Langkah Jitu Pendidikan Perwira Polri
Oleh: Agus Wibowo*
Oleh: Agus Wibowo*
Baru-baru ini POLRI melankukan gebrakan dengan persyaratan calon taruna Akpol (Akademi Kepolisian) minimal S-1. Menurut Kapolri jenderal Pol Sutanto, seiring dinamika intelektual masyarakat mesti diikuti peningkatan kualitas pendidikan polri. Tidak etis jika rata-rata pendidikan masyarakat Strata Tiga (S3), sementara aparat polri hanya lulusan SMA.
Langkah polri tersebut patut disambut dengan gembira. Mengapa demikian ? Banyak penelitian yang menemukan tingkat kesantunan, kejelian dan kematangan psikologis taruna Polri lulusan Sarjana (S1) lebih baik, ketimbang lulusan SMA. Kasus Hendra Saputra, 21, taruna Akademi Kepolisian (Akpol) yang diduga menjadi korban penganiayaan lima seniornya, paling tidak menunjukkan pengaruh buruk rendahnya kematangan psikologis taruna Polri yang selama ini hanya lulusan SMA.
Selain itu, kasus Hendra menyisakan catatan penting masih adanya indikasi penggunaan kekerasan dalam model pendidikan kedinasan Akpol layaknya IPDN. Penanaman kepatuhan dan keseganan pada senior masih menggunakan cara-cara fisik yang cenderung mengarah pada penganiyaan.
Sebagai lembaga penggodokan calon perwira, semestinya Akpol meninggalkan penanaman disiplin melalui latihan fisik dan non-fisik. Memang kedisiplinan sangat penting bagi para calon pemimpin seperti halnya di Akpol maupun IPDN. Namun, penggunaan cara fisik yang berlebihan untuk mendidik praja atau taruna yunior pada gilirannya berujung out come perwira yang bringas, stereotip dan jauh dari nilai-nilai humanisme.
Bagaimana jadinya jika para perwira ini sudah terjun ke masyarakat. Mereka sangat mungkin menggunakan cara-cara yang sama saat memimpin anak buah dan masyarakat. Cara-cara kekerasan yang sudah tertanam itu akan muncul dalam proses pengambilan keputusan dan ini tentu sangat berbahaya.
Persyaratan calon taruna Akpol yang mesti lulusan sarjana, merupakan langkah jitu mereformasi dan memangkas rantai kekerasan dalam pendidikan Akpol. Transformasi keilmuan kepolisian menjadi sangat mudah, lantaran mekanisme asosiasi intruksional (pembelajaran berantai). Lulusan sarjana setidaknya telah mengenyam dasar-dasar filsafat humanisme, logika empiris formil dan sebagainya. Lain dengan lulusan SMA yang tidak mengenyam konsep-konsep tersebut. Paling banter dikenalkan dasar-dasarnya saja, beruntung jika sekolahnya semula termasuk katagori faforit. Tempaan pendidikan sarjana setidaknya menjadi dasar kematangan wawasan, visi, misi dan kepribadian calon.
Meski demikian, langkah ini perlu dibarengi dengan perombakan sistem kurikulum. Menurut Curtis R. Finch dan John R Crukilton dalam Curriculum Development in Vacational and Technical Educatian (199), kurikulum merupakan nyawa sebuah institusi pendidikan. Meski in-put bagus, tetapi kurikulumnya tidak berkualitas, maka perwira yang dihasilkan-pun bakal tidak berkualitas. Kurikulum Akpol mesti menyisakan ruang guna penanaman nilai-nilai humanis dalam diri tarunanya. Kita tidak ingin kasus IPDN berlanjut pada pendidikan Akpol. Masyarakat sudah sangat merindukan sosok aparat penegak hukum yang masih punya rasa “kamanungsan” (humanis), berintelektual tinggi dan mengedepankan profesionalitas tugasnya.[]*)Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta
Langkah polri tersebut patut disambut dengan gembira. Mengapa demikian ? Banyak penelitian yang menemukan tingkat kesantunan, kejelian dan kematangan psikologis taruna Polri lulusan Sarjana (S1) lebih baik, ketimbang lulusan SMA. Kasus Hendra Saputra, 21, taruna Akademi Kepolisian (Akpol) yang diduga menjadi korban penganiayaan lima seniornya, paling tidak menunjukkan pengaruh buruk rendahnya kematangan psikologis taruna Polri yang selama ini hanya lulusan SMA.
Selain itu, kasus Hendra menyisakan catatan penting masih adanya indikasi penggunaan kekerasan dalam model pendidikan kedinasan Akpol layaknya IPDN. Penanaman kepatuhan dan keseganan pada senior masih menggunakan cara-cara fisik yang cenderung mengarah pada penganiyaan.
Sebagai lembaga penggodokan calon perwira, semestinya Akpol meninggalkan penanaman disiplin melalui latihan fisik dan non-fisik. Memang kedisiplinan sangat penting bagi para calon pemimpin seperti halnya di Akpol maupun IPDN. Namun, penggunaan cara fisik yang berlebihan untuk mendidik praja atau taruna yunior pada gilirannya berujung out come perwira yang bringas, stereotip dan jauh dari nilai-nilai humanisme.
Bagaimana jadinya jika para perwira ini sudah terjun ke masyarakat. Mereka sangat mungkin menggunakan cara-cara yang sama saat memimpin anak buah dan masyarakat. Cara-cara kekerasan yang sudah tertanam itu akan muncul dalam proses pengambilan keputusan dan ini tentu sangat berbahaya.
Persyaratan calon taruna Akpol yang mesti lulusan sarjana, merupakan langkah jitu mereformasi dan memangkas rantai kekerasan dalam pendidikan Akpol. Transformasi keilmuan kepolisian menjadi sangat mudah, lantaran mekanisme asosiasi intruksional (pembelajaran berantai). Lulusan sarjana setidaknya telah mengenyam dasar-dasar filsafat humanisme, logika empiris formil dan sebagainya. Lain dengan lulusan SMA yang tidak mengenyam konsep-konsep tersebut. Paling banter dikenalkan dasar-dasarnya saja, beruntung jika sekolahnya semula termasuk katagori faforit. Tempaan pendidikan sarjana setidaknya menjadi dasar kematangan wawasan, visi, misi dan kepribadian calon.
Meski demikian, langkah ini perlu dibarengi dengan perombakan sistem kurikulum. Menurut Curtis R. Finch dan John R Crukilton dalam Curriculum Development in Vacational and Technical Educatian (199), kurikulum merupakan nyawa sebuah institusi pendidikan. Meski in-put bagus, tetapi kurikulumnya tidak berkualitas, maka perwira yang dihasilkan-pun bakal tidak berkualitas. Kurikulum Akpol mesti menyisakan ruang guna penanaman nilai-nilai humanis dalam diri tarunanya. Kita tidak ingin kasus IPDN berlanjut pada pendidikan Akpol. Masyarakat sudah sangat merindukan sosok aparat penegak hukum yang masih punya rasa “kamanungsan” (humanis), berintelektual tinggi dan mengedepankan profesionalitas tugasnya.[]*)Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar