihani.[]
*) Pemerhati Lingkungan, sedang menempuh studi di Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera