Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2008

Ketika hutan lindung diobral

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 yang mengatur jenis dan tarif pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, yang dikeluarkan belum lama ini, sepintas bermuatan positif. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), PP itu dikeluarkan untuk mengatur perusahaan-perusahaan tambang yang sudah berusaha di kawasan hutan lindung supaya dapat memberikan kontribusi untuk negara, dan yang penting untuk tujuan memelihara, merehabilitasi, dan menghutankan kembali kawasan hutan lindung itu (Antara, 6/3).Hanya, PP ini justru menjadi rekomendasi komersialisasi hutan lindung dalam bentuk baru. Pasalnya, pemerintah hanya mengenakan pungutan PNBP Rp 3 juta per hektare per tahun, atau hanya Rp 120 hingga Rp 300 per meter dari kegiatan tambang tersebut. Artinya, dengan uang receh Rp 1.000, kita sudah bisa untuk menyewa satu meter persegi hutan lindung kita selama setahun. Jelas ini harga hutan termu

Dilema Film Ayat-Ayat Cinta

Oleh Agus Wibowo Dimuat Jawapos Edis 8 Maret 2008 Kesuksesan sutradara Hanung Bramantyo mengangkut Ayat-Ayat Cinta (AAC) ke layar kaca (film) patut diacungi jempol. Novel religius best seller karya Habiburrahman El Shirazy tersebut berhasil dibesut menjadi film bernuansa religius yang apik dan mencerahkan. Ditambah lagi, apresiasi masyarakat cukup menggembirakan. Itu terbukti dengan penuh-sesaknya bioskop-bioskop pada pemutaran perdana film AAC belum lama ini. Bagitu kentalnya nuansa religius dan tuntunan kebaikan dalam AAC, sampai-sampai Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin merekomendasikan AAC sebagai tontonan wajib umat muslim. Sepintas, film AAC sebenarnya tidak jauh berbeda dengan film remaja -juga dewasa- pada umumnya. Di sana, disuguhkan tema-tema kemanusiaan, pluralisme, kesederhanaan, kesetiakawanan, serta romantisme percintaan yang mengharu biru. Hanya, film AAC mampu menampilkan romantisme percintaan yang dibesut dengan nilai-nilai agama (Islam). Sentuhan Hanung sebagai

Rendra, Ranggawarsita Kecil dari Solo

Oleh Agus Wibowo Dimuat Harian Joglosemar Edisi 06-03-2008 Ternyata urutan zaman Kalatida, Kalabendu, dan Kalasuba tidak hanya terjadi di Kerajaan Surakarta di abad ke-19, tetapi juga terjadi di mana-mana di dunia pada abad mana saja. Di Yunani purba, Romawi, Germania, Perancis, di manapun, dan kapanpun. Begitulah rupanya irama wolak waliking zaman atau atau pergolakan zaman. Alangkah tajamnya penglihatan mata batin penyair Ranggawarsita ini! Demikian kutipan orasi yang disampaikan WS Rendra ketika menerima penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa (Dr HC). Rendra yang terkenal dengan sebutan si Burung Merak, menyampaikan orasinya berjudul “Megatruh Kambuh, Renungan Seorang Penyair Dalam Menanggapi Kalabendu” di hadapan civitas akademika UGM, dan sejumlah tokoh sastra di Balai Senat UGM, Selasa (4/3/2008). Putra Solo kelahiran 7 November 1935 ini, merupakan orang ke-19 yang memperoleh Dr HC dari UGM. Tentu saja semua pihak —khususnya masyarakat dan seniman Joglosemar— menyambut gembira