Dimuat Koran Banjarmasin Post
03/08/2007
Kemiskinan merupakan kenyataan Data Bank Dunia November 2006 menyebut kemiskinan di Indonesia 149 juta jiwa (49 persen) dari total penduduk Indonesia 200 juta jiwa. Data Susenas 2006 membuktikan tahun 2005 angka kemiskinan mencapai 35,10 juta (15,97 persen), meningkat menjadi 39,05 juta atau 17,75 persen (2006). Yang tidak bisa dipungkiri. Agenda reformasi yang diharapkan menjadi pendulum pengentasan kemiskinan, justru semakin menambah kuota kaum miskin. Bergulirnya kebijakan yang tidak proporsional, pada gilirannya menghilangkan sentra lapangan kerja yang berimbas pada melonjaknya angka pengangguran.
Tidak bisa dinafikan, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, dan sebagian besar merupakan anggota kaum miskin. Pada titik ini patut dipertanyakan fungsi esensial agama Islam sebagai elan pembebasan sekaligus rahmatan lil alamin. Islam belum mampu menampakkan jati dirinya, atau mungkin justru tertutup umatnya yang tidak mau membuka diri (close thingking).
Ide-ide jenius Islam baru dalam tataran kognitif, abstrak, cenderung mistis dan sebatas menjadi wacana yang diperbincangkan dalam pelbagai forum, tetapi kering untuk tidak mengatakan tidak ada aksi nyata dalam kehidupan.
Stop Perpecahan!
Sampai detik ini, masih terdengar silang-sengketa di kalangan umat Islam terkait siapa yang paling benar. Sejatinya, sengketa ini hanya menguras energi kita dan memalingkan pada substansi yang mesti dihadapi umat Islam seperti pengembangan demokrasi, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, pengembangan pendidikan, serta penanganan bencana dan kemiskinan.
Apa yang menjadi buah pemikiran KHA Dahlan yang diteruskan Syafi’i Maarif lewat Muhammadiyah-nya, mestinya menjadi ‘kaca benggala’ bagi golongan atau ormas Islam lain untuk bersatu padu melawan musuh bersama (come enemy), yaitu kemiskinan. Setidaknya Muhammadiyah lewat berbagai amal usahanya, selangkah lebih maju menjadikan umat Islam disegani dan berwibawa dalam setiap jengkal kehidupan
Substansi Islam sebagai elan perubahan yang disimbolkan dengan hijrah Nabi Muhammad SAW, mesti terus digali lewat kreativitas-kreativitas yang senantiasa bersentuhan dengan seluruh aspek kehidupan. Bukankah Islam sendiri mengajarkan bahwa umatnya yang mau ber-ijtihad, meskipun salah bakal mendapat satu pahala?
Sudah saatnya tafsir semangat Islam sebagai theologi pembebasan yang selama ini di menara gading, membumi dengan umatnya. Dengan kata lain, melakukan transformasi pemahaman keagamaan dari sekadar doktrin-doktrin sakral dan "kurang berbunyi" secara sosial menjadi kerja sama untuk pembebasan manusia dari tingkat elite hingga menyentuh lapisan bawah.
Sudah waktunya setiap ibadah bernilai sosial bukan individual. Dengan kata lain, dimensi vertikal mesti membawa dimensi horisontal. Misalnya ibadah haji, mestinya tidak lagi dipandang sebagai aspek prafon-individual, tetapi membawa kemaslahatan bagi masyarakat di sekitarnya. Atau, tidak sebatas memperkuat dimensi kesalehan individual sebagai bentuk personal piety, tetapi juga digerakkan menjadi theologi kerja yang berpihak kepada kaum mustad’afin, berperspektif social piety (Zuly Qodir, 2007).
Sebagaimana pendapat Prof Suyanto Phd bahwa orang yang berhaji lebih dari dua kali, sementara mengabaikan lingkungan dan bangsanya yang dilanda kemiskinan, tak lebih orang yang egois. Ironisnya, umat Islam justru semakin giat berlomba-lomba menambah jumlah hajinya tanpa memikirkan lingkungan sosialnya. Gelar haji seakan menjadi penanda status feodal baru. Padahal, Nabi Muhammad sendiri tidak memakai gelar haji?
Memajukan Pendidikan
Menurut Islam, kemiskinan bertalian erat dengan kebodohan. Sementara kebodohan menjerumuskan pada fundamentalisme dan kekhufuran. Jika demikian halnya, mengapa umat Islam Indonesia masih enjoy dalam lembah kemiskinan dan kekhufuran?
Banyak peneliti sosial menyatakan, jeratan kemiskinan bakal membawa dampak adanya fundamentalisme agama. Sebab, mayoritas umat memandang proses politik dan kebijakan negara yang tak adil atas umat Islam sehingga melahirkan radikalisasi atas kebijakan negara.
Lantaran kebodohan pula umat menjadi merasa paling benar, sementara umat lain salah, hilang semangat pluralisme, inklusif dan tanpa sadar menjadi kaki tangan atau jaringan teroris.
Saatnya umat Islam bangkit mengusir kemiskinan, dengan meningkatkan kualitas pendidikan sebagai strategi pemberantasan kemiskinan jangka panjang dan pembangunan berkelanjutan. Ketergantungan terhadap sektor pendidikan pemerintah (negeri), sedikit demi sedikit dikurangi dengan penghidupan sentra ruang ibadah sosial (zakat, sodakoh dan sebagainya). Bagi kaum berada, ditumbuhkan kesadaran sekaligus semangat menjadi orangtua asuh bagi putra-putri saudara muslim yang tengah dilanda kemiskinan.
Para pemuka Islam yang kebetulan duduk di pemerintahan, mesti memanfaatkan amanah bukan hanya untuk dirinnya dan keluarganya saja. Tetapi mesti mentauladani Nabi Muhammad SAW yang menempatkan ‘tahta’ bagi umatnya. Umat Islam Indonesia butuh pemimpin-pemimpin sekaliber khalifah Umar bin Kattab, yang rela berlapar-lapar hanya untuk mengetahui kondisi rakyatnya.
Sudah saatnya umat Islam bersatu padu merekatkan solidaritas dan jalinan ukhuwah islamiyah, melalui tindakan praksis, simultan dan berkelanjutan. Umat Islam tidak butuh da’i atau tokoh agama yang hanya mementingkan dirinya sendiri, serta menjual agama demi nafsu keserakahannya. Tetapi, yang dibutuhkan adalah pemimpin yang tanggap terhadap penderitaan, kesedihan dan kegundahan umatnya.
Agus Wibowo
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
03/08/2007
Kemiskinan merupakan kenyataan Data Bank Dunia November 2006 menyebut kemiskinan di Indonesia 149 juta jiwa (49 persen) dari total penduduk Indonesia 200 juta jiwa. Data Susenas 2006 membuktikan tahun 2005 angka kemiskinan mencapai 35,10 juta (15,97 persen), meningkat menjadi 39,05 juta atau 17,75 persen (2006). Yang tidak bisa dipungkiri. Agenda reformasi yang diharapkan menjadi pendulum pengentasan kemiskinan, justru semakin menambah kuota kaum miskin. Bergulirnya kebijakan yang tidak proporsional, pada gilirannya menghilangkan sentra lapangan kerja yang berimbas pada melonjaknya angka pengangguran.
Tidak bisa dinafikan, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, dan sebagian besar merupakan anggota kaum miskin. Pada titik ini patut dipertanyakan fungsi esensial agama Islam sebagai elan pembebasan sekaligus rahmatan lil alamin. Islam belum mampu menampakkan jati dirinya, atau mungkin justru tertutup umatnya yang tidak mau membuka diri (close thingking).
Ide-ide jenius Islam baru dalam tataran kognitif, abstrak, cenderung mistis dan sebatas menjadi wacana yang diperbincangkan dalam pelbagai forum, tetapi kering untuk tidak mengatakan tidak ada aksi nyata dalam kehidupan.
Stop Perpecahan!
Sampai detik ini, masih terdengar silang-sengketa di kalangan umat Islam terkait siapa yang paling benar. Sejatinya, sengketa ini hanya menguras energi kita dan memalingkan pada substansi yang mesti dihadapi umat Islam seperti pengembangan demokrasi, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, pengembangan pendidikan, serta penanganan bencana dan kemiskinan.
Apa yang menjadi buah pemikiran KHA Dahlan yang diteruskan Syafi’i Maarif lewat Muhammadiyah-nya, mestinya menjadi ‘kaca benggala’ bagi golongan atau ormas Islam lain untuk bersatu padu melawan musuh bersama (come enemy), yaitu kemiskinan. Setidaknya Muhammadiyah lewat berbagai amal usahanya, selangkah lebih maju menjadikan umat Islam disegani dan berwibawa dalam setiap jengkal kehidupan
Substansi Islam sebagai elan perubahan yang disimbolkan dengan hijrah Nabi Muhammad SAW, mesti terus digali lewat kreativitas-kreativitas yang senantiasa bersentuhan dengan seluruh aspek kehidupan. Bukankah Islam sendiri mengajarkan bahwa umatnya yang mau ber-ijtihad, meskipun salah bakal mendapat satu pahala?
Sudah saatnya tafsir semangat Islam sebagai theologi pembebasan yang selama ini di menara gading, membumi dengan umatnya. Dengan kata lain, melakukan transformasi pemahaman keagamaan dari sekadar doktrin-doktrin sakral dan "kurang berbunyi" secara sosial menjadi kerja sama untuk pembebasan manusia dari tingkat elite hingga menyentuh lapisan bawah.
Sudah waktunya setiap ibadah bernilai sosial bukan individual. Dengan kata lain, dimensi vertikal mesti membawa dimensi horisontal. Misalnya ibadah haji, mestinya tidak lagi dipandang sebagai aspek prafon-individual, tetapi membawa kemaslahatan bagi masyarakat di sekitarnya. Atau, tidak sebatas memperkuat dimensi kesalehan individual sebagai bentuk personal piety, tetapi juga digerakkan menjadi theologi kerja yang berpihak kepada kaum mustad’afin, berperspektif social piety (Zuly Qodir, 2007).
Sebagaimana pendapat Prof Suyanto Phd bahwa orang yang berhaji lebih dari dua kali, sementara mengabaikan lingkungan dan bangsanya yang dilanda kemiskinan, tak lebih orang yang egois. Ironisnya, umat Islam justru semakin giat berlomba-lomba menambah jumlah hajinya tanpa memikirkan lingkungan sosialnya. Gelar haji seakan menjadi penanda status feodal baru. Padahal, Nabi Muhammad sendiri tidak memakai gelar haji?
Memajukan Pendidikan
Menurut Islam, kemiskinan bertalian erat dengan kebodohan. Sementara kebodohan menjerumuskan pada fundamentalisme dan kekhufuran. Jika demikian halnya, mengapa umat Islam Indonesia masih enjoy dalam lembah kemiskinan dan kekhufuran?
Banyak peneliti sosial menyatakan, jeratan kemiskinan bakal membawa dampak adanya fundamentalisme agama. Sebab, mayoritas umat memandang proses politik dan kebijakan negara yang tak adil atas umat Islam sehingga melahirkan radikalisasi atas kebijakan negara.
Lantaran kebodohan pula umat menjadi merasa paling benar, sementara umat lain salah, hilang semangat pluralisme, inklusif dan tanpa sadar menjadi kaki tangan atau jaringan teroris.
Saatnya umat Islam bangkit mengusir kemiskinan, dengan meningkatkan kualitas pendidikan sebagai strategi pemberantasan kemiskinan jangka panjang dan pembangunan berkelanjutan. Ketergantungan terhadap sektor pendidikan pemerintah (negeri), sedikit demi sedikit dikurangi dengan penghidupan sentra ruang ibadah sosial (zakat, sodakoh dan sebagainya). Bagi kaum berada, ditumbuhkan kesadaran sekaligus semangat menjadi orangtua asuh bagi putra-putri saudara muslim yang tengah dilanda kemiskinan.
Para pemuka Islam yang kebetulan duduk di pemerintahan, mesti memanfaatkan amanah bukan hanya untuk dirinnya dan keluarganya saja. Tetapi mesti mentauladani Nabi Muhammad SAW yang menempatkan ‘tahta’ bagi umatnya. Umat Islam Indonesia butuh pemimpin-pemimpin sekaliber khalifah Umar bin Kattab, yang rela berlapar-lapar hanya untuk mengetahui kondisi rakyatnya.
Sudah saatnya umat Islam bersatu padu merekatkan solidaritas dan jalinan ukhuwah islamiyah, melalui tindakan praksis, simultan dan berkelanjutan. Umat Islam tidak butuh da’i atau tokoh agama yang hanya mementingkan dirinya sendiri, serta menjual agama demi nafsu keserakahannya. Tetapi, yang dibutuhkan adalah pemimpin yang tanggap terhadap penderitaan, kesedihan dan kegundahan umatnya.
Agus Wibowo
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar