Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2009

Sekaten dan Pemberdayaan Ekonomi Lokal

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi 14 Februari 2009 Kolom Wacana Lokal PASAR Malam Perayaan Sekaten (PMPS) Yogyakarta Tahun 2009 dibuka Sri Sultan Hamengku Buwono X, belum lama ini. Even kali ini lebih difokuskan pada aspek dakwah, di samping tetap mengakomodasi unsur hiburan dan ekonomi. Secara historis, tradisi PMPS atau Sekaten yang digagas Sunan Kalijaga itu digelar untuk kepentingan syiar agama Islam saja. Itu bisa dilihat dari asal kata sekaten, yaitu syahadatain, yang bermakna dua kalimat syahadat (Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad utusan Allah). Seiring perkembangan zaman, Sekaten tak lagi sekadar kegiatan dakwah, tetapi kuga penanda ’’pamor’’ kewibawaan dan kedekatan Keraton Ngayogyakarta dengan kawulanya, atau simbol kebersamaan antara petinggi yang diidentikan dengan keraton dan rakyat. Lebih dari itu, menjadi panutan bagi pengembangan dan eksistensi ekonomi kerakyatan. Singkatnya, Sekaten merupakan perwujudan fenomena mikro dari pemberdayaan ekonomi ya

Muslihat Pengavelingan Lokasi Bencana

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Joglosemar Edisi Rabu, 03 Februari 2009 Bencana banjir disertai tanah longsor yang melanda Jawa Tengah dan Jawa Timur, menimbulkan keprihatinan kita bersama. Pasalnya, bencana itu tidak hanya menimbulkan kerugian harta benda, rusaknya sarana-prasarana, dan aspek material lainnya, tetapi juga timbulnya korban jiwa. Benar banjir kali ini belum sampai pada taraf mengkhawatirkan. Akan tetapi, jika tidak disikapi secara cepat dan cermat, bisa membawa dampak yang lebih besar. Misalnya timbulnya wabah penyakit pasca-banjir, terhambatnya pasokan logistik, dan sebagainya. Maka semua pihak, khususnya pemerintah daerah (Pemda) dan pusat, harus segera mencari solusi jitu agar dampak dari musibah itu tidak sampai menyengsarakan masyarakat. Singkatnya, pemerintah pusat dan daerah harus merespons bencana dengan tindakan cepat, bukan hanya saling menunggu. Pertanyaanya, pihak mana sebaiknya yang harus menjadi pionir respons tanggap bencana itu? Bagaimana strategi yang ef

Revitalisasi Kota Yogyakarta

Dimuat Harian Suara Merdeka Edisi Selasa, 03 Februari 2009 BANYAK predikat diberikan untuk Kota Yogyakarta. Mulai dari kota budaya, kota gudeg, kota perjuangan, sampai kota pelajar, dan sebagainya. Pertanyaanya, apakah sederet predikat itu masih pantas disandang kota tersebut? Pasalnya, saat ini berbagai persoalan pelik mengelayuti; mulai dari persoalan moralitas, degradasi intelektual, sampai anomali sosial-budaya yang bersinggungan dengan persoalan tatanan ruang. Lonjakan jumlah penduduk asli, ditambah pendatang setiap tahun meningkat, menimbulkan persoalan yang rumit. Rendahnya kesadaran membuang sampah, dan perawatan ekosistem sekitar hunian yang asal-asalan, menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Kadar kesehatan air rendah, kawasan menjadi bising, sempit, dan kumuh; sementara itu kualitas udara kian bertambah panas bak membakar diri. Kehilangan Roh Di lain pihak, modenisasi telah memoles “tanah perdikan” itu sehingga jauh meningggalkan daerah-daerah di sekitarnya. Bangunan-ban

Sastra dan Tenda Perdamaian

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Lampung Pos Edisi Minggu,1 Februari 2008 Kapan damai di bumi menjadi nyata? Lalu, apakah yang bisa menjembatani perdamaian itu? Demikian pertanyaan Sashi Tharoor--sastrawan India yang mengemban misi perdamaian PBB--dalam sebuah temu budaya belum lama ini. Jika agama, lanjut Tharoor, kemungkinan kecil. Pasalnya, berapa banyak kekerasan dan peperangan yang justru dipicu sentimen atau atas nama agama? Ilmu pengetahuan dan teknologi (sains), juga tidak jauh berbeda. Benar kenikmatan duniawi bisa terpenuhi, tetapi berapa banyak orang yang mengalami kegersangan jiwa dan spiritualitas hingga harus mencari tempat-tempat sepi untuk sekadar memenuhi "kesepian" itu? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menggelisahkan Tharoor, sehingga terdorong merangkul sastra sebagai mediasi perdamaian yang menjadi bidang tugasnya. Tharoor sampai pada satu kesimpulan, sastra melengkapi apa yang "hilang atau sengaja dihilangkan" dari agama dan sains. Itu karena sas