Langsung ke konten utama

Orangtua Suka Menindas

Dimuat Harian Suara Karya
Rabu, 4 Juli 2007

Setiap awal tahun ajaran baru, orangtua kini disibukkan oleh "perburuan" sekolah-sekolah bermutu. Dalam benak orang tua sudah tersimpan rencana ideal yang akan diterapkan pada anak-anaknya di masa depan. Akibatnya, anak tak memiliki kebebasan untuk memilih atau menentukan masa depannya sendiri.

Orangtua selalu berkeinginan agar anaknya menjadi "be special" ketimbang "be average" atau menjadi rata-rata saja. Keinginan itu memang tidak salah. Hanya saja kita mesti ingat bahwa setiap anak dilahirkan dengan sifat dan ciri khasnya masing-masing.

Tanpa sadar, orang tua mengubah dirinya menjadi monster mengerikan, yang siap merebut dan mencabik-cabik imajinasi, ruang batin dan cita-cita anak. Anak bakal merasakan dampak kekerasan-- walau dalam bentuk halus-- orangtua terhadapnya.

Trauma psikologis itu bukan hanya mempengaruhi minat, motivasi serta keinginan anak ketika sedang menempuh pendidikan, tetapi eksesnya akan terus membayangi kehidupan anak hingga dewasa. Berbagai kasus yang terjadi pada anak yang menuruti ego orangtua, memperlihatkan bagaimana pengaruh tekanan dini pada anak menyebabkan berbagai gangguan kepribadian dan emosi pada anak.

Anak-anak yang digagas menuruti ego orangtua, dan dipaksa mengikuti beragam kegiatan, seperti kegiatan mental aritmatik, sempoa, renang, basket, balet, dan banyak lagi lainnya, tumbuh menjadi anak-anak super atau superkids. Mereka memang memiliki kelebihan keterampilan yang mumpuni, dibandingkan dengan anak-anak lain yang tidak memiliki kesempatan mengikuti aneka kegiatan semacam itu.

Tetapi, menurut Neil Postman (1980) seorang sosiolog Amerika, meramalkan bahwa anak-anak model superkids, ketika dewasa akan menjadi orang dewasa yang kekanak-kanakan, karena mereka telah tercabut dari masa kanak-kanaknya.

Elkind (1989) setidaknya mengelompokkan berberapa tipe orang tua dalam pengasuhan. Disebutkan, pertama, gaya gourmet parents atau orangtua yang mengasuh anaknya penuh ambisi, layaknya merawat karir dan harta mereka. Asupan dan didikan orangtua tipe itu akan melahirkan anak-anak model "superkids" (Dewi Utama Faizah, 2007).

Kedua, tipe college degree parents atau orangtua intelek, yang sangat mengutamakan pendidikan anaknya. Mereka sering memaksakan keinginannya agar anaknya memasuki sekolah yang mahal dan bermutu.

Ketiga, tipe gold medal parents atau orangtua selebritis, yang menginginkan anak-anaknya menjadi kompetitor dalam berbagai gelanggang. Sang anak diikutkan pada berbagai kompetisi dan lomba. Banyak kasus yang mengenaskan menimpa diri pada anak akibat perilaku ambisi kelompok Gold Medal Parents tersebut.

Salah satu kasus "bintang cilik" Yoan Tanamal yang mengalami tekanan hidup dari dunia glamour masa kanak-kanaknya, kemudian tumbuh sebagai pengguna dan pengedar narkoba. Pada akhirnya menjadi penghuni penjara. Atau bintang cilik dunia, Heintje yang setelah dewasa hanya menjadi pasien dokter jiwa. Tipe gold medal parents itu justru menimbulkan banyak bencana pada anak-anak mereka.

Keempat, tipe do-it yourself parents, yang mengasuh anak-anaknya secara alami dan menyatu dengan semesta. Hal itu lantaran profesi mereka di bidang sosial dan kesehatan. Mereka akan menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri yang sesuai dengan keuangan mereka.

Walaupun begitu, mereka juga bermimpi untuk menjadikan anak-anaknya "superkids". Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak diajak mencintai lingkungan dengan mengajarkan pada mereka untuk merawat dan memelihara hewan atau tumbuhan yang mereka sukai.

Kelima, tipe outward bound parents atau orangtua paranoid, yang memprioritaskan pendidikan untuk kenyamanan dan keselamatan kepada anak-anaknya. Tujuannya sederhana, agar anak-anak kelak dapat bertahan di dunia yang penuh dengan permusuhan.

Jika menyekolahkan anak-anaknya, mereka lebih memilih sekolah yang nyaman dan tidak melewati tempat-tempat tawuran yang berbahaya. Kejelekan orang tua tipe itu, mereka terlalu berlebihan dalam melihat bahaya di luar rumah, mudah panik dan ketakutan melihat situasi yang akan membawa dampak buruk terhadap anaknya.

Keenam, tipe prodigy parents atau orangtua instan, yang merupakan orangtua yang sukses dalam karier, tetapi tidak memiliki pendidikan yang cukup. Oleh karena itu, mereka memandang kesuksesan di dunia bisnis merupakan bakat semata dan memandang sekolah dengan sebelah mata. Sekolah merupakan kekuatan yang akan menumpulkan kemampuan anak-anaknya.

Ketujuh, tipe encounter group parents atau orangtua ngerumpi. Orangtua yang sangat menyenangi pergaulan. Mereka terkadang cukup berpendidikan, namun kekurangan harta atau terkadang tidak memiliki pekerjaan tetap (luntang-lantung).

Mereka sangat mementingkan nilai-nilai relationship dalam membina hubungan dengan orang lain. Kelompok itu sering melakukan ketidakpatutan dalam mendidik anak-anaknya.

Kedelapan, tipe milk and cookies parents atau orangtua ideal, merupakan kelompok orangtua dengan latar belakang masa kanak-kanak yang bahagia, sehat dan manis. Mereka cenderung menjadi orangtua yang hangat dan menyayangi anak-anaknya dengan tulus. Mereka juga sangat peduli dan mengiringi tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh dukungan.

Nampaknya, dari tipe-tipe orangtua dalam mendidik anak di atas, hanya tipe terkhir yang menurut penulis cocok dengan karakteristik dan sifat khas anak. Kelompok itu tidak berpeluang menjadi orangtua yang melakukan "mis-education" dalam merawat dan mengasuh anak-anaknya.

Mereka akan memberikan lingkungan yang nyaman kepada anak-anaknya dengan penuh perhatian, dan tumpahan cinta kasih yang tulus sebagai orangtua.

Mereka percaya bahwa anak sendirilah yang akan menemukan sendiri kekuatan di dirinya. Bagi mereka setiap anak adalah benar-benar seorang anak yang hebat dengan kekuatan potensi yang juga berbeda dan unik. Bagaimana dengan Anda, termasuk tipe mana?***

Agus Wibowo
Penulis adalah mahasiswa program pascasarjana,
Universitas Negeri Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten