Wujudkan Pendidikan Gratis
Oleh: Agus Wibowo*
Oleh: Agus Wibowo*
Pemerintah baru mengalokasikan 11,8 persen dana APBN guna membiayai pendidikan. Sesuai kesepakatan dengan Mahkamah Konstitusi (MK), pemerintah semestinya menganggarkan 20 persen, demikian komentar Mendiknas Bambang Sudibyo dalam peringatan Hardiknas belum lama ini. Nampaknya, ada nuansa in-konsisten pada praktik kenegaraan kita. Sesuai prosedur, jika kebijakan sudah ditetapkan oleh MK maka tak ada pilihan bagi pemerintah selain melaksanakannya.
Sejatinya, dalam UUD 1945, amandemen pasal 31 UUD 1945 maupun UU No. 20 Th 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) telah ditegaskan kewajiban pemerintah melaksanakan pendidikan gratis. Anehnya, pemerintah masih enggan melaksanakannya. Lain jika kebijakan mengenai pemberian tunjangan anggota dewan (PP 37 misalnya), justru pemerintah yang getol mengusulkannya.
Minimnya subsidi pendidikan (11,8%), berpengaruh pada kondisi keuangan sekolah. Tak heran jika sekolah-sekolah kita berlomba-lomba menaikkan biaya pendidikannya. Entah dalih amal jariyah, sumbangan pendidikan atau uang gedung, semakin lama mencekik rakyat. Tidak hanya tingkat dasar, perguruan tinggi (PT) saban tahun juga menaikkan biaya pendidikannya. Pada gilirannya, hanya orang-orang berduit saja yang mampu mengenyam pendidikan.
Paradigma pendidikan bermutu mesti mahal, menjadi acuan para manajer pendidikan menggagas kurikulum. Pembelajaran yang mestinya bisa dilaksanakan dengan metode yang sederhana dan murah—lantaran mengikuti mode tersebut, didesain begitu jumawah dan menghaburkan banyak biaya.
Fenomena ini jauh hari telah diramalkan oleh Ivan Ilich. Menurutnya, semua bentuk sekolah di negara berkembang bakal terjebak pada semangat berpikir, yang didasarkan pada tuntutan-tuntutan kebutuhan formal sekolah. Implikasinya, lahir suatu corak pendidikan yang sekadar menjadi agen reproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil seperti relasi gender, relasi rasisme, dan sistem relasi kekuasaan.
Pendidikan kita tak jauh beda terjebak dalam pasar bisnis. Siapa yang mampu, ia berhak mendapat pendidikan. Padahal menurut Paulo Freire (1986:67), pendidikan mestinya berorientasi pada konsepsi dasar memanusiakan kembali manusia, yang telah mengalami dehumanisasi akibat sistem dan struktur sosial yang menindas.
Keseriusan pemerintah menangani pendidikan, sangat berbeda dengan Vietnam. Meski masih dikategorikan sebagai negara miskin, namun pemerintah Vietnam telah menetapkan pendidikan gratis bagi murid sekolah dasar dan menengah pertamanya. Vietnam pada tahun 2003 saja sudah mengalokasikan 15,6 % dari APBN nya untuk pendidikan, sedangkan negara kita baru sebesar 4,4 %. Jika kebijakan pendidikan gratis tidak segera direalisasikan dan pendidikan semakin mahal, rakyat bakal kembali bodoh layaknya pada masa penjajahan.[]
Sejatinya, dalam UUD 1945, amandemen pasal 31 UUD 1945 maupun UU No. 20 Th 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) telah ditegaskan kewajiban pemerintah melaksanakan pendidikan gratis. Anehnya, pemerintah masih enggan melaksanakannya. Lain jika kebijakan mengenai pemberian tunjangan anggota dewan (PP 37 misalnya), justru pemerintah yang getol mengusulkannya.
Minimnya subsidi pendidikan (11,8%), berpengaruh pada kondisi keuangan sekolah. Tak heran jika sekolah-sekolah kita berlomba-lomba menaikkan biaya pendidikannya. Entah dalih amal jariyah, sumbangan pendidikan atau uang gedung, semakin lama mencekik rakyat. Tidak hanya tingkat dasar, perguruan tinggi (PT) saban tahun juga menaikkan biaya pendidikannya. Pada gilirannya, hanya orang-orang berduit saja yang mampu mengenyam pendidikan.
Paradigma pendidikan bermutu mesti mahal, menjadi acuan para manajer pendidikan menggagas kurikulum. Pembelajaran yang mestinya bisa dilaksanakan dengan metode yang sederhana dan murah—lantaran mengikuti mode tersebut, didesain begitu jumawah dan menghaburkan banyak biaya.
Fenomena ini jauh hari telah diramalkan oleh Ivan Ilich. Menurutnya, semua bentuk sekolah di negara berkembang bakal terjebak pada semangat berpikir, yang didasarkan pada tuntutan-tuntutan kebutuhan formal sekolah. Implikasinya, lahir suatu corak pendidikan yang sekadar menjadi agen reproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil seperti relasi gender, relasi rasisme, dan sistem relasi kekuasaan.
Pendidikan kita tak jauh beda terjebak dalam pasar bisnis. Siapa yang mampu, ia berhak mendapat pendidikan. Padahal menurut Paulo Freire (1986:67), pendidikan mestinya berorientasi pada konsepsi dasar memanusiakan kembali manusia, yang telah mengalami dehumanisasi akibat sistem dan struktur sosial yang menindas.
Keseriusan pemerintah menangani pendidikan, sangat berbeda dengan Vietnam. Meski masih dikategorikan sebagai negara miskin, namun pemerintah Vietnam telah menetapkan pendidikan gratis bagi murid sekolah dasar dan menengah pertamanya. Vietnam pada tahun 2003 saja sudah mengalokasikan 15,6 % dari APBN nya untuk pendidikan, sedangkan negara kita baru sebesar 4,4 %. Jika kebijakan pendidikan gratis tidak segera direalisasikan dan pendidikan semakin mahal, rakyat bakal kembali bodoh layaknya pada masa penjajahan.[]
*) Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar