Reshuffle; Profesionalisme atau Kompensasi Politik ?
Oleh: Agus Wibowo*
Oleh: Agus Wibowo*
Terjawab sudah teka-teki seputar resufle kabinet Indonesia bersatu (KIB), setelah presiden mengumumkannya Senin (7/05/07). Presiden menghimbau masyarakat untuk bersikap arif dalam memaknai proses reshufle kali ini. Dasar profesionalisme dan the right man on the right place-lah yang menjadi pijakan utama presiden dalam memilih sejumlah menteri tersebut.
Reshufle yang sempat menimbulkan perdebatan panjang serta tarik-ulur antar partai politik (parpol), tidak membawa perubahan berarti dalam kabinet. Sejumlah wajah baru seperti ; Muhammad Nuh, Luqman Edi, Hendarman Supanji, Jusman Syafii, dan Andi Mattalata menggantikan posisi Sugiharto, Yusril Izza Mahendra, Hamid Awwaludin, Abdurrahman Saleh dan Saifullah Yusuf.
Menariknya, Syaifullah Yusuf (Gus Ipul) yang tidak tersandung kasus malah didepak dari KIB lantaran beralih ke PPP. Gus Ipul dinilai tidak merepresentasikan menteri dari PKB. Sementara, menteri dengan kinerja buruk yang semestinya diganti seperti; Abu Rizal Bakri dan beberapa Menko EKUIN, tetap aman di posisinya.
Nampaknya presiden SBY tak mumpuni menjadi sutradara “drama politik-nya”. Kekhawatiran terhadap posisinya membuat reshuffle sekedar rotasi menteri. Buktinya, Sofyan Jalil digeser menjadi Meneg BUMN dan Hatta Rajasa menjadi Mensesneg. Presiden terlalu lemah bargaining politiknya dengan parpol, sehingga reshuffle kabinet kali ini lebih bernuansa kompromi politik ketimbang profesionalisme. Memang beberapa menteri berasal dari kalangan profesional, tetapi setidaknya mereka tetap membawa bendera Parpol.
Reshuffle jilid dua menjadi kaca benggala yang menunjukkan karakter asli parpol. Janji dan komitmen keberpihakan terhadap rakyat yang diobral semasa kampanye dulu, hanya isapan jempol belaka. Parpol lebih mengedepankan kepentingan partainya, ketimbang kesejahteraan rakyat. Buktinya, mereka berang lantaran menterinya didepak dari KIB. Semestinya mereka lila legawa manakala menterinya diganti dengan kader non-partisan yang lebih profesional. Semestinya rakyat bisa belajar dari reshuffle kabinet, sehingga mereka bisa cermat dan teliti dalam memilih partai yang benar-benar berpihak kepadanya.
Kasus Lapindo yang semakin rumit, pendidikan yang semakin carut-marut, naiknya angka pengangguran dan kemiskinan menunjukkan indikator rendahnya kinerja menteri yang membawahinya. Anehnya, presiden tetap mempertahankannya. Timbul pertanyaan, bagaimana nasib rakyat jika menteri dengan kinerja buruk tersebut tetap dipertahankan ?
Bagaimanapun reshuffle kabinet memiliki korelasi politis dengan pilpres mendatang. Presiden SBY tentunya punya pertimbangan politis ke sana. Tak heran jika presiden segan menyentuh menteri kader partai besar, meski diketahui berkinerja buruk. Lagi-lagi lingkaran politik negeri ini belum bisa mengayomi rakyatnya, tetapi malah menjadi lintah yang menghisap kehidupan rakyatnya.[]
*) Mahasiswa Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.
Reshufle yang sempat menimbulkan perdebatan panjang serta tarik-ulur antar partai politik (parpol), tidak membawa perubahan berarti dalam kabinet. Sejumlah wajah baru seperti ; Muhammad Nuh, Luqman Edi, Hendarman Supanji, Jusman Syafii, dan Andi Mattalata menggantikan posisi Sugiharto, Yusril Izza Mahendra, Hamid Awwaludin, Abdurrahman Saleh dan Saifullah Yusuf.
Menariknya, Syaifullah Yusuf (Gus Ipul) yang tidak tersandung kasus malah didepak dari KIB lantaran beralih ke PPP. Gus Ipul dinilai tidak merepresentasikan menteri dari PKB. Sementara, menteri dengan kinerja buruk yang semestinya diganti seperti; Abu Rizal Bakri dan beberapa Menko EKUIN, tetap aman di posisinya.
Nampaknya presiden SBY tak mumpuni menjadi sutradara “drama politik-nya”. Kekhawatiran terhadap posisinya membuat reshuffle sekedar rotasi menteri. Buktinya, Sofyan Jalil digeser menjadi Meneg BUMN dan Hatta Rajasa menjadi Mensesneg. Presiden terlalu lemah bargaining politiknya dengan parpol, sehingga reshuffle kabinet kali ini lebih bernuansa kompromi politik ketimbang profesionalisme. Memang beberapa menteri berasal dari kalangan profesional, tetapi setidaknya mereka tetap membawa bendera Parpol.
Reshuffle jilid dua menjadi kaca benggala yang menunjukkan karakter asli parpol. Janji dan komitmen keberpihakan terhadap rakyat yang diobral semasa kampanye dulu, hanya isapan jempol belaka. Parpol lebih mengedepankan kepentingan partainya, ketimbang kesejahteraan rakyat. Buktinya, mereka berang lantaran menterinya didepak dari KIB. Semestinya mereka lila legawa manakala menterinya diganti dengan kader non-partisan yang lebih profesional. Semestinya rakyat bisa belajar dari reshuffle kabinet, sehingga mereka bisa cermat dan teliti dalam memilih partai yang benar-benar berpihak kepadanya.
Kasus Lapindo yang semakin rumit, pendidikan yang semakin carut-marut, naiknya angka pengangguran dan kemiskinan menunjukkan indikator rendahnya kinerja menteri yang membawahinya. Anehnya, presiden tetap mempertahankannya. Timbul pertanyaan, bagaimana nasib rakyat jika menteri dengan kinerja buruk tersebut tetap dipertahankan ?
Bagaimanapun reshuffle kabinet memiliki korelasi politis dengan pilpres mendatang. Presiden SBY tentunya punya pertimbangan politis ke sana. Tak heran jika presiden segan menyentuh menteri kader partai besar, meski diketahui berkinerja buruk. Lagi-lagi lingkaran politik negeri ini belum bisa mengayomi rakyatnya, tetapi malah menjadi lintah yang menghisap kehidupan rakyatnya.[]
*) Mahasiswa Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar