Rabu, 08 Agustus 2007 20:04
Kemitraan dan Solidaritas ASEAN
oleh: Agus Wibowo
TANGGAL 8 Agustus 2007 kemarin, ASEAN genap berusia 40 tahun. Mestinya, di usia yang sudah cukup matang, ASEAN mampu mewujudkan kerjasama bilateral yang menguntungkan anggotanya. Setidaknya itulah harapan yang disandarkan pada ulang tahun ke-40 ini.
Mengapa demikian? Karena kawasan ASEAN dengan penduduk sekitar 580 juta ini merupakan pasar potensial yang menjadi incaran para investor dunia untuk memasarkan produk dan ekspansinya. Kita bisa melihat betapa produk Jepang, China, Korea Selatan, dan India kini menyerbu Asia Tenggara.
Di era globalisasi ini perekatan kemitraan dan solidaritas anggota ASEAN menjadi sebuah keniscayaan. Tidak bisa dimungkiri bahwa globalisasi telah menjadi fenomena dan sepertinya tidak ada satu pun negara-bangsa yang mampu mengelakkannya.
Kemajuan sains dan teknologi, khususnya di bidang informasi dan telekomunikasi dan beroperasinya institusi-institusi internasional seperti IMF dan Bank Dunia serta mekanisme pasar bebas dengan organisasi perdagangan dunianya telah mendorong globalisasi secara masif dan ekstensif ke berbagai penjuru dunia.
Dalam konteks globalisasi, hegemoni negara-negara adikuasa semakin terasa menghimpit negara berkembang, dan menempatkannya pada posisi tidak menguntungkan.
Demikian halnya dengan negara-negara di kawasan ASEAN. Samir Amin (1997) setidaknya mencatat lima bentuk monopoli tersebut, yaitu: (1) monopoli di bidang teknologi; (2) kontrol finansial terhadap pasar-pasar keuangan seluruh dunia; (3) monopoli akses terhadap sumber daya alam; (4) monopoli media dan komunikasi; dan (5) monopoli senjata pemusnah massal. Lima bentuk monopoli ini, yang diambil semuanya, menentukan kerangka kerja di dalam hukum dari beroperasinya nilai yang diglobalisasikan.
Sejatinya globalisasi itu tidak memiliki muatan yang berharga bagi negara-negara yang sedang berkembang. Lalu siapa yang begitu sering mengambil keuntungan-keuntungan dari globalisasi yang telah menimbulkan ketidakseimbangan tersebut? Bagi mereka, para penganjur globalisasi, maka globalisasi (yang secara tipikal diasosiasikan dengan penerimaan kapitalisme yang unggul, gaya Amerika) adalah sebuah kemajuan; dan negara-negara yang sedang berkembang harus menerimanya, jika mereka ingin tumbuh dan memerangi kemiskinan secara efektif.
Tetapi bagi banyak dunia yang sedang berkembang, globalisasi itu tidak membawa keuntungan-keuntungan ekonomi yang dijanjikan (Joseph Stiglitz, 2002).
Kenyataan globalisasi ini jika tidak ditangkap secara arif oleh ASEAN, bisa meruntuhkan bangun kemitraan dan solidaritas yang telah terbangun selama ini. Memang dalam perkembangannya, ASEAN telah membentuk mekanisme ASEAN Plus Three bersama China, Jepang, dan Korea Selatan; East Asia Summit (EAS); hingga memiliki 11 mitra wicara, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, Jepang, China, yang merupakan pemain-pemain besar. Setidaknya dengan jalinan yang erat tersebut, ASEAN mampu menangkal Hegemoni globalisasi atasnya.
Pengentasan Kemiskinan
Terbentuknya Forum Regional ASEAN (ARF) menjadi bukti bahwa ASEAN berperan penting di dunia internasional, yang menempatkan dirinya sebagai driving seat dalam proses regional. Artinya, selama 40 tahun, ASEAN bukan hanya mampu bertahan, tetapi terus berkembang sebagai organisasi regional yang makin efektif. Di antara anggota juga tak pernah terjadi perang, menjadi bukti keberhasilan stabilitas politik,
keamanan, dan sosial (Faustinus Andrea, 2007).
Langkah ASEAN mendirikan Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) dalam KTT ASEAN Ke-12 di Cebu, Filipina, Januari 2007, sejatinya merupakan ide kreatif guna mensikapi persaingan ekonomi dari India dan China. Selain itu pembentukan AEC dianggap merupakan keharusan guna melindungi kepentingan bersama sejumlah negara di kawasan tertentu, dan upaya untuk mempertegas arah ASEAN, yang telah diwujudkan dengan pertemuan tingkat tinggi di Bali, Oktober 2003, dengan menghasilkan Bali Concord II.
Dalam konteks ekonomi, diwujudkan konsep AEC yang berupaya membangun kerja sama perdagangan, investasi, dan meningkatkan mobilitas aktivitas ekonomi, yang meliputi sektor elektronik, pariwisata, otomotif, tekstil, perikanan, pertanian, teknologi informasi, teknologi kesehatan, dan usaha berbahan dasar kayu.
Pekerjaan pelik ASEAN saat ini adalah terkait perannya yang harus mampu menjembatani perbedaan esensial dan konflik internal yang melanda anggotanya. Problem hubungan Indonesia dan Singapura yang memuncak dengan perjanjian DCA-nya, setidaknya perlu diselesaikan melalui forum ASEAN ini. Jika tidak, bakal mengganggu stabilitas iklim kondusif anggota yang lain.
Persoalan pengentasan kemiskinan yang mendera sejumlah besar anggotanya, penanggulangan bencana alam bersama, penuntasan kasus korupsi, supremasi dan perlindungan hukum bagi para tenaga kerja (TKI) harus segera diwujudkan lewat langkah nyata. ASEAN juga harus mampu meredam persoalan persaingan masing-masing anggotanya.
Selain itu, problem individualitas anggota ASEAN yang tidak ingin kedaulatannya di atasi sebuah sistem, bisa menjadi pendulum benih-benih perpecahan. Padahal dalam sebuah persekutuan (asosiasi), masing-masing anggota harus tunduk pada sistem yang telah dibuat secara bersama dan sukarela tersebut. Jika tidak, fungsi dari bangun asosiasi tersebut bakal kabur dan ngambang.
Persoalan kiblat masing-masing anggota yang sering tidak sejalan, misalnya Singapura yang lebih condong ke Barat (Amerika), Malaysia ke Timur Tengah, atau ke India dan China menyebabkan ketidakterbukaan dengan mitra sendiri. Misalnya dalam kasus TKI Indonesia yang bekerja di Malaysia, pemerintah Malaysia terkesan masa bodoh dan tak mau tau. Sehingga berbagai kasus pelanggaran hukum yang dilakukan para majikan (warga Malaysia) dibiarkan begitu saja, tetapi giliran TKI kita yang salah, mereka segera memproses secara hukum.
Sudah saatnya bangun solidaritas dan kemitraan ASEAN menumbuhkan sikap saling terbuka, mengayomi, saling toleransi dan saling berbagi tips. Negara yang kebetulan lebih unggul dibanding yang lain (misalnya Singapura dan Malaysia), mesti menularkan ilmunya kepada anggota yang lain (Indonesia, Philipina, Thailand dan sebagaiya), sehingga tidak timbul kesenjangan yang mencolok antar anggota.
Sementara negara yang kebetulan tertinggal, mesti lilo legawa berguru kepada mitranya yang jauh lebih maju tanpa merasa direndahkan. Upaya-upaya hegemoni atas mitra sendiri patut dihilangkan jauh-jauh dari bangun solidaritas dan kemitraan ASEAN. Jika ASEAN tidak memberikan kontribusi yang positif bagi anggotanya, patut dipertanyakan fungsi dan keberadaannya (*)
--------------------------------------------------------------------------------
Agus Wibowo, Anggota Forum Kajian Politik
dan Pendidikan Pascasarjana UNY
Kemitraan dan Solidaritas ASEAN
oleh: Agus Wibowo
TANGGAL 8 Agustus 2007 kemarin, ASEAN genap berusia 40 tahun. Mestinya, di usia yang sudah cukup matang, ASEAN mampu mewujudkan kerjasama bilateral yang menguntungkan anggotanya. Setidaknya itulah harapan yang disandarkan pada ulang tahun ke-40 ini.
Mengapa demikian? Karena kawasan ASEAN dengan penduduk sekitar 580 juta ini merupakan pasar potensial yang menjadi incaran para investor dunia untuk memasarkan produk dan ekspansinya. Kita bisa melihat betapa produk Jepang, China, Korea Selatan, dan India kini menyerbu Asia Tenggara.
Di era globalisasi ini perekatan kemitraan dan solidaritas anggota ASEAN menjadi sebuah keniscayaan. Tidak bisa dimungkiri bahwa globalisasi telah menjadi fenomena dan sepertinya tidak ada satu pun negara-bangsa yang mampu mengelakkannya.
Kemajuan sains dan teknologi, khususnya di bidang informasi dan telekomunikasi dan beroperasinya institusi-institusi internasional seperti IMF dan Bank Dunia serta mekanisme pasar bebas dengan organisasi perdagangan dunianya telah mendorong globalisasi secara masif dan ekstensif ke berbagai penjuru dunia.
Dalam konteks globalisasi, hegemoni negara-negara adikuasa semakin terasa menghimpit negara berkembang, dan menempatkannya pada posisi tidak menguntungkan.
Demikian halnya dengan negara-negara di kawasan ASEAN. Samir Amin (1997) setidaknya mencatat lima bentuk monopoli tersebut, yaitu: (1) monopoli di bidang teknologi; (2) kontrol finansial terhadap pasar-pasar keuangan seluruh dunia; (3) monopoli akses terhadap sumber daya alam; (4) monopoli media dan komunikasi; dan (5) monopoli senjata pemusnah massal. Lima bentuk monopoli ini, yang diambil semuanya, menentukan kerangka kerja di dalam hukum dari beroperasinya nilai yang diglobalisasikan.
Sejatinya globalisasi itu tidak memiliki muatan yang berharga bagi negara-negara yang sedang berkembang. Lalu siapa yang begitu sering mengambil keuntungan-keuntungan dari globalisasi yang telah menimbulkan ketidakseimbangan tersebut? Bagi mereka, para penganjur globalisasi, maka globalisasi (yang secara tipikal diasosiasikan dengan penerimaan kapitalisme yang unggul, gaya Amerika) adalah sebuah kemajuan; dan negara-negara yang sedang berkembang harus menerimanya, jika mereka ingin tumbuh dan memerangi kemiskinan secara efektif.
Tetapi bagi banyak dunia yang sedang berkembang, globalisasi itu tidak membawa keuntungan-keuntungan ekonomi yang dijanjikan (Joseph Stiglitz, 2002).
Kenyataan globalisasi ini jika tidak ditangkap secara arif oleh ASEAN, bisa meruntuhkan bangun kemitraan dan solidaritas yang telah terbangun selama ini. Memang dalam perkembangannya, ASEAN telah membentuk mekanisme ASEAN Plus Three bersama China, Jepang, dan Korea Selatan; East Asia Summit (EAS); hingga memiliki 11 mitra wicara, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, Jepang, China, yang merupakan pemain-pemain besar. Setidaknya dengan jalinan yang erat tersebut, ASEAN mampu menangkal Hegemoni globalisasi atasnya.
Pengentasan Kemiskinan
Terbentuknya Forum Regional ASEAN (ARF) menjadi bukti bahwa ASEAN berperan penting di dunia internasional, yang menempatkan dirinya sebagai driving seat dalam proses regional. Artinya, selama 40 tahun, ASEAN bukan hanya mampu bertahan, tetapi terus berkembang sebagai organisasi regional yang makin efektif. Di antara anggota juga tak pernah terjadi perang, menjadi bukti keberhasilan stabilitas politik,
keamanan, dan sosial (Faustinus Andrea, 2007).
Langkah ASEAN mendirikan Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) dalam KTT ASEAN Ke-12 di Cebu, Filipina, Januari 2007, sejatinya merupakan ide kreatif guna mensikapi persaingan ekonomi dari India dan China. Selain itu pembentukan AEC dianggap merupakan keharusan guna melindungi kepentingan bersama sejumlah negara di kawasan tertentu, dan upaya untuk mempertegas arah ASEAN, yang telah diwujudkan dengan pertemuan tingkat tinggi di Bali, Oktober 2003, dengan menghasilkan Bali Concord II.
Dalam konteks ekonomi, diwujudkan konsep AEC yang berupaya membangun kerja sama perdagangan, investasi, dan meningkatkan mobilitas aktivitas ekonomi, yang meliputi sektor elektronik, pariwisata, otomotif, tekstil, perikanan, pertanian, teknologi informasi, teknologi kesehatan, dan usaha berbahan dasar kayu.
Pekerjaan pelik ASEAN saat ini adalah terkait perannya yang harus mampu menjembatani perbedaan esensial dan konflik internal yang melanda anggotanya. Problem hubungan Indonesia dan Singapura yang memuncak dengan perjanjian DCA-nya, setidaknya perlu diselesaikan melalui forum ASEAN ini. Jika tidak, bakal mengganggu stabilitas iklim kondusif anggota yang lain.
Persoalan pengentasan kemiskinan yang mendera sejumlah besar anggotanya, penanggulangan bencana alam bersama, penuntasan kasus korupsi, supremasi dan perlindungan hukum bagi para tenaga kerja (TKI) harus segera diwujudkan lewat langkah nyata. ASEAN juga harus mampu meredam persoalan persaingan masing-masing anggotanya.
Selain itu, problem individualitas anggota ASEAN yang tidak ingin kedaulatannya di atasi sebuah sistem, bisa menjadi pendulum benih-benih perpecahan. Padahal dalam sebuah persekutuan (asosiasi), masing-masing anggota harus tunduk pada sistem yang telah dibuat secara bersama dan sukarela tersebut. Jika tidak, fungsi dari bangun asosiasi tersebut bakal kabur dan ngambang.
Persoalan kiblat masing-masing anggota yang sering tidak sejalan, misalnya Singapura yang lebih condong ke Barat (Amerika), Malaysia ke Timur Tengah, atau ke India dan China menyebabkan ketidakterbukaan dengan mitra sendiri. Misalnya dalam kasus TKI Indonesia yang bekerja di Malaysia, pemerintah Malaysia terkesan masa bodoh dan tak mau tau. Sehingga berbagai kasus pelanggaran hukum yang dilakukan para majikan (warga Malaysia) dibiarkan begitu saja, tetapi giliran TKI kita yang salah, mereka segera memproses secara hukum.
Sudah saatnya bangun solidaritas dan kemitraan ASEAN menumbuhkan sikap saling terbuka, mengayomi, saling toleransi dan saling berbagi tips. Negara yang kebetulan lebih unggul dibanding yang lain (misalnya Singapura dan Malaysia), mesti menularkan ilmunya kepada anggota yang lain (Indonesia, Philipina, Thailand dan sebagaiya), sehingga tidak timbul kesenjangan yang mencolok antar anggota.
Sementara negara yang kebetulan tertinggal, mesti lilo legawa berguru kepada mitranya yang jauh lebih maju tanpa merasa direndahkan. Upaya-upaya hegemoni atas mitra sendiri patut dihilangkan jauh-jauh dari bangun solidaritas dan kemitraan ASEAN. Jika ASEAN tidak memberikan kontribusi yang positif bagi anggotanya, patut dipertanyakan fungsi dan keberadaannya (*)
--------------------------------------------------------------------------------
Agus Wibowo, Anggota Forum Kajian Politik
dan Pendidikan Pascasarjana UNY
Komentar
Posting Komentar