Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2009

Stop Jual-Beli Ijazah Palsu !

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Sabtu 19 September 2009 Halaman Kampus ’’Untuk apa capek-capek kuliah, kalau semua bisa dibeli. Sampean tinggal sediakan uang, ijazah langsung siap!’’ Begitulah komentar seorang ibu, usai membaca berita praktik jual beli ijazah perguruan tinggi (PT). Beberapa hari lalu, Kopertis Wilayah V DIY berhasil membongkar sindikat penjualan ijazah palsu. Menurut Koordinator Kopertis V, Budi Santosa Wignyosukarto, kecurigaan itu muncul dari sejumlah iklan di selebaran dan koran yang menawarkan ijazah mulai dari D3 hingga S2 tanpa skripsi dan biayanya murah. Selebaran yang mengatasnamakan program kuliah kelas konversi PTS itu menawarkan ijazah sarjana D3 hingga S2 dengan masa tempuh kurang dari sebulan! Biaya yang ditawarkan meliputi ijazah D3 sosial (Rp 4 juta), D3 eksakta (Rp 4,5 juta), S1 sosial (Rp 8,75 juta), S1 eksakta (Rp 10,75 juta), dan Rp 14,75 juta (S2 magister manajemen). Dicantumkan juga bahwa program itu diikuti sekitar 50 PTS yang ada di Yogyakarta,

Revitalisasi Pendidikan Pertanian

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 9 September 2009 Pakar pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc., dalam satu kesempatan mengungkapkan kekhawatirannya pada masa depan pertanian kita. Menurutnya, jika pemerintah bersama stakeholder tidak memberikan perhatian yang serius, dunia pertanian kita akan gulung tikar alias tamat. Dampaknya pasti, kita sebagai bangsa agraris tidak lagi mampu memproduksi pangan secara optimal, sehingga harus impor dari negara lain. Kekhawatiran Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc., itu, tentu bukan tanpa alasan. Dia melihat fenomena terputusnya mata rantai dunia pertanian dari generasi muda. Singkatnya, dunia pertanian akan kehilangan satu generasi yang disebabkan rendahnya animo generasi muda pada dunia pertanian. Fenomena ini tampak dari menurunnya jumlah pendaftar pada fakultas pertanian sebagai salah satu jurusan yang menyiapkan tenaga-tenaga terampil di bidang pertanian. Berdasar data Seleksi Nasional Masuk Perg

Jebakan Krisis Pangan

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Senin,7 September 2009 Ada kabar gembira dari dunia pangan kita. Menurut laporan pemerintah, selama kurun waktu 2001-2008 sektor pertanian tumbuh rata-rata sebesar 3,5. Pencapaian ini tentu saja lebih baik ketimbang pada periode sebelum krisis (1991-1996) yang hanya sebesar 3 persen. Pertumbuhan yang paling mengagumkan adalah subsektor tanaman pangan, yang tumbuh dari 1,8 persen pada periode sebelum krisis menjadi 3 persen pada periode setelah krisis. Sementara, subsektor perkebunan, peternakan, dan kehutanan justru mengalami pelambatan laju pertumbuhan. Satu subsektor lainnya, yakni perikanan, naik tipis dari 5,3 persen menjadi 5,4 persen. Laju pertumbuhan sebesar 3 persen bagi tanaman pangan tergolong cukup ideal karena dua kali lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk. Mengingat peranan subsektor ini sangat dominan, yaitu sekitar separuh dari sektor pertanian. Itu artinya dalam beberapa tahun terakhir sektor pertanian bisa berperan

Buruk Rupa Birokrasi Daerah

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi Kamis,3 September 2009 Departemen Dalam Negeri (Depdagri) selama kurun Januari hingga Juli 2009, telah membatalkan lebih dari 1.152 peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi daerah. Sementara berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan awal tahun ini, terungkap bahwa dari 2.121 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai pajak dan retribusi daerah sebanyak 67% ditolak. Perda lain yang juga ditolak meliputi sektor pekerjaan umum dan perhubungan (14%), industri dan perdagangan (12%). Menurut Depdagri, perda itu dinilai tidak sejalan dengan kepentingan umum serta tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu harus dihapus, sebelum merugikan negara dan masyarakat kecil. Ada pun propinsi yang paling banyak ditolak raperdanya adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Selatan. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa sampai ada perda yang merugikan masyar

Menanti Kabinet Baru

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Bisnis Bali Edisi 31 Agustus 2009 Setelah pidato penerimaan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono mulai melakukan penjaringan calon menteri. Konon, ratusan nama dari berbagai kalangan telah dikantongi SBY, termasuk dari lima partai utama mitra koalisi, yaitu Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB. Salurannya beragam, mulai dari jalur formal sampai jalur pesan singkat pribadi seperti ketika cawapres dicari. Tampaknya, SBY-Budiono sangat cermat dan hati-hati dalam memilih calon pembantu. Mereka berusaha memenuhi keinginan rakyat agar kabinet dengan masa kerja lima tahun mendatang, terbentuk dari komposisi pribadi yang amanah, efektif, dan kredibel. SBY-Budiono juga ingin meninggalkan warisan indah dan kokoh di akhir masa baktinya, sebuah kabinet forum bekerja bukan untuk berpolitik sendiri-sendiri. Kearifan dan kehati-hatian SBY-Budiono itu, tidak lepas dari latar belakang mereka yang berasal dari kalangan ra