Langsung ke konten utama

Opini Sastra

Oleh: Agus Wibowo*


Benarkah karya sastra memiliki hubungan positif dengan kejujuran sebuah bangsa? jawabannya kembali pada sejauh mana bangsa tersebut mengapresiasikan karya sastra dalam kehidupan.Sampai saat ini, pemahaman kita akan keluhuran sastra baru dalam taraf kognitif plus kesadaran naif. Ya, semua orang tau sastra bisa menempa ruhani, menjadi vitamin batin, mengalirkan semangat kehidupan, dan memberinya makna. Akan tetapi, aktualisasi keluhuran sastra dalam prilaku sehari-hari tidak pernah ada.Buktinya, bangsa ini sangat bangga menjadi bangsa yang hidup dalam terali kemunafikan dan ketidakjujuran. Meminjam istilah beberapa sahabat sastrawan “republik sandiwara palsu”. Kejujuran yang merupakan elan vital sastra, begitu nyata dikebiri dengan konsensus-konsensus atau logika kritis-terbalik, hingga masyarakat memaafkan begitu saja tindakan tercela elit politik bangsa nyata di depan mata.Sejatinya, praktik kenegaraan dan politik kita menjadi penanda runtuhnya budaya ketimuran yang mengusung budaya sungkan, malu dan ewuh-pekewuh berselingkuh dengan kebohongan. Lebih dari itu, ketidakjujuran menjelma dalam pelaksanaan profesi, tugas, atau pekerjaan yang penuh kelicikan dan kemunafikan hingga merebakkan ketidakadilan. Seperti yang dilakukan sebagian hakim, pengacara, jaksa, dan polisi yang menabiri ketidakbenaran dengan pasal-pasal undang-undang.Pada ketidaktaatan (inkonsistensi) sikap serta perilaku, ditampilkan para anggota DPR yang dulu getol menyelidiki dugaan penyelewengan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), namun kini terdiam lesu saat dihadapkan pada kasus korupsi Rohman Dauri yang melibatkan kasus suap mantan ketua MPR Amin Rais, serta menyeret sejumlah nama calon presiden pada pilpres 2004.Dalam panggung kaca (baca; televisi), ketidakjujuran menjelma lewat lakon-lakon sinetron yang hiperreal dan membius khazanah mental publik dalam mimpi, yang jauh dari bopeng-bopeng kenyataan hidup riil manusia sehari-hari.Yah, ketidakjujuran perekaan "kebenaran" secara sepihak lewat pemanfaatan kekuatan publikasi media massa (Limas Sutanto, 2002)Menempa Kejujuran ?Meskipun bangsa ini terkenal sebagai bangsa yang religius, namun dalam praktik kehidupan justru sangat jauh dengan nilai-nilai religiusitas. Hal ini ditengarai semakin maraknya degradasi moral, kasus KKN dan kejahatan di berbagai penjuru tanah air. Pada titik ini, apresiasi terhadap sastra menjadi sebuah keniscayaan. Karya sastra yang mampu menuangkan pencerahan, membimbing masyarakat pada nilai-nilai kejujuran dan mendepak budaya KKN dari bumi pertiwi.Lewat sastra bakal terbentuk pribadi keinsanan seseorang, terpupuk kehalusan adab dan budi individu serta masyarakat dan menjadikannya komunitas berperadaban. Menurut Friedrich Schiller, sastra menjadi semacam permainan penyeimbang (balance) segenap kemampuan mental manusia, berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan. Selain itu, seorang bakal diasah kreativitas, perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaannya, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang destruktif, sempit kerdil dan picik (Darmaningtyas, 2004;81).Pendek kata, ketidakjujuran yang mewabah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bisa terkikis lewat sastra. Asalkan, diajarkan dengan pendekatan yang tepat; yaitu pendekatan yang dapat merangsang terjadinya olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga.Institusi yang menjadi garda depan internalisasi nilai-nilai sastra bagi putra bangsa, tidak lain adalah lembaga pendidikan. Sayangnya, apresiasi siswa negeri ini terhadap karya sastra sangat rendah. Sebagai perbandingan, siswa sekolah menengah di Malaysia, Filipina dan Thailand telah akrab dengan novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer dan karya sastrawan-sastrawan besar dunia lainnya, sedangkan rekan-rekannya di Indonesia hanya sedikit yang mengenal sosok Pramoedya Ananta Toer.Anak-anak sekolah menengah pertama di sejumlah negara maju sudah rajin berlatih drama berjudul Hamlet, Romeo and Juliet, Macbeth, Othello, King Lear dan Julius Caesar karya William Shakespeare misalnya, sementara mahasiswa-mahasiswa di Indonesia baru mengetahui bahwa William Shakespeare (1564-1616) adalah pujangga Inggris yang sudah terkenal selama lima abad.Pemicu rendahnya apresiasi sastra tersebut lantaran pengajaran sastra di kelas kurang menarik, karena strategi dan pendekatannya kurang tepat. Bahasa dan sastra masih diperlakukan sebagai pengetahuan (aspek kognitif), sehingga kurang melibatkan penghayatan batin (aspek afektif) peserta didik. Di lain pihak, para guru memiliki greget membuat pembelajaran bahasa dan sastra menjadi menarik.Perlu Rekonstruksi KurikulumPembenahan kurikulum 1984 menjadi kurikulum 1994 dan disempurnakan lagi dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), belum menunjukkan kemajuan berarti bagi pengajaran sastra di sekolah. Sastra masih sebagai pelajaran yang asing bagi siswa. Alih-alih, untuk sekolah di kota saja demikian bisa dibanyangkan bagaimana keadaan sekolah di desa, kenal sastra-pun tidak.Hadirnya Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP), diharapkan lebih menuntut siswa bersama guru memiliki kemampuan apresiasi sastra yang tinggi. Hal ini tentu lebih menuntut ketersediaan buku-buku sastra yang bermutu dan sesuai dengan perkembangan siswa. Semestinya pemerintah tidak hanya merubah kurikulum saja, tetapi juga mengusahakan program penyediaan sumber pembelajaran sastra. Terutama penyediaan karya sastra berupa novel, cerpen, dan kumpulan puisi bagi siswa di sekolah-sekolah (perpustakaan sekolah). Selain itu, pihak otoritas sekolah dapat memilih karya-karya sastra klasik yang banyak memuat nilai-nilai ajaran moral dan spiritualitas hidup untuk menjadi kajian siswa-siswanya. Dalam hal ini, harus selalu ada pekerjaan rumah berupa tugas membaca karya-karya sastra sebanyak-banyaknya bagi siswa untuk kemudian direpresentasikan di depan kelas.Dengan tersedianya sumber belajar/karya sastra yang lengkap yang sesuai dengan masa perkembangan dan kebutuhan para siswa di setiap sekolah, sangat berpengaruh dalam penyusunan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran serta evaluasi pembelajaran di sekolah. Hasil yang dicapai tentunya juga akan lebih baik lagi.Karya sastra yang memiliki nilai-nilai spiritualitas, estetika dan moral bakal membentuk karakter peserta didik dan menjadi transfer pendidikan yang penuh vitamin ruhani, penyejuh hati, penebar kebahagiaan dan penuntun masyarakat pada pencerahan peradaban. Dengan jalan ini, krisis kejujuran bangsa ini bisa segera terentaskan.[]
*) Esais Sastra, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Rekening BRI Unit Mataram : 3015-01-009577-53-3. HP: 085 292 569 057

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 16 Januari 2009 Akibat krisis finansial global yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran di Indonesia mengalami kenaikan. Data Organisasi Buruh Dunia (ILO, 2009), menyebutkan sektor industri/usaha menyumbang sedikitnya 170.000 hingga 650.000orang. Jumlah itu bisa makin meroket akibat goyahnya sejumlah industri inti, yang bakal turut menyeret ratusan industri pendukung. Sebagai contoh adalah industri garmen yang membutuhkan pemasok bahan baku kain, benang, bahan kimia, logistik, sampai komponen mesin yang disebut subkontraktor. Demikian juga industri otomotif dengan jaringan pemasok komponen serta industri pulp dan kertas. Fenomena pengangguran akibat PHK, tentu saja menimbulkan keprihatinan kita bersama. Apalagi, mendekati pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di mana suhu politik tengah memanas. Tingginya angka pengangguran itu — selain berbanding lurus dengan tindak kriminalitas — dikhawatirkan akan digunakan oknum terten

Publikasi di Jurnal Internasional Terindeks SCOPUS (Tahun 2018-2020)

Siron, Y., Wibowo, A., & Narmaditya, B.S. (2020). Factors affecting the adoption of e-learning in indonesia: Lesson from Covid-19. Journal of Technology and Science Education, 10(2), 282-295.  https://doi.org/10.3926/jotse.1025 Assessment of Household Happiness in Slum Environment Usingthe Expected Value Rules : Bagus Sumargo*, Zarina Akbar and Agus Wibowo Antecedents of Customer Loyalty: Study from the Indonesia’s Largest E-commerce Leadership Styles and Customer Loyalty: A Lesson from Emerging Southeast Asia’s Airlines Industry Does Entrepreneurial Leadership Matter for Micro-Enterprise Development?: Lesson from West Java in Indonesia Determinant Factors of Young People in Preparing for Entrepreneurship: Lesson from Indonesia Wardana, L.W., Narmaditya, B.S., Wibowo, A., Mahendra, A.M., Wibowo, N.A., Harwida, G., Rohman, A.N. (2020). The Impact of Entrepreneurship Education and Students’ Entrepreneurial Mindset: The Mediating Role of Attitude and Self-Efficacy. Heliyon 6 (2020) e0

Ketimpangan Ekonomi Global dan Kemiskinan

Oleh Agus Wibowo Tulisan ini dimuat Harian Pelita Edisi Rabu, 02 Desember 2009 Program pemulihan ekonomi dan pengurangan jumlah rakyat miskin, kembali menghadapi ancaman mahaberat. Sebagaimana laporan Bank Dunia mengenai perkembangan Asia Timur dan Pasifik terbaru bertajuk Transforming the Rebound Into Recovery menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia, lebih-lebih Asia Timur dan Pasifik mengalami ketimpangan selama resesi terparah sejak Perang Dunia II. Ketimpangan itu terjadi karena ekonomi China mengalami laju pertumbuhan sebesar 8,7% pada tahun 2009, sementara negara-negara di sekelilingnya hanya tumbuh sebesar 1%. China juga diproyeksikan sebagai satu-satunya negara dimana permintaan domestiknya melampaui jumlah permintaan global. Laju pertumbuhan ekonomi China itu, tentu saja berdampak negatif pada negara-negara sekelilingnya. Bahkan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti Asia, Amerika Serikat, kawasan Euro dan Jepang mengalami penurunan selama 3 kuartal. Hanya bebera